Tasawuf/Akhlak

13 Adab Pelajar terhadap Pelajarannya Menurut KH Hasyim Asy’ari (2)

Ahad, 23 Desember 2018 | 23:15 WIB

13 Adab Pelajar terhadap Pelajarannya Menurut KH Hasyim Asy’ari (2)

(Foto: @ibtimes.co.uk)

Adab ketiga, fokus dalam mempelajari fan atau kitab tertentu
Hendaknya saat masih pemula, tidak menyibukan diri dalam ilmu ikhtilaf di antara ulama, baik yang berkaitan dengan dalil aqli (logika) dan naqli (Al-Quran dan hadits). Sungguh hal demikian dapat mengganggu pikiran dan konsentrasi.

Langkah yang tepat adalah memfokuskan dan mematangkan satu disiplin ilmu atau kitab tertentu. Bila metode gurunya adalah mengkaji mazhab-mazhab dan iktilaf di antara ulama, hendaknya dihindari, tidak perlu mengikutinya. Sebab dampak buruknya lebih banyak dari pada manfaatnya.

Demikian pula dalam mengkaji kitab, hendakya menghindari menelaah banyak kitab secara terpisah-pisah dan terpotong-potong. Sebab hal tersebut dapat menyia-nyiakan waktu. Yang benar adalah menguasai satu kitab secara utuh dan matang.

Demikian pula jangan berpindah-pindah dari satu kitab ke kitab lain sebelum mengkhatamkannya, sesungguhnya hal tersebut tanda-tanda kegagalan dalam belajar. 

Pandangan Hadhratus Syekh tentang mengutamakan tahqiq (kematangan) dalam metode belajar, juga senada dengan pendapat Syekh Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Menurutnya, lebih baik paham sepuluh masalah secara matang daripada membaca satu kitab secara sempurna namun tidak memahaminya secara sempurna.

Sebagaimana dikutip dalam Kitab Al-Manhajus Sawi, Syekh Abdullah Al-Haddad mengatakan:

وخير لك أن تحسن عشر مسائل وتتقنها من أن تقرأ كتابا تاما لا تتقنه

Artinya, “Lebih baik bagi kamu, paham sepuluh masalah dan mematangkannya ketimbang membaca satu kitab sempurna namun tidak mematangkannya,” (Lihat Al-Habib Zain bin Smith, Al-Manhajus Sawi, halaman 225).

Hendaknya mendahulukan skala prioritas untuk fan ilmu yang paling urgens. Tidak lupa untuk mengamalkan ilmu yang didapatkan, di mana hal tersebut merupakan maksud utama dari ilmu itu sendiri.

Adab keempat, membenarkan bacaannya sebelum dihafal
Sebelum pelajaran dihafalkan, terlebih dahulu bacaannya dibetulkan, ditashih di hadapan guru atau orang lain yang berkompeten. Jangan sampai menghafalkan sebelum dibenarkan bacaannya, sebab dapat mengakibatkan tahrif (perubahan).

Membenarkan bacaan dengan bimbingan guru yang kompeten menjadi hal yang sangat penting untuk menjaga keotentikan buku agama. Dari sini juga dapat dipahami bahwa ilmu tidak boleh didapatkan hanya mengandalkan teks buku yang tersebar, tanpa digurukan. Sebab hal tersebut dapat mendatangkan dampak buruk yang sangat fatal.

Setelah hafal, hendaknya pelajaran itu diulang-ulang secara rutin agar hafalannya awet. Di manapun berada, ia dianjurkan untuk senantiasa membawa alat tulis agar dapat menulis atau membenahi bacaan  di kitabnya.

Adab kelima, bergegas mendengarkan ilmu
Hendaknya bergegas untuk mendengarkan pesan ilmu, utamanya ilmu hadits. Jangan sampai mengabaikan hadits dengan segala hal yang berkaitan dengannya, meliputi riwayat, sanad, mushtalah, sejarah, lughat hadits, hukum-hukum yang tertuang dalam hadits dan lain-lain.

Menurut KHM Hasyim Asy’ari, pertama kali kitab hadits yang perlu digeluti adalah Shahihul Bukhari dan Shahih Muslim, baru setelahnya kitab-kitab induk di bidang hadits seperti Al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Jami’ At-Tirmidzi.

Kiai Hasyim sangat menyayangkan bila pelajar tidak mempelajari minimal kitab-kitab induk di bidang hadits tersebut.

Bagi pakar fiqih, Kiai Hasyim merekomendasikan untuk menekuni kitab As-Sunanul Kubra karya Al-Imam Al-Baihaqi. Kitab tersebut sangat membantu seorang faqih dalam memperdalam tafaqquhnya. Kitab hadits bagaikan salah satu dari dua sayapnya ilmu sehingga Imam As-Syafi’i mengatakan:

من نظر في الحديث قويت حجته

Artinya, “Barang siapa melihat hadits, maka kuat argumennya.”

Adab keenam, mengembangkan ilmu
Dalam mengembangkan ilmu yang dipelajari, KHM Hasyim Asy’ari memiliki sebuah metode khusus. Metode mendalami pelajaran terlebih dahulu harus melalui tiga proses.

Pertama, menghafal kitab mukhtasar yang berisikan instrumen dasar fan ilmu. Kedua, mempelajari kitab syarahnya, komentar atau penjelasan dari kitab mukhtashar. Ketiga, mengupas beberapa redaksi yang musykil (sukar dipahami) dalam kitab mukhtashar.

Setelah tiga proses itu dilalui dengan baik, baru beralih ke pengembangan kitab yang lebih besar lagi. Dalam proses kajian kitab-kitab besar tersebut, dibutuhkan telaah yang serius dan intens. Ketika menemukan keterangan yang bagus, disalin ulang.

Demikian pula penjelasan atau masalah-masalah yang anti-mainstream, sebisa mungkin untuk dicatat dan didokumentasikan dengan baik.

Cita-cita pelajar dalam menuntut ilmu harus tinggi. Ia tidak boleh menerima begitu saja ilmu yang sedikit padahal mampu menghasilkan lebih banyak lagi. Pantangan bagi pelajar menerima warisan ilmu para Nabi dengan sedikit.

Bila memiliki kesempatan mengkaji, jangan ditunda-tunda, sebab dalam menunda-nunda terdapat banyak keburukan. Sikap menunda-nunda akan menghambat produktivitas pelajar. Dengan memanfaatkan waktu, pelajar akan mendapatkan pengetahuan baru di kesempatan selanjutnya.

Masa-masa keemasan hendaknya dimanfaatkan dengan baik. Jangan menunggu tua dalam belajar. Saat masih muda, pelajar semangatnya masih meyala-nyala dan lebih bertenaga. Sebelum banyak rintangan, pelajar harus mengerahkan segala upaya dan potensinya untuk belajar.

Jangan sekali-kali merasa cukup dengan ilmu yang sudah didapat. Kiai Hasyim tidak membenarkan bila ada pelajar yang memandang dirinya sebagai sosok yang sempurna sehingga ia merasa tidak lagi membutuhkan para masyayikh. Yang demikian itu merupakan hakikat dari kebodohan. Pembesar Tabi’in, Imam Sa’id bin Jubari berkata:

لا يزال الرجل عالما ما تعلم فإذا ترك التعلم وظن أنه قد استغنى فهو أجهل ما يكون

Artinya, “Seseorang senantiasa disebut alim selama ia terus belajar. Bila ia meninggalkan belajar dan menduga dirinya telah cukup, maka hal tersebut adalah kondisi terbodohnya”. (Bersambung…)


Ustadz M Mubasysyarum Bih