Tasawuf/Akhlak

Adab Bertetangga dalam Catatan Hadits Imam Al-Ghazali

Kam, 21 Februari 2019 | 10:30 WIB

Islam tak hanya mengatur hubungan kita dengan Allah, tetapi juga mengatur hubungan kita dengan sesama, bahkan dengan sesama makhluk. Tak terkecuali hubungan dengan tetangga. Di tengah masyarakat supersibuk dan heterogen, seperti di perkotaan sekarang ini, hak-hak tetangga kurang mendapat perhatian, terlebih jika seseorang tahu bahwa tetangganya non-Muslim.

Karena itu, perlu kiranya kita mengingat kembali apa saja hak dan kewajiban kita sebagai tetangga dalam kacamata agama kita. Seberapa besar perhatian agama kita dalam urusan bertetangga? Sejauh mana batasan tetangga kita?

Dalam Mukasyafatul Qulub (Terbitan Darul Kitab al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 2005/1426], halaman 301), Imam Al-Ghazali menguraikan tuntunan Rasulullah SAW dalam bertetangga.

Disampaikannya, dasar penetapan hak bertetangga itu sendiri dapat kita simak, salah satunya, dalam hadits berikut ini, “Tetangga itu ada tiga: tetangga yang memiliki satu hak. Tetangga yang memiliki dua hak. Tetangga yang memiliki tiga hak. Tetangga yang memiliki tiga hak adalah tetangga Muslim sekaligus bersaudara, yaitu hak sesama Muslim, hak saudara, dan hak tetangga. Kemudian tetangga yang memiliki dua hak adalah tetangga Muslim, yaitu hak sesama Muslim dan hak tetangga. Sedangkan hak yang memiliki satu hak adalah tetangga yang musyrik,” (HR At-Thabrani).

Berdasarkan hadits di atas, kewajiban kita memenuhi hak tetangga, bukan saja kepada tetangga Muslim saja, tetapi juga kepada tetangga yang non-Muslim.

Dalam sejumlah hadits lainnya, Rasulullah SAW menekankan pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sekaligus ancaman bagi mereka yang mengabaikannya. Antara lain adalah hadits berikut, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangga,” (HR Abu Dawud).

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bahkan mengaitkan hak bertetangga dan kesempurnaan iman. “Tidak sempurna keimanan seorang hamba sampai tetangganya aman dari keburukan-keburukannya,” (HR At-Tharani).

Dalam hadits berikutnya ia berpesan, “Perbaikilah hubungan baik dengan orang yang bertetangga denganmu, niscaya engkau akan menjadi Muslim yang baik,” (HR Ibnu Majah).

Kemudian, disampaikan oleh Rasulullah SAW, “Malaikat Jibril senantiasa mewasiatkan tetangga kepadaku, sampai-sampai aku mengira bahwa Jibril menetapkan hak waris bagi tetangga (HR Malik).

“Sungguh, dua orang pertama yang bermusuhan pada hari Kiamat adalah dua orang yang bertetangga,” (HR Ahmad).

Pertanyaan berikutnya, sejauh manakah batas tetangga kita? Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW pernah memberikan batasan minimalnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri. Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan mengadukan tetangganya. Kemudian Nabi SAW memerintah laki-laki tersebut untuk berteriak di depan pintu masjid.

“Ingatlah, empat puluh rumah itu masih tetangga.” Dijelaskan oleh Az-Zuhri, “Maksudnya empat puluh rumah ke arah sana, empat puluh rumah ke arah sana, empat puluh rumah ke arah sana, empat puluh rumah ke arah sana,” kata Rasulullah sambil menunjuk ke empat arah.

Dalam konteks sekarang, tetangga seseorang mungkin saja bertambah ke arah lainnya, seperti ke atas atau ke bawah. Contohnya, orang yang tinggal di apartemen atau di rumah susun.

Ketahuilah bahwa hak tetangga itu bukan saja menghentikan sikap menyakitkan, tetapi juga menahan penderitaan darinya. Dengan kata lain, menghentikan sikap kurang baik atau menahan penderitaan dari tetangga, belum cukup dalam memenuhi hak tetangga. Sebab, masih ada hak lain yang harus dipenuhi, yaitu bersikap lemah lembut dan tetap mendorong mereka kepada kebaikan.

Tak heran jika pada hari Kiamat, seorang tetangga yang miskin akan mengadukan tetangganya yang kaya, “Wahai Rabb, tanyalah tetanggaku ini, mengapa dia menghalangi kebaikannya untukku dan juga menutup pintunya kepada selainku.” 

Lebih lanjut, Rasulullah SAW memaparkan hak-hak tetangga:

أَتَدْرُونَ مَا حَقُّ الْجَارِ؟ إِنِ اسْتَعَانَكَ أَعَنْتَهُ، وَإِنِ اسْتَقْرَضَكَ أَقْرَضْتَهُ، وَإِنِ افْتَقَرَ عُدْتَ عَلَيْهِ، وَإِنْ مَرِضَ عُدْتَهُ، وَإِنْ مَاتَ شَهِدْتَ جَنَازَتَهُ، وَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ هَنَّأْتَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ عَزَّيْتَهُ، وَلَا تَسْتَطِيلَ عَلَيْهِ بِالْبِنَاءِ، فَتَحْجُبَ عَنْهُ الرِّيحَ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَإِذَا شَرَيْتَ فَاكِهَةً فَاهْدِ لَهُ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَأَدْخِلْهَا سِرًّا، وَلَا يَخْرُجْ بِهَا وَلَدُكَ لِيَغِيظَ بِهَا وَلَدَهُ، وَلَا تُؤْذِهِ بِقِيثَارِ قَدْرِكَ إِلَّا أَنْ تَغْرِفَ لَهُ مِنْهَا  أَتَدْرُونَ مَا حَقُّ الْجَارِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَبْلُغُ حَقُّ الْجَارِ إِلَّا قَلِيلًا مِمَّنْ رَحِمَ اللهُ

Artinya, “Apakah kalian tahu hak tetangga? Jika tetanggamu meminta bantuan kepadamu, engkau harus menolongnya. Jika dia meminta pinjaman, engkau meminjaminya. Jika dia fakir, engkau memberinya. Jika dia sakit, engkau menjenguknya. Jika dia meninggal, engkau mengantar jenazahnya. Jika dia mendapat kebaikan, engkau menyampaikan selamat untuknya. Jika dia ditimpa kesulitan, engkau menghiburnya. Janganlah engkau meninggikan bangunanmu di atas bangunannya, hingga engkau menghalangi angin yang menghembus untuknya, kecuali atas izinnya. Jika engkau membeli buah, hadiahkanlah sebagian untuknya. Jika tidak melakukannya, maka simpanlah buah itu secara sembunyi-sembunyi. Janganlah anakmu membawa buah itu agar anaknya menjadi marah. Janganlah engkau menyakitinya dengan suara wajanmu kecuali engkau menciduk sebagian isi wajan itu untuknya. Apakah kalian tahu hak tetangga? Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, tidaklah hak tetangga sampai kecuali sedikit dari orang yang dirahmati Allah,” (HR At-Thabarani).

Dalam hadits lainnya disebutkan, termasuk mengganggu dan menyakiti perasaan tetangga walaupun hanya dengan memukul hewan peliharaannya, “Jika engkau melempar anjing tetanggamu, sejatinya engkau telah menyakiti tetanggamu.”

Tidak ringan ganjaran seorang yang menyakiti perasaan tetangganya. Sebab pernah disampaikan kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya, si fulanah selalu berpuasa di siang hari dan shalat malam di malam hari, namun dia suka menyakiti para tetangganya.” Berliau bersabda, “Dia akan ada di neraka.”

Begitu pun saat kita memasak makanan. Khawatir aromanya mengganggu tetangga, kita diperintahkan untuk membaginya, sebagaimana riwayat Abu Dzar. “Jika engkau memasak makanan, maka perbanyaklah airnya. Kemudian lihatlah sebagian ahli bait yang menjadi tetanggamu, lalu ciduklah sebagian itu untuk mereka.”

Sebuah kisah menarik dalam menjaga hak tetangga pernah terjadi pada seorang laki-laki yang mengeluhkan banyaknya tikus di rumahnya. Seorang kawannya menyarankan, “Mengapa engkau tidak memelihara kucing saja?” Laki-laki tersebut menjawab, “Aku takut, jika mendengar suara kucing, tikus-tikus di rumahku lari ke rumah tetangga. Sedangkan aku tak ingin keadaan yang tidak aku sukai ini dialami oleh mereka.”

Ditambahkan oleh Al-Ghazali, termasuk hak tetangga adalah diberi ucapan salam lebih dahulu, tidak terlalu lama jika diajak bicara, tidak banyak ditanya, dijenguk bila sedang sakit, dihibur jika sedang mendapat musibah, mendapat ungkapan bela sungkawa, mendapat ucapan selamat saat mendapat kebahagiaan, didampingi saat mendapat kegembiraan, dimaafkan saat melakukan kesalahan, ditutupi kekurangan-kekurangannya, tak diganggu tempat tinggalnya, seperti dipakai menyimpan barang, tidak dialiri saluran airnya oleh air dari rumah kita, tidak dikotori halamannya oleh tanah kita, tidak dipersempit jalan menuju rumahnya, tidak mengintip barang bawaan yang dibawa ke rumahnya, ditutupi aib keburukannya, diringankan kesulitan dan kebutuhannya, dijaga rumahnya saat dia berpergian, tidak diintip pembicaraannya, dijaga kehormatannya, tidak diganggu pelayannya, berlemah-lembut kepada anaknya terutama melalui pembicaraan, ditunjukkan ke jalan yang belum diketahuinya, baik urusan dunia maupun urusan akhirat.

Itulah sejumlah hak tetangga di tengah kaum Muslimin, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Amr ibn Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW.

Perlakuan itu tidak saja diberikan kepada tetangga kita yang latar belakangnya beragama Islam, tetapi juga kepada tetangga kita yang non-Muslim. Bahkan, demi menjaga hak dan kehormatan tetangga, Al-Hasan tidak mempermasalahkan memberikan daging kurban kepada tetangga yang non-Muslim, baik Yahudi maupun Nasrani. Wallahu a’lam.


(Ustadz M Tatam Wijaya)