Tasawuf/Akhlak

Belajar dari Tidak Adanya ‘al-Kalim’ dalam 99 Asmaul Husna

Kam, 29 Maret 2018 | 11:30 WIB

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِلَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا، مَنْ حَفِظَهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَإِنَّ اللهَ وِتْرٌ، يُحِبُّ الْوِتْرَ

Artinya: “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghafalnya ia masuk surga. Dan sesungguhnya Allah itu ganjil, menyukai yang ganjil.”

Hadits di atas banyak diabadikan oleh para ulama perawi hadits termasuk di antaranya oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya.

Sembilan puluh sembilan nama Allah itu kemudian dikenal dengan nama al-asmâ’ al-husnâ (publik umum biasa menyebut, asmaul husna, red), artinya nama-nama yang baik. Merujuk pada satu ayat wa lillâhil asmâul husnâ fad’ûhu bihâ (Allah memiliki asmaul husna, maka berdoalah dengannya).

Kesembilan puluh sembilan nama-nama Allah itu selain yang tersebar di dalam Al-Qur’an juga bisa didapati di berbagai tulisan seperti sampul mushaf Al-Qur’an, hiasan dinding, poster dan sebagainya. Anda mungkin pernah membacanya, atau bahkan telah menghafalnya.

Cobalah baca asmaul husna keseluruhan. Bila telah selesai coba bacalah kembali. Cermatilah, adakah nama Allah al-Kalim di dalamnya?

Kiranya kita tak akan pernah mendapati nama al-Kalim di dalam asmaul husna. Al-Kalim berarti Yang Maha Berbicara. Ya, di dalam asmaul husna ada nama as-Sami’ dan al-Bashir yang berarti Allah Maha Mendengar dan Allah Maha Melihat. Lalu mengapa tidak ada al-Kalim? Apakah Allah tidak Maha Berbicara? Padahal kita tahu bahwa di dalam 20 sifat wajibnya Allah di antaranya ada sifat kalam dan mutakalliman yang menunjukkan bahwa Allah itu berbicara.

Baca: Hubungan 20 Sifat Wajib bagi Allah dengan al-Asma’ al-Husna
Kiranya hanya Allah dan Rasulullah yang tahu tentang hal itu. Hanya saja ada hikmah yang bisa diambil dari tidak adanya nama al-Kalim di dalam asmaul husna.

Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam—sebagaimana termaktub di dalam kitab al-Mafâtih fî Syarhil Mashâbîh—pernah bersabda:

تخلَّقُوا بأخلاق الله

Artinya: “Berperilakulah kalian sebagaimana perilakunya Allah.”

Terhadap sabda Rasulullah ini penulis kitab tersebut Hasan bin Mahmud Al-Mudhhiri menuturkan:

يعني: ليكنْ فيكم صفاتُ الله مما يمكن أن يكونَ في المخلوق، يعني: كونوا رحماءَ على عباد الله، كما كان الله رحيمًا على عباده، وكذلك باقي الصفات من الكرم والُّلطْف وغير ذلك 

Artinya: “Yakni, semestinya di dalam diri kalian ada sifat-sifat Allah yang memungkinkan ada pada diri seorang makhluk. Jadilah kalian orang-orang yang menyayangi hamba-hamba Allah sebagaimana Allah menyayangi para hamba-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya seperti dermawan, lemah lembut, dan lainnya.” (Hasan bin Mahmud Al-Mudhhiri, al-Mafâtih fî Syarhil Mashâbîh, Kuwait, Darun Nawadir, 2012, jilid I, halaman 417)

Dari hadits dan penjelasannya di atas bisa diambil satu kesimpulan bahwa setiap hamba dituntut untuk meniru perilaku-perilakunya Allah yang tersirat di dalam setiap asmaul husna selama perilaku tersebut memungkinkan dan layak dilakukan oleh seorang hamba. Bila Allah berperilaku welas asih (ar-Rahmân ar-Rahîm), mudah mengampuni  (al-Ghaffâr – al-Ghafûr), mudah dan suka memaafkan (al-‘afuw) dan lain sebagainya kepada para hamba-Nya, maka seorang hamba dituntut untuk berperilaku demikian kepada sesama makhluk Allah subhanahu wa ta’ala.

Tidak adanya nama al-Kalim (Maha Berbicara) di dalam asmaul husna bisa jadi karena Allah tidak ingin para hamba-Nya menirunya dengan berperilaku suka berbicara. Ini bisa kita lihat, Rasulullah dalam berbagai sabdanya menekankan kepada umatnya untuk tidak banyak berbicara, sedikit berbicara, dan berbicara dalam hal yang jelas manfaatnya saja. Pada kesempatan yang lain beliau juga pernah menuturkan bahwa kebanyakan orang yang dimasukan ke dalam api neraka adalah karena hasil perbuatan mulutnya. Sementara para ulama dalam tulisan-tulisan hikmah mereka sangat menekankan arti pentingnya diam.

Berikutnya, ada tiga perilaku pokok dalam diri manusia yakni melihat, mendengar, dan berbicara. Di dalam asmaul husna kepada dzat-Nya Allah menyematkan nama as-Samî‘ dan al-Bashîr yang berarti Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tetapi kepada Dzat Allah tidak menyematkan nama al-Kalim (Maha Berbicara) meskipun sejatinya Allah bersifat mutakallim. Ini seakan Allah ingin menyampaikan bahwa Allah lebih suka mendengar dan melihat bagaimana kondisi para hamba-Nya daripada membicarakan perihal hamba-Nya. 

Sebagai Yang Maha Mendengar, Allah ingin mendengar setiap keluh kesah para hamba-Nya baik yang disampaikan di dalam doa-doa maupun dalam pembicaraan mereka. Sebagai Tuhan yang Maha Melihat Allah lebih suka melihat dan memperhatikan hal ihwal kehidupan para hamba-Nya. Dari mendengar dan melihat inilah kemudian Allah bertindak dengan nama-nama luhur lainnya. Dengan as-Shamad, Dia sampaikan dan penuhi kebutuhan para hamba yang mengeluhkan susahnya menjalani kehidupan. Dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim Ia curahkan belas kasih kepada setiap yang lemah. Bagi para hamba yang mengakui kesalahan dan kealpaan Ia berikan ampunan dengan namanya al-Ghaffâr dan al-Ghaffûr. Dengan ar-Razzâq Allah berikan rezeki kepada mereka yang berupaya mencari anugerah-Nya. Dan sebagainya.

Dari ini lah kita sebagai hamba dituntut untuk lebih mendengar, melihat, dan memperhatikan apa yang terjadi di lingkungan sekitar untuk kemudian mengambil tindakan yang semestinya untuk memberikan sebanyak-banyak manfaat dan maslahat.

Terlebih bagi mereka yang di pundaknya ada amanat untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat di semua tingkat daerah. Semestinya lebih melihat dan mendengar hal ihwal sesungguhnya yang terjadi di masyarakat untuk kemudian dengan kewenangannya melakukan langkah-langkah yang jelas memberikan manfaat dan maslahat bagi mereka.

Bukan sebaliknya, semua orang justru lebih suka banyak bicara mengomentari apa-apa yang sesungguhnya bukan menjadi tanggangujawab, kewenangan, dan kapasitasnya.

Kiranya cukuplah apa yang ajarkan oleh Rasulullah untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, bahwa barang siapa yang beriman kepada Alah dan hari akhir maka bicaralah yang baik-baik saja, atau (kalau tidak bisa) diamlah. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)