Ciri-ciri Ukhuwah Islamiyah di Jalan Allah menurut Ibnu Athaillah
NU Online · Jumat, 12 Januari 2018 | 21:01 WIB
Sahabat kita bisa jadi orang menyapa kita dengan “assalamu alaikum,” “selamat pagi,” “selamat menempuh hidup baru,” orang yang hadir dalam susah-senang kita, atau orang yang menemani kita menghabiskan waktu sekian jam di kedai kopi.
Namun, sahabat sejati kita di jalan Allah adalah orang yang mengantarkan pikiran kita ke jalan Allah meskipun tidak akrab atau tidak saling kenal. Syekh Ibnu Athaillah menyatakan sebagai berikut:
Artinya, “Jangan bersahabat dengan orang yang keadaannya tidak membuatmu bangkit dan ucapannya tidak menunjukimu kepada Allah.”
Kata “keadaan” (hâl) bisa diartikan sebagai sesuatu yang bersifat nonverbal. Ia bisa bermakna perilaku keseharian yang menjadi ungkapan nonverbal. Kata ini sering kita dengar dalam ungkapan “Lisânul hâl afshahu min lisânil maqâl” atau “bahasa” nonverbal lebih efektif daripada bahasa verbal.
Sahabat sejati adalah orang yang keadaan dan ucapannya dapat mengubah seseorang dari lalai ke terjaga, dari maksiat ke tobat, dari gemar dunia ke zuhud dan seterusnya, meski tak selalu dai, penceramah, atau ustadz-ustadzah. Bahkan diamnya sahabat sejati itu justru membawa orang di dekatnya sampai ke hadirat Allah. Inilah sejatinya ukhuwah Islamiyah. Singkatnya, sahabat sejati itu orang yang mengantarkan seseorang menjadi naik kelas sebagai keterangan Syekh Ibnu Ajibah berikut ini:
Artinya, “Menurut saya, orang yang keadaannya membuatmu bangkit adalah orang yang ketika kaulihat kau menjadi ingat Allah yang sebelumnya kau dalam keadaan lalai. Ketika kau melihatnya, keadaanmu bangkit menjadi terjaga. Bisa jadi sebelumnya kau sangat cinta dunia. Ketika melihat orang itu, semangatmu bangkit untuk zuhud. Boleh jadi sebelumnya kau tengah berenang dalam lautan maksiat. Ketika melihatnya, kau bangkit untuk tobat kepada Allah. Ada kala kau dalam kondisi al-jahil billah. Tetapi ketika melihatnya, kau bangkit beralih menjadi al-arif billah. Dan seterusnya, dan seterusnya. Sedangkan orang yang ucapannya menunjukimu kepada Allah adalah orang yang berbicara dengan kekuatan Allah, menunjukimu kepada-Nya, dan lenyap selain-Nya. Bicaranya tulus sepenuh hati. Diamnya mengantarkanmu bangkit menuju Allah Yang Maha Ghaib. Keadaan orang ini membenarkan ucapannya. Ucapannya sesuai dengan ilmunya. Persahabatan dengan orang seperti ini sama halnya dengan eliksir yang mengubah keadaan suatu benda,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, juz I, halaman 74-75).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eliksir pada pengertian ilmu kimia adalah zat cair yang oleh para ahli zaman dahulu (abad pertengahan) diharapkan dapat mengubah logam menjadi emas dan dapat memperpanjang kehidupan tanpa batas (usia). Dalam kajian farmasi, eliksir merupakan obat yang serbaguna (untuk menyembuhkan segala penyakit) atau ramuan untuk menyiapkan obat secara farmasi (seperti larutan dengan gula, etanol, atau bahan lain) yang memberi rasa enak.
Sedangkan orang yang sombong, tak sanggup mengendalikan hawa nafsu, suka memuji diri sendiri, atau yang menghitung ilmu dan amalnya bukanlah sahabat sejati di jalan Allah sebagai disebutkan oleh Syekh Zarruq berikut ini:
Artinya, “Menurut saya, orang yang keadaannya tidak membuatmu bangkit dan ucapannya tidak menunjukimu kepada Allah adalah orang yang belum mengalami hakikat, tidak menaikkan semangatnya dari makhluk, senang pada dirinya (nafsunya), merasa tinggi di hadapan sesamanya, menghitung ilmu dan amalnya, dan memuji dirinya ketika menghadap dan berpaling dari Allah, meskipun amal dan ilmunya banyak, serta luas pandangan dan pemahamannya. Sedangkan orang yang keadaannya membuatmu bangkit dan ucapannya menunjukimu kepada Allah adalah orang yang menaikkan semangatnya jauh daripada makhluk dan hatinya penuh oleh pandangan terhadap hakikat. Saat kau melihatnya, kau akan mendapatinya sibuk dengan Allah. Bila ia berbicara, maka ia menunjukimu kepada Allah,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah,2010 M/1431 H, halaman 58).
Sementara Syekh Syarqawi memaknai sahabat sejati di jalan Allah adalah orang yang menyandarkan hajat hidupnya kepada Allah, tidak selalu dalam arti pasif. Sandaran hidup kepada Allah bermakna menghadapkan keperluan hidupnya hanya kepada Allah di tengah ikhtiarnya.
Sahabat sejati di jalan Allah juga adalah orang yang beragama secara tawasuth, itidal, dan tawazun. Ia mengamalkan agama secara proporsional tanpa ekstrem, yaitu melewati batas dalam mengamalkan (ifrath) atau mengabaikan norma agama (tafrith). Ia beragama dan hidup wajar-wajar saja di tengah masyarakat. Ia tidak mengejar pencitraan di tengah khalayak.
Artinya, “(Jangan bersahabat dengan orang yang keadaannya tidak membuatmu bangkit dan ucapannya tidak menunjukimu kepada Allah). Ia adalah orang yang keadaan dan semangatnya tidak berkaitan dengan Allah dan ucapannya tidak memberikan petunjuk kepada-Nya sekalipun ia adalah seorang abid dan zahid. Murid dilarang bersahabat dengan orang seperti ini. Lain cerita kalau persahabatan dengan orang yang keadaannya membuatmu bangkit dan ucapannya menunjukimu kepada Allah, dalam arti semangatnya berkaitan dengan Allah, naik jauh meninggalkan makhluk. Ia tidak menyandarkan hajatnya kecuali kepada Allah SWT. Ia tidak memasrahkan urusannya kecuali kepada-Nya. Ia tidak memasukkan manusia dalam pandangannya. Ia tidak menganggap mereka dapat memberikan mudharat atau manfaat. Ia juga tidak menghitung dirinya sendiri sehingga ia tidak melihat dirinya dalam amal yang dilakukan dan tidak memandang andil dirinya. Segala amalnya mengalir sesuai dengan tuntunan agama tanpa ekstrem melebihi batas (ifrath) atau abai terhadap agama (tafrith). Inilah sifat al-arif billah. Murid dianjurkan bersahabat dengan orang ini seperti ini meskipun amal dan ibadah sunah orang ini tidak banyak karena persahabatan ini mendatangkan manfaat duniawi dan keagamaan. Pasalnya, dari persahabatan itu tabiat dapat ‘menular.’ Lain cerita pergaulan dengan orang yang tidak memiliki sifat seperti yang disebut terakhir ini. Interaksi lahiriyah dengan mereka ini sama sekali tak bermanfaat,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Al-Haramain, 2012 M, juz I, halaman 37).
Hikmah ini mengingatkan kita untuk waspada dalam mencari sahabat dalam pergaulan. Hikmah ini mendorong kita untuk mencari sahabat sejati, yaitu sahabat bijaksana yang karena akhlaknya baik dalam bicara maupun perangainya menuntun kita dekat dengan Allah.
Hikmah ini mengajak kita untuk mencari sahabat sejati yang ucapan dan perilakunya membekas dalam diri kita untuk berbenah diri. Hikmah ini jelas memaksa kita untuk bergaul secara intensif dengan orang yang mendekatkan kita kepada Allah meski persahabatan itu tak selalu dibangun atas nama ukhuwah Islamiyah secara formal.
Sahabat sejati kita di jalan Allah boleh jadi adalah penjual makanan langganan kita yang “mengajarkan” kita arti istiqamah, sabar, syukur, keikhlasan, ridha, qanaah, dan lain sebagainya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
4
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
5
Khutbah Jumat: Jagalah Alam, Jangan Malah Merusaknya
6
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
Terkini
Lihat Semua