Tasawuf/Akhlak

Ini Amalan yang Lebih Utama daripada Jihad

Sab, 26 Februari 2022 | 05:30 WIB

Ini Amalan yang Lebih Utama daripada Jihad

Pikiran dan ikhtiar orang-orang yang menjadi tulang punggung bagi kemaslahatan keluarganya dicatat sebagai amal ibadah bagi mereka. (Ilustrasi: n-num.com)

Suatu hari Abdulllah Ibnul Mubarak (wafat pada 797 M) bersama saudara-saudaranya berada di sebuah penugasan perang. Di sela perjalanan dinasnya itu, ulama yang terkenal zuhud ini memancing diskusi.


“Tahukah kalian amal ibadah yang lebih utama dari ibadah kita saat ini?” kata Abdullah membuka diskusi.


“Kami tidak tahu,” jawab mereka.


“Aku tahu,” kata Ibnul Mubarak.


“Amal ibadah apakah itu?”


“Yaitu seorang yang apik dan memiliki keluarga kecil, bangun malam, lalu memandang anak-anaknya tertidur telanjang dada, lalu ia menyelimuti mereka dengan pakaiannya. Amalnya itu lebih utama daripada jihad kita saat ini.”


***


Kisah ini diangkat oleh Imam Al-Ghazali dalam menjelaskan keutamaan berjihad mencari nafkah yang halal bagi anak-istri dan keluarga yang menjadi tanggungannya. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz II, halaman 36).


Keapikan dalam menjaga diri dari tindakan haram dalam memperoleh nafkah keluarga sangat diperlukan, terlebih di akhir zaman ini yang banyak sekali pintu-pintu pemerolehan nafkah yang tidak halal dan ketimpangan begitu menganga.


Keapikan orang-orang yang menjadi tulang punggung keluarga memerlukan perjuangan berat. Bagaimana mereka harus berjuang menjaga keapikan dalam melewati kehidupan yang timpang dan gemerlapan duniawi di sekitarnya.


وقال صلى الله عليه و سلم من حسنت صلاته وكثر عياله وقل ماله ولم يغتب المسلمين كان معي في الجنة كهاتين


Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa saja yang baik shalatnya, banyak keluarganya, sedikit hartanya, dan tidak melakukan ghibah terhadap umat Islam, kelak ia bersamaku di surga seperti dua ini (sambil mengisyaratkan dua jari),’” (HR Abu Ya’la dari sahabat Abu Said Al-Khudri).


Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits riwayat Ibnu Majah dari Imran bin Hushain sebagai berikut:


وفي حديث آخر إن الله يحب الفقير المتعفف أبا العيال


Artinya, “Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, ‘Allah menyukai orang fakir yang apik dan yang menjadi tulang punggung keluarga,’” (HR Ibnu Majah).


Al-muta‘affif adalah orang yang sangat apik dalam menjaga diri sehingga tidak meminta-minta kepada orang lain di tengah keperluannya dalam memenuhi keperluan nafkah rumah tangganya karena mata hatinya hanya melihat Allah. (Sayyid Muhammad Az-Zabidi, Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya’i Ulumiddin, [Beirut, Muassasatut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 315).


Adapun “abul ‘iyal” adalah orang-orang yang menjadi tulang punggung nafkah keluarga. Mereka bisa jadi adalah ayah, ibu, kakek, nenek, saudara, atau sepupu. Kata “abu” atau ayah digunakan untuk orang yang menjadi tulang punggung karena kelazimannya. (Az-Zabidi, 1994 M/1414 H: V/315).


Pikiran dan ikhtiar orang-orang yang menjadi tulang punggung bagi kemaslahatan keluarganya dicatat sebagai amal ibadah bagi mereka. (Az-Zabidi, 1994 M/1414 H: V/315). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)