Tasawuf/Akhlak

Jaminan Rezeki Allah dalam Kajian Tasawuf

Kam, 16 April 2020 | 22:00 WIB

Jaminan Rezeki Allah dalam Kajian Tasawuf

Kadar rezeki makhluk yang dijamin berbeda-beda dan jalannya bermacam-macam. Ada yang diwujudkan melalui jalan usaha makhluk-Nya.

Akibat macetnya sebagian roda perekonomian sebagai imbas wabah Covid-19, tak sedikit perusahaan yang gulung tikar dan merumahkan karyawannya. Belum lagi dampak yang dirasakan oleh orang-orang yang bekerja di sektor informal dan berpenghasilan harian. Tak heran jika kondisi ini cukup membuat sebagian warga Tanah Air khawatir dan cemas, terutama dalam urusan rezeki.

Kekhawatiran itu tentu terbilang wajar dan manusiawi. Namun, tidak boleh dibuat berlebihan dan sampai menggoyahkan keimanan. Sebab, Allah telah menetapkan dan menjamin rezeki makhluk-Nya.

Jaminan itu tertera jelas dalam kitab-Nya, “Tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh mahfuzh),” (Surat Hud ayat 6).

Hanya saja kadar dan takaran rezeki makhluk yang dijamin berbeda-beda dan jalannya bermacam-macam. Ada yang diwujudkan melalui jalan usaha makhluk-Nya, sebagaimana dalam Surah An-Najm, “Sungguh manusia tidak memperoleh sesuatu (rezeki) selain apa yang telah diusahakannya,” (Surat An-Najm ayat 39).

Ada pula yang diwujudkan melalui jalan yang lain. Ini artinya, walau makhluk tak memiliki usaha, atau telah berusaha tetapi belum berhasil, Allah maha kuasa mendatangkan rezeki mereka dari jalan yang lain tadi.

Bukti jaminan Allah membagikan rezeki kepada makhluk-Nya tanpa usaha mereka dijelaskan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam melalui haditsnya yang diriwayatkan oleh Makhul. Bahkan, pernyataan beliau dalam hadits ini terbilang menohok mereka yang meragukan rezeki Allah di tengah wabah Covid-19 yang melanda saat ini.
 
Beliau mencontohkan kondisi janin yang ada dalam rahim ibunya. Ia belum bisa berusaha apa pun. Namun, Allah maha tahu dan senantiasa menjamin rezekinya. Mengapa manusia dewasa, bahkan sudah berakal sempurna, bahkan sudah mampu berusaha mesti mengkhawatirkan rezekinya?

الْجَنِينُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ لَا يَطْلُبُ وَلا يَحْزَنُ وَلا يَغْتَمُّ، وَإِنَّمَا يَأْتِيهِ رِزْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ مِنْ دَمِ حَيْضَتِهَا، فَمِنْ ثَمَّ لَا تَحِيضُ الْحَامِلُ، فَإِذَا وَقَعْ إِلَى الأَرْضِ اسْتَهَلَّ، وَاسْتِهْلالُهُ اسْتِنْكَارًا لِمَكَانِهِ فَإِذَا قُطِعَتْ سُرَّتُهُ حَوَّلَ اللَّهُ رِزْقَهُ إِلَى ثَدْي أُمِّهِ، فَيَأْكُلُهُ فَإِذَا هُوَ بَلَغَ قَالَ هُوَ الْمَوْتُ أَوِ الْقَتْلُ قَالَ: أَنَّى لِي بِالرِّزْقِ؟ فَيَقُولُ مَكْحُولٌ: يَا وَيْحَكَ غَذَّاكَ وَأَنْتَ فِي بَطْنِ أُمِّكَ وَأَنْتَ طِفْلٌ صَغِيرٌ حَتَّى إِذَا اشْتَدَدْتَ وَعَقَلْتَ. قُلْتَ: هُوَ الْمَوْتُ أَوِ الْقَتْلُ أَيْنَ لِي بِالرِّزْقِ. ثُمَّ قَرَأَ مَكْحُولٌ: يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى وَمَا تَغِيضُ الأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ.

Artinya, “Ingatlah, janin yang ada dalam perut ibunya. Tak meminta,  tak bersedih, dan tak merasa cemas. Namun, rezekinya saat berada di perut sang ibu datang melalui darah haidhnya. Karenanya, perempuan hamil tidak ada yang haidh. Kemudian, ketika si janin lahir ke dunia, ia menangis keras. Tangisannya itu karena mengingkari tempat barunya. Padahal, saat tali ari-arinya diputus, Allah mengalihkan rezekinya ke payudara ibunya. Ia pun makan melaluinya. Namun, di saat dewasa, ia malah berkata, “Aku bisa mati, aku bisa terbunuh. Di manakah rezeki untukku.” 

Makhul melanjutkan sabda Rasulullah saw, “Celakalah engkau, Allah telah menjamin makanmu, sejak kau berada dalam perut ibumu, saat kau masih kecil. Namun, ketika dewasa dan berakal sempurna, engkau justru berkata, ‘Aku bisa mati. Aku bisa terbunuh. Manakah rezeki untukku.”’ Lantas ia melantunkan ayat, yang artinya, “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” (Lihat: Tafsir Ibni Hatim, jilid VII, halaman 2227).

Artinya, saat pintu usaha terkendala, rezeki tetap datang kepada manusia dari jalan dan pintu yang lain. Pintu lain tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran adalah pintu sedekah (QS [2]: 245), pintu syukur (QS [14]: 7); pintu istigfar (QS Nuh [71]: 10-12). Bahkan, rezeki juga datang dari pintu pernikahan (QS An-Nur [24]: 32); pintu karunia anak (QS [17]: 31), dan pintu yang tak disangka-sangka. Pintu rezeki yang tak disangka-sangka ini diperuntukkan bagi orang yang bertakwa, sebagaimana ayat, Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.  Allah memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya, (QS. Ath-Thalaq [86]: 1-2).

Maka dari itu, di saat rezeki dari pintu usaha terasa sulit, kita dituntut untuk memperbanyak istighfar, takwa, sedekah, syukur, dan memohon ampun kepada Allah. Bahkan, kita dianjurkan untuk memperbanyak silaturahim meski via online dan berdoa, sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, Dia tetap mendatangkan rezeki makhluk dan hamba-hamba-Nya dari pintu-pintu tersebut sesuai dengan janji dan jaminan-Nya.

Tidak perlu memaksakan diri mencari rezeki yang telah dijamin Allah hingga ke jalan yang haram. Dalam kaitan ini, kiranya pesan Syekh Ibnu Athaillah cukup menarik untuk disimak. Menurutnya, pengejaran seorang hamba terhadap sesuatu yang telah dijamin-Nya dianggap kesiasiaan dan bukti kegelapan mata hati, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Al-Hikam-nya:

اجتهادك فيما ضمن لك وتقصيرك فيما طلب منك دليل على انطماس البصيرة منك    

Artinya, “Kesungguhanmu dalam mengejar apa yang telah dijamin untukmu, dan kelalaianmu menunaikan kewajiban yang telah dituntut darimu adalah bukti rabunnya mata batinmu,” (Lihat Ibnu Athaillah, Al-Hikam: Rampai Hikmah Ibn ‘Athaillah, [Jakarta, Serambi: 2006 M], halaman 21). Wallahu a’lam. 
 

Ustadz M Tatam, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.