Tasawuf/Akhlak

Ketika Nabi Musa Merasa Iri atas Keistimewaan Umat Nabi Muhammad Saw

Jum, 7 Oktober 2022 | 06:00 WIB

Ketika Nabi Musa Merasa Iri atas Keistimewaan Umat Nabi Muhammad Saw

Umat Nabi Muhammad saw memiliki kelebihan tersendiri sehingga Nabi Musa merasa iri atas keistimewaan tersebut. (Ilustrasi: via suffnetrucuter)

Sebelum Nabi Muhammad diutus, ciri-ciri rasul terakhir ini sudah disinggung dalam kitab suci umat-umat terdahulu dan mereka mengimaninya. Lebih jauh, karakteristik umat nabi akhir zaman ini juga sudah disebutkan. Hal ini salah satunya ditegaskan dalam firman Allah swt berikut: 


وَكَتَبْنَا لَهٗ فِى الْاَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْعِظَةً وَّتَفْصِيْلًا لِّكُلِّ شَيْءٍۚ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَّأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِاَحْسَنِهَا ۗسَاُورِيْكُمْ دَارَ الْفٰسِقِيْنَ 


Artinya, “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan untuk segala hal; maka (Kami berfirman), “Berpegangteguhlah kepadanya dan suruhlah kaummu berpegang kepadanya dengan sebaik-baiknya, Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang fasik.” (QS. Al-A’raf: 145) 


Menurut Jalaluddin as-Suyuthi, ayat ini tidak tidak saja mengindikasikan Nabi Muhammad sudah disebutkan identitasnya dalam kitab Taurat sebelum dirinya diutus, akan tetapi juga ciri-ciri para pengikutnya yang kemudian dikenal dengan umat Muslim. Oleh sebab itu, dalam menafsiri ayat di atas, as-Suyuthi mengutip riwayat Qatadah tentang kekaguman Nabi Musa saat rasul Bani Israil ini melihat keutamaan umat Muhammad dalam Taurat. Berikut riwayatnya: 


Saat Nabi Musa menerima kitab Taurat dari Allah swt, dia bertanya kepada-Nya, “Wahai Tuhanku, dalam kitab Taurat dijelaskan ada umat terakhir tapi kelak memasuki surga paling awal. Aku berharap mereka adalah umatku.” 


Allah menjawab, “Mereka adalah umat Muhammad.” 


“Di dalam Taurat juga dijelaskan tentang umat terbaik yang selalu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. Aku berharap mereka adalah umatku.” 


“Mereka adalah umat Muhammad.” 


“Di dalam Taurat dijelaskan tentang umat yang mengimani kitab suci terdahulu dan kitab suci terakhir. Mereka memberantas kesesatan dan memerangi Dajjal. Aku berharap mereka adalah umatku.” 


“Mereka adalah umat Muhammad.” 


“Di dalam Taurat dijelaskan tentang umat yang telah hafal dan memahami benar-benar kandungan kitab-kitab Injil (berbeda dengan umat lainnya yang tidak memiliki kemampuan demikian). Aku berharap mereka adalah umatku.” 


“Mereka adalah umat Muhammad.” 


“Di dalam Taurat dijelaskan tentang umat yang ketika bersedekah, maka sedekah mereka bisa dimakan penerimanya dan pemberinya mendapat pahala (berbeda dengan umat sebelumnya yang jika bersedekah dan diterima oleh Allah swt, maka Allah menurunkan api untuk membakar sedekahan itu sehingga tidak bisa dinikmati). Aku berharap mereka adalah umatku.” 


“Mereka adalah umat Muhammad.” 


“Di dalam Taurat dijelaskan tentang umat yang ketika berniat melakukan satu kebaikan kemudian mengurungkannya, maka mereka tetap memperoleh satu pahala. Jika merealisasikan niat baiknya, mereka akan memperoleh pahala sepuluh kali lipat, tujuh puluh kali lipat, hingga balasan yang tak terhitung. Aku berharap mereka adalah umatku.” 


“Mereka adalah umat Muhammad.” 


“Di dalam Taurat dijelaskan tentang umat yang ketika berniat melakukan perbuatan buruk lalu mengurungkannya, maka mereka sama sekali tidak mendapat dosa. Jika mereka tidak merealisasikannya maka hanya mendapat satu dosa. Aku berharap mereka adalah umatku.” 


“Mereka adalah umat Muhammad.” 


“Di dalam Taurat dijelaskan tentang umat yang doa-doanya dikabulkan. Aku berharap mereka adalah umatku.” 


“Mereka adalah umat Muhammad.” 


Setelah dialog itu selesai, Nabi Musa akhirnya menyatakan diri sebagai umat Nabi Muhammad. “Ya Allah, kalau demikian, jadikanlah aku sebagai umat Muhammad.” 


Allah kemudian memberikan Nabi Musa dua hal, yaitu menjadikannya sebagai utusan yang mampu berbicara dengan-Nya tanpa perantara dan sebagian umatnya ada yang mendapat petunjuk serta mampu berbuat adil. (Jalaluddin as-Suyuthi, Ad-Durrul Mantsur, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2015),  juz III, halaman 227). 


Identitas Nabi Muhammad dalam Kitab Suci Umat Terdahulu 

Kisah percakapan Nabi Musa dengan Allah swt di atas menunjukkan bahwa sebenarnya ciri-ciri Nabi Muhammad sudah disinggung dalam kitab suci umat terdahulu, baik Taurat ataupun Injil. Bahkan saking mengimaninya, sebelum Rasulullah lahir, umat Yahudi selalu bertawasul kepadanya agar diberi kemenangan saat melakukan peperangan. 


Hanya saja, setelah Nabi lahir mereka tidak lagi mengimaninya karena sosok yang dijanjikan itu bukan dari suku mereka sendiri, Bani Israil, melainkan dari suku Quraisy Arab. 


Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip riwayat berikut: 


عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، قَالَ: لَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو فَقُلْتُ: أَخْبِرْنِي عَنْ صِفَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي التَّوْرَاةِ. قَالَ: أَجَلْ وَاللَّهِ، إِنَّهُ لَمَوْصُوفٌ فِي التَّوْرَاةِ كَصِفَتِهِ فِي الْقُرْآنِ: "يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا وَحِرْزًا لِلْأُمِّيِّينَ، أَنْتَ عَبْدِي وَرَسُولِي، سَمَّيْتُكَ الْمُتَوَكِّلَ، لَيْسَ بِفَظٍّ وَلَا غَلِيظٍ، وَلَا صخَّاب فِي الْأَسْوَاقِ، وَلَا يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَحُ، وَلَنْ يَقْبِضَهُ اللَّهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ، بِأَنْ يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَيَفْتَحَ بِهِ قُلُوبًا غُلفا، وَآذَانًا صُمًّا، وَأَعْيُنًا عُمْيًا ". 


Artinya, “Dari ‘Atha bin Yasar, dia berkata, ‘Dia pernah bertemu Abdullah ibnu Amr, lalu ia bertanya kepadanya, ‘Ceritakanlah kepadaku tentang sifat Rasulullah saw di dalam kitab Taurat.’ Abdullah bin Amr menjawab, ‘Memang benar, demi Allah, sesungguhnya sifat beliau terdapat dalam kitab Taurat, persis seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an, ‘Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, serta menjadi benteng bagi orang-orang yang ummi. 


Engkau adalah hamba dan Rasul-Ku, Aku menamaimu ‘mutawakkil’ (orang yang berserah diri), engkau tidak bersikap keras juga tidak berhati kasar. Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum ia mampu meluruskan ajaran agama yang menyimpang dengan kalimat ‘La ilaha illallah’, menyadarkan orang yang hatinya masih tertutup dari kebenaran, telinganya masih tuli dari kebajikan, dan matanya buta dari ajaran yang lurus.’” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Adzim, 2000: juz VI, halaman 407). Wallahu a’lam.


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta