Tasawuf/Akhlak

Meniru 4 Sifat Nabi dalam Mendidik Siswa

Senin, 22 Juli 2024 | 18:00 WIB

Meniru 4 Sifat Nabi dalam Mendidik Siswa

4 sifat Nabi dalam mendidik. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Kegagalan tenaga pendidik (baik guru, kiai, ataupun dosen) dalam mendidik siswa akhir-akhir ini kiranya disebabkan oleh banyak sebab. Akan tetapi sebab utama, menurut hemat penulis, adalah tidak adanya sosok pendidik berkarakter, yang menanam benih cinta sebelum mulai mengajar, yang menganggap siswanya sebagai saudara atau anaknya sebelum ia menjadi pimpinannya.


Dalam hal ini, tidak banyak yang mengenal sifat-sifat dan kepribadian Nabi Muhammad saw dalam mendidik dan meneladaninya. Sebab, faktanya, Nabi saw telah berhasil mengubah perilaku para sahabat dari gelapnya kebodohan kepada terangnya pengetahuan. Dari kekasaran sikap menuju keluhuran adab. Dari keegoisan yang durjana kepada kemanusiaan yang penuh kasih. Dari fanatisme kesukuan dan kebangsaan yang buta menuju persaudaraan yang tulus karena Allah swt.


Sehingga, sudah seyogyanya bagi para pendidik untuk meniru sifat-sifat dan kepribadian Nabi Muhammad saw dalam mendidik siswa dan meneladaninya agar apa yang menjadi cita-cita luhur sang pendidik bisa tercapai. Berikut adalah 4 sifat dan kepribadian Nabi Muhammad saw yang bisa ditiru dalam mendidik siswa, yang kami kutip dari kitab ar-Rasul al-Mu’allim, karya Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah.


1.    Sangat mendorong kegiatan belajar mengajar

Meskipun Nabi Muhammad saw mendidik dan mengajar umat manusia dalam waktu yang relatif singkat, namun dari tangan mulianya muncul banyak sekali kaum terpelajar. Kunci kesuksesan itu terletak pada kepiawaian beliau dalam menciptakan metode pengajaran yang menyenangkan, dorongan untuk memerangi kebodohan, serta kecaman keras terhadap kemalasan dalam proses belajar mengajar.


Karena alasan itulah banyak orang (utamanya para sahabat) pada waktu itu yang kemudian tertarik untuk mempelajari ilmu dan mendalami agama (dari beliau). Mereka saling mengajari satu sama lain, sehingga dalam waktu yang relatif singkat, kebodohan pun lenyap. 


Meniadakan proses belajar mengajar merupakan perbuatan mungkar, karena sama artinya dengan mengabaikan perintah agama. Sehingga, jika orang yang memiliki ilmu pengetahuan enggan melaksanakan kewajibannya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain, atau orang bodoh enggan mempelajari ilmu yang wajib secara syariat, maka keduanya berhak mendapatkan hukuman atas perbuatannya ini. (Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, ar-Rasul al-Mu’allim wa Asalibuhu fit Ta’lim, [Beirut: Darul Basya’ir, 1996], hal. 14-18)


2.    Berbelas kasih lagi penyayang

Ilmu hanya akan melewati bibir selama tidak terdapat hubungan cinta antara guru dan murid. Rasulullah saw adalah sosok yang selalu menempatkan diri pada posisi tertinggi dan luhur dalam berakhlak mulia, seperti sifat lemah lembut dan penyayang terhadap murid, serta sangat antusias untuk mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada murid di setiap waktu dan kesempatan. (Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, ar-Rasul al-Mu’allim wa Asalibuhu fit Ta’lim, [Beirut: Darul Basya’ir, 1996], hal. 21)


Allah swt berfirman dalam surat at-Taubah ayat 128:


لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۝١٢٨


Artinya: “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. at-Taubah: 128)


3.    Menghargai hak setiap orang tanpa pandang bulu

Salah satu sifat keistimewaan Nabi saw adalah tidak pernah membeda-bedakan antar para sahabatnya. Selain itu, Nabi saw juga selalu berusaha memberikan perhatian secara merata kepada para sahabat dan orang-orang yang berada di majelisnya, sehingga sampai setiap orang dari mereka merasa dialah orang yang dicintai Nabi Muhammad saw. (Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, ar-Rasul al-Mu’allim wa Asalibuhu fit Ta’lim, [Beirut: Darul Basya’ir, 1996], hal. 31)


Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Syama’il Muhammadiyyah-nya kisah dari Sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjelaskan tentang sifat (kondisi) majelis Rasulullah saw sebagai berikut:


كَانَ يُعْطِي كُلَّ جُلَسَائِهِ بِنَصِيبِهِ، لَا يَحْسَبُ جَلِيسُهُ أَنَّ أَحَدًا أَكْرَمُ عَلَيْهِ مِنْهُ


Artinya: “Nabi Muhammad saw. memberikan hak kepada setiap orang yang hadir dalam majelisnya (secara adil), sehingga tidak ada satu orang pun merasa ada orang yang lebih mulia di mata beliau saw.” (Imam Tirmidzi, Syama’il Muhammadiyyah, [Mekah: Maktabah Tijariyyah, 1993], hal. 278)


4.    Pendengar yang baik dan rendah hati kepada orang yang bertanya

Mendengarkan dengan baik mutlak diperlukan bagi tenaga pendidik guna mengetahui duduk suatu permasalahan dengan baik. Tanpa itu, kiranya sikap yang tepat tidak mungkin bisa diambil. Nah, Nabi Muhammad saw. adalah sosok yang sangat rendah hati terhadap orang yang bertanya dan berguru kepada beliau, dan juga terhadap orang yang daya nalarnya lemah. (Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, ar-Rasul al-Mu’allim wa Asalibuhu fit Ta’lim, [Beirut: Darul Basya’ir, 1996], hal. 32)


Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad dan juga Imam Muslim dan Imam Nasa’i dengan riwayat Muslim, mengungkapkan kisah dari Humaid bin Hilal bersumber dari Abu Rifa’ah al-Adawi ra sebagai berikut:


انْتَهَيْتُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ وهو يخطب فقلت يا رسول رَجُلٌ غَرِيبٌ جَاءَ يَسْأَلُ عَنْ دِينِهِ لَا يَدْرِي مَا دِينُهُ. فَأَقْبَلَ إِلَيَّ وَتَرَكَ خُطْبَتَهُ فَأَتَى بِكُرْسِيٍّ خِلْتُ قَوَائِمَهُ حَدِيدًا. - قَالَ: حُمَيْدٌ أُرَاهُ خَشَبًا أَسْوَدَ حَسَبُهُ حَدِيدًا - فَقَعَدَ عَلَيْهِ فَجَعَلَ يُعَلِّمُنِي مِمَّا عَلَّمَهُ اللَّهُ ثُمَّ أَتَمَّ خطبته آخرها.


Artinya: “Aku pernah datang kepada Rasulullah saw. saat beliau sedang berkhutbah. Kukatakan padanya, ‘Wahai Rasulullah saw, orang asing ini datang kepadamu untuk menanyakan perihal agamanya, (sebab) dia tidak tahu bagaimana agamanya itu.’ 


Rasulullah lalu menghampiriku dan meninggalkan khutbahnya. Setelah sampai kepadaku, beliau saw mengambil sebuah kursi yang kuyakini fondasi-fondasinya terbuat dari besi, lalu beliau duduk di atasnya dan mengajariku apa-apa yang telah Allah swt ajarkan kepadanya. Setelah itu, beliau melanjutkan khutbahnya dan menyempurnakannya hingga selesai.


Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim-nya mengatakan bahwa dalam hadits tersebut terkandung sifat rendah hati Nabi Muhammad saw., kelembutannya, dan kasih sayangnya terhadap umat Islam. 


Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits tersebut, lanjut Imam Nawawi, adalah bagi seorang penanya (murid) jika berbicara atau bertanya kepada seorang guru, hendaknya melakukannya dengan lemah lembut. Selain itu, bagi seorang pendidik, utamanya ulama, hendaknya menyegerakan menjawab pertanyaan orang yang sedang meminta fatwa (petunjuk), mendahulukan perkara yang paling penting satu per satu.


Lebih jauh, Imam Nawawi juga berpendapat bahwa para ulama sepakat jika ada seseorang bertanya tentang iman dan cara masuk Islam, maka wajib menjawabnya dan mengajarinya seketika itu juga. Sementara itu, duduknya Rasulullah saw dalam kisah tersebut menurut Imam Nawawi dilakukan agar para hadirin bisa mendengar ucapannya dan melihat kepribadiannya yang mulia. (Imam Nawawi, Syarah Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut: Daru Ihya’i Turats ‘Arabi, 1392 H], juz. 6, hal. 165)


Demikianlah sifat-sifat Nabi Muhammad saw dalam mendidik para sahabat yang dapat ditiru oleh tenaga pendidik (baik kiai, guru, ataupun dosen) dalam mendidik peserta didik mereka. Tentunya tidak menutup kemungkinan masih banyak sifat-sifat terpuji Nabi saw dalam mendidik yang belum bisa dipaparkan pada tulisan ini. Semoga bermanfaat dan menginspirasi. Wallahu a’lam.


M. Ryan Romadhon, Alumnus Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah