Tasawuf/Akhlak AL-HIKAM

Penentuan Hari Raya Id Menurut Al-Hikam Ibnu Athaillah

Sel, 5 September 2017 | 01:04 WIB

Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha sudah jelas waktunya berdasarkan rukyatul hilal atau hisab. Masing-masing tanggalnya pun sudah jelas, 1 Syawwal untuk Idul Fithri dan 10 Dzulhijjah untuk Idul Adha. Keduanya terjadi serba sekali tanpa bisa digeser, diubah, atau ditambah dalam setahun.

Hari Raya Id ini merupakan momentum bahagia umat Islam di mana mereka telah selesai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, menjalankan sejumlah rukun haji yang menguras tenaga, waktu, dan biaya, atau berpuasa di hari tarwiyah dan hari Arafah bagi yang tidak berhaji lalu menyembelih kurban.

Untuk menyambut kedua hari bergembira itulah mereka dianjurkan untuk berbelanja sedikit istimewa untuk keluarga dan mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki.

Saat-saat menggembirakan itu berbeda dengan apa yang dipahami kalangan murid (mereka yang ingin dekat dengan Allah), semacam lapisan terbawah dalam kelas spiritual dibanding kalangan salik dan washil. Meski kelas terbawah, tidak berarti mereka adalah orang-orang yang rendah di sisi Allah dan bukan berarti kita juga sudah bisa dikategorikan termasuk di dalam kalangan mereka.

Kalangan murid tidak menggunakan kalender umumnya yang tergantung pada dinding rumah dalam menentukan hari raya Id. Bagi mereka, hari-hari raya Id yang menggembirakan itu adalah saat-saat yang dapat “mengembalikan” mereka kepada Allah seperti disinggung dalam matan Al-Hikam karya Syekh Ibnu Athaillah sebagai berikut.

ورود الفاقات أعياد المريدين

Artinya, “Kedatangan saat-saat ‘terjepit’ adalah hari raya Id bagi kalangan murid.”

Apa maksudnya? Berikut ini kutipan dari beberapa Syarah Al-Hikam yang menjelaskan butir hikmah di atas. Syekh As-Syarqawi mengatakan, saat-saat terdesak itu dapat membawa kalangan murid dengan cepat sampai di tujuan, Allah.

أي الأعياد جمع عيد وهي الأوقات العائدة على الناس بالمسرات والأفراح فالمريدون يسرون بالفاقات لأنها تسرع بوصولهم لمقصودهم لما فيها من الذل وقصر النفس كما تسر العوام بالأعياد لما فيها من نيل شهواتهم من ملابس وغيرها

Artinya, “’A‘yad’–bentuk jamak dari ‘Id’–merupakan saat-saat kegembiraan dan kebahagiaan yang kerap dialami manusia. Kalangan murid merasa bahagia atas saat-saat terjepit karena saat-saat terjepit itu diyakini dapat mengantarkan mereka dengan cepat ke tujuan di mana saat-saat itu mengandung kerendahan (mereka sebagai hamba) dan pembatasan nafsu. Hari Raya Id ini juga dilalui dengan bahagia oleh kalangan awam karena saat-saat itu mereka dapat melampiaskan syahwat mereka pada pakaian dan pada selain pakaian,” (Lihat Syekh Abdullah Hijazi As-Syarqawi, Syarhul Hikam Ibnu Athaillah, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz II, halaman 12).

Sementara Syekh Ibnu Ajibah menjelaskan lebih detail perihal rasionalitas butir hikmah Ibnu Athaillah di atas. Ia berpijak dari perbedaan jenis kebahagiaan kalangan umum (awam) dan kalangan tertentu (murid). Bagi murid, kebahagiaan itu terletak pada keesaan pandangan terhadap Allah, bukan yang lain. Untuk sampai ke sini–masih menurut mereka–, lazimnya orang mesti “terjebak” dalam kondisi terjepit karena dalam kondisi demikian orang tidak lagi menghiraukan nafsunya.

أي الأعياد جمع عيد وهو ما يعود على الناس بالأفراح والمسرة فالعوام فرحهم ومسرتهم بالحظوظ والعوائد الجسمانية والخواص فرحهم بإقبال الملك عليهم ووجود قلوبهم  وصفاء وقتهم من كدرات الأغيار والغالب أن هذه المعاني انما توجد عند الفاقة والحيزة والاضطرار حيث ينقطع حظ النفس فيها لأن النفس كلما ضيقت عليها رحلت الى عالم الملكوت وفي ذلك العالم راحتها وفرحها ومسرتها قال تعالى وأما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى

Artinya, “’A‘yad’–bentuk jamak dari ‘Id’–merupakan saat-saat kegembiraan dan kebahagiaan yang kerap dialami manusia. Bagi kalangan awam, saat-saat kegembiraan dan kebahagiaan mereka terletak pada kesenangan dan kebiasaan jasmani. Sedangkan bagi kalangan tertentu (khawash), kebahagiaan mereka tampak ketika ‘sambutan’ Allah atas mereka, serta saat kehadiran qalbu mereka dan sepinya waktu mereka dari ‘lumpur’ selain-Nya. Ghalibnya, semua itu muncul di saat terjepit, terbatas, dan terdesak di mana nafsu mereka terhenti ketika itu. Logikanya, ketika ruang gerak nafsu dipersempit, maka ia akan berpindah ke alam malakut. Di alam inilah terletak kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan nafsu mereka sebagaimana firman Allah, ‘Adapun orang yang takut pada maqam Tuhannya dan menahan nafsu dari kecenderungannya, maka surga menjadi tempatnya,’” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam fi Syarhil Hikam, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, juz II, halaman 247).

Sementara Syekh Zarruq dengan gaya sastra memberikan penjelasan hari raya Id bagi kalangan murid. Gaya sastra itu tampak dalam kutipan dari Syekh Zarruq berikut ini.

وكذلك الفاقة هي زينة المريد وقائدته ، يفطر فيها على تمر المشاهدة من صوم المجاهدة وينحر نفسه بسيف التبرى والمخالفة

Artinya, “Demikian juga kondisi ‘terjepit’. Saat-saat itu merupakan perhiasan dan penuntun kalangan murid. Di saat itu mereka ‘berbuka puasa’ mujahadah dengan ‘kurma’ musyahadah dan mereka menyembelih ‘kurban’ nafsunya dengan ‘pedang’ pembebasan (dari perbudakan nafsu) dan penahanan (atas kecenderungan nafsu),” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 146).

Dari keterangan beberapa pensyarah Al-Hikam, dapat disimpulkan bahwa kalangan tertentu (murid atau khawash) memiliki kalender tersendiri dalam menentukan hari raya Id yang penuh bahagia. Untuk dapat berhari raya yang berbahagia, mereka tampaknya lebih sering dan lebih mudah tanpa harus menunggu rukyatul hilal atau kalkulasi dengan metode hisab.

Karena hanya dirayakan oleh kalangan tertentu “di bawah tanah”, orang umum terdekat mereka sekalipun tidak memahami kebahagiaan hari raya mereka. Mereka berhari raya tanpa gegap gempita ucapan selamat spanduk atau pesan singkat dan jauh dari hiruk-pikuk iklan busana serta kuliner hari raya. Inilah karunia agung Allah yang mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)