Tasawuf/Akhlak

Sikap Terhadap Orang yang Mengingkari Nabi Khidhir dan Para Wali 

Jum, 19 November 2021 | 05:30 WIB

Sikap Terhadap Orang yang Mengingkari Nabi Khidhir dan Para Wali 

Demikian juga adabnya ketika kita menghadapi ustadz-ustadz dan orang-orang yang mengingkari keberadaan wali hidup zaman ini, wali qutub, wali autad, wali abdal, dan juga Nabi Khidhir.

Sebagian orang tidak mempercayai dunia sufisme termasuk di dalam soal keberadaan para wali, Nabi Khidhir, atau mukasyafah. Mereka kadang bukan orang awam juga. Mereka kadang terdiri dari ulama-ulama yang memiliki perhatian pada ilmu lahiriyah seperti fiqih.


Sebenarnya sejak lama pertentangan pandangan antara ulama fiqih/syariat dan para sufi/spiritualis. Ulama fiqih/syariat memandang berdasarkan ukuran-ukuran syariat dan didukung oleh kelimuan syariat dan dalil-dalil lahiriyah. Sedangkan para sufi dan ulama-ulama hakikat lebih banyak berpatokan pada intuitif dan isyarat dari dalil-dalil umum.

 


Adapun dalam merespons pengingkaran ahli fiqih atas ilmu dan dunia hakikat, kita perlu mengikuti pandangan ahli fiqih meski ahli fiqih itu menanggapi masalah yang berada di luar bidang pengetahuannya.


Sikap seperti ini merupakan salah satu adab para sufi terdahulu. Ketika berhadapan dengan ahli fiqih yang mengingkari dunia hakikat, para wali, dan karamatul auliya, salafus saleh terdahulu cenderung mengambil sikap harmoni sehingga mereka membenarkan pandangan ahli syariat yang sangat terbatas (pada dalil lahiriyah).


موافقة الفقيه إذا أنكر شيئا من أحوال أهل الطريق أو أمرهم بشيء ولا يقيم أحدهم عليه الحجة إلا إن علم أنه يرجع إلى قوله وذلك لأن الفقيه في دائرة لا يعرف غيرها


Artinya, “(Salah satu akhlak orang-orang saleh adalah) menyetujui pandangan ahli fiqih yang mengingkari ihwal ahli tarekat atau perintah mereka perihal sesuatu. Sementara mereka tidak dapat membangun argumentasinya kecuali dengan berpijak pada pendapatnya. Sedangkan ahli fiqih berada pada sebuah domain yang tidak diketahui selain bidangnya,” (Abdul Wahhab As-Sya’rani, Tanbihul Mughtarrin, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 48).

 


Demikian juga adabnya ketika kita menghadapi ustadz-ustadz dan orang-orang yang mengingkari keberadaan wali hidup zaman ini, wali qutub, wali autad, wali abdal, dan juga Nabi Khidhir. Sebagian dari mereka berasusmsi bahwa eranya para wali sudah selesai. Sedangkan sebagian lainnya beranggapan, para wali memang tidak ada karena semua cerita itu adalah dongeng yang mengada-ada.


فإذا قال إن القطب مثلا أو البدل أو الوتد لا حقيقة له فقل له نعم واقصد بذالك أنه ليس له حقيقة عنده وإذا قال الأولياء قد انقرضوا ولم يبق منهم أحد فقل له صدقت أي على معتقده هو وكذا إن قال الخضر لا وجود له فقل له نعم


Artinya, “Bila ahli fiqih mengatakan, ‘Sungguh, wali quthub, wali abdal, atau wali autad misalnya itu tidak memiliki hakikat,’ jawablah, ‘Benar,’ tetapi niatkan bahwa ‘kebenaran’ itu berlaku menurutnya. Jika ahli fiqih itu mengatakan, ‘Era para wali sudah selesai. Sekarang tidak ada lagi wali Allah,’ maka jawablah ‘Pak ustadz benar,’ maksudnya benar menurut keyakinannya. Demikian juga ketika ahli fiqih mengatakan, ‘Nabi Khidhir tidak ada,’ jawablah ‘Benar,’” (As-Sya’rani: 48).


Dalam hal ini, kita dituntut untuk membenarkan mereka bahwa kebenaran itu adalah kebenaran menurut ukuran dan wawasan orang yang mengatakannya (dalam hal ini pengingkaran atas keberadaan para wali Allah). Demikian adab-adab salafus saleh dan sufi-sufi terdahulu ketika berhadapan dengan kelompok yang mengingkari dunia hakikat. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)