Tasawuf/Akhlak

5 Pilar Ilmu Tasawuf yang Harus Dipedomani

Sab, 29 Mei 2021 | 14:30 WIB

5 Pilar Ilmu Tasawuf yang Harus Dipedomani

Ilmu tasawuf laksana obat bagi jiwa yang sedang sakit, yang disebabkan dengki, iri, sombong, dan penyakit lainnya.

Allah melalui Al-Qur’an dan hadits mendorong umat Islam untuk selalu mencari ilmu kapan saja dan di mana saja. Dari sinilah lalu lahir beberapa disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, salah satu di antaranya adalah ilmu tasawuf yang akan dibahas pada tulisan ini.

 

Secara umum, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna tasawuf secara khusus. Menurut Syekh Yusuf Khattar Muhammad, tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu yang agung, dan sulit untuk diraih. Ia bagaikan pohon kurma yang diminati oleh banyak kalangan, namun hanya tumbuh di daerah-daerah tertentu. Siapa pun yang bisa mempunyai ilmu tasawuf dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, akan menjadi perantara selamat dunia dan akhirat, karena ilmu tasawuf laksana obat bagi jiwa yang sedang sakit, yang disebabkan dengki, iri, sombong, dan penyakit lainnya. Ilmu tasawuf akan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela tersebut.

 

Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad memberikan penjelasan bahwa ilmu tasawuf memiliki dua pilar penting, yaitu istiqamah menjalin hubungan dengan Allah , dan harmonis menjalin hubungan dengan makhluk-Nya. Dengan demikian, siapa saja yang bisa istiqamah bersama Allah, berakhlak baik dengan makhluk-Nya, dan bersosial dengan mereka secara santun dan rukun, maka ia adalah orang tasawuf (sufi).

 

 

Ada 5 pilar penting dalam ilmu tasawuf menurut Syekh Yusuf Khattar Muhammad dalam kitab Mausu’ah al-Yusufiyah fi Bayani Adillatis Sufiyah, yaitu:

 

  1.  Shafa’ul qalbi wa muhasabatuha (kebeningan hati dan introspeksi)

Maksudnya, sebagai orang Islam yang ingin mencapai puncak muqarrabin (istimewa) di sisi Allah , harus mempunyai hati yang bersih dari semua sifat tercela, dan mempersiapkan dirinya untuk menghadap Dzat Yang Mahamulia dan Mahasuci dari semua kekurangan. Hal itu tentu harus dimulai dengan cara mengintrospeksi diri sendiri, apakah sudah layak atau tidak menghadap-Nya. Jika tidak, tentu ia harus lebih meningkatkan kembali. Tidak hanya itu, juga harus menimbang semua amalnya di dunia sebelum Allah menimbangnya di akhirat, serta membersihkan dirinya dari semua sifat-sifat tercela dalam dirinya. Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Sayyidina Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu, yaitu:

 

حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا، وزنوا أنفسكم قبل أن توزنوا

 

Artinya, “Periksalah dirimu sendiri sebelum kalian diperiksa (kelak di akhirat), dan timbanglah dirimu sendiri sebelum (amal) kalian semua ditimbang” (Syekh Yusuf Khattar Muhammad, Mausu’ah al-Yusufiyah fi Bayani Adillatis Sufiyah, [Damaskus: Dar al-Albab, 1999], juz 1, h. 18).

 

  1. Qashdu wajhillah (tujuannya hanya Allah semata)

Semua orang Islam yang ingin menjadi istimewa di sisi Allah dengan cara menekuni dan mengamalkan ilmu tasawuf harus dengan tujuan yang tulus karena Allah dalam semua sepak terjangnya, seperti ucapan dan tindakannya. Membersihkan hatinya dengan membiasakan ikhlas karena Allah semata. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

 

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

 

Artinya, “Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya” (QS Al-Kahf: 28).

 

Juga disebutkan dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

 

وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى

 

Artinya, “Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi” (QS Al-Lail: 19-20).

 

Dau ayat di atas memberikan sebuah gambaran, betapa pentingnya ikhlas dengan tujuan Allah semata dalam semua pekerjaan, temasuk di antaranya, yaitu, ketika menempuh jalan mendekatkan diri pada Allah (Syekh Yusuf, Mausu’ah al-Yusufiyah, 1999, I: 18).

 

  1. at-Tamassuk bil faqri wal iftiqar (hidup zuhud dan selalu merasa butuh kepada Allah)

Pilar ketiga dari ilmu tasawuf yaitu, harus mempunyai sikap zuhud pada dunia dan perhiasannya, dengan melepas (kecintaan dan ketergantungan pada) semua urusan dunia yang bisa membuat lupa pada Allah. Karena dengan zuhud artinya seseorang berusaha melepas hubungan dirinya dengan setan, sehingga ia bisa fokus beribadah pada Tuhannya. Merasa butuh pada Allah maksudnya menyendiri dari urusan dunia, dan melepasnya agar fokus meningkatkan ketakwaan. Serta meyakini, bahwa tiada daya dan upaya, tiada nyaman begitupun sengsara, melainkan telah ditentukan oleh Allah . Dan ini merupakan prinsip yang dijadikan pedoman oleh ulama tasawuf.

 

Dalam Al-Qur’an Allah mengisahkan seseorang yang hatinya tidak bisa lupa pada Allah meski dengan adanya dunia. Yaitu:
 

رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ

                         

Artinya, “Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah” (QS An-Nur: 37).

 

Menurut Syekh Yusuf, sifat zuhud terhadap dunia merupakan pokok terpenting yang harus dijadikan pedoman oleh para salik dalam menekuni ilmu tasawuf menuju Allah. Artinya, dunia hanya ada dalam genggaman tangan, tidak sampai ada dalam hati. Jika dunia tidak ada, maka tidak sampai ada rasa sedih ataupun sampai berpikir tentangnya, karena apa yang ada di sisi Allah jauh lebih banyak dan lebih sempurna di banding apa yang ada pada gennggaman tangannya (Syekh Yusuf, Mausu’ah al-Yusufiyah, 1999, I: 19).

 

  1. Tauthinul qalbi alar rahmah wal mahabbah (memantapkan hati dengan welas asih dan cinta)

Di antara pilar lain yang harus dijadikan pedoman adalah harus mempunyai sikap cinta kepada semua makhluk, dan memberlakukan mereka sebagaimana yang telah diatur oleh Islam, berupa mengagungkan dan menyayanginya. Jika sikap ini sudah melekat dalam jiwa dan tertanam dalam hati, maka Allah akan memberikan cahaya rahmah, manisnya ridha, yang dibalut dengan balutan menerima terhadap semua ketentuan Allah. Dengan demikian, ia telah mendapatkan apa yang telah diwariskan oleh para nabi, berupa cinta dan ridha, tentu ia telah mendapatkan bagian khusus dari keduanya. Sehingga dengannya, ia tidak akan mudah meremehkan orang lain. Sahabat Abu Bakar radiallahu ‘anhu berkata:

 

لا تحقر أحدا من المسلمين فان حقير المسلمين عند الله كبير

 

Artinya, “Jangan pernah meremehkan salah satu dari orang Islam, karena meremehkan orang Islam merupakan dosa besar di sisi Allah.” (Syekh Yusuf, Mausu’ah al-Yusufiyah, 1999: juz 1, h. 19)

 

  1. at-Tajammul bil akhlak (menghiasi diri dengan etika yang baik)

Pilar yang terakhir ini merupakan intisari dalam Islam dan akhlak yang selalu dipakai oleh ulama tasawuf, yaitu dengan cara menjadi pribadi yang lemah lembut kepada semua keluarganya, family, sahabat, dan semua umat Islam. Dalam Al-Qur’an dengan tegas Allah memerintahkan, yaitu:

 

وقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْناً

 

Artinya, “Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia” (QS Al-Baqarah: 83).

 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda perihal tanda-tanda ahli surga, yaitu:

 

أهل الجنة كل هين لين سهل قريب و أهل النار كل شديد قبعثري

 

Artinya, “(Tanda-tanda) ahli surga, yaitu, setiap orang yang lemah lembut, ramah tamah, dan murah hati. Sedangkan (tanda-tanda) ahli neraka yaitu, setiap orang yang keras kepada keluarga, sahabat, dan semua umat Islam” (Syekh Yusuf, Mausu’ah al-Yusufiyah, 1999, I: 19).

 

Ajaran tasawuf penting dipelajari sebagai kendaraan sosial, kendaraan berdagang, dan kendaraan dalam menjalani berbagai bidang sisi kehidupan yang bisa membawa manusia pada sebuah jalan spiritual ketuhanan. Fondasinya adalah dengan banyak bermuhasabah dan membersihkan diri dari penyakit jiwa, semata bergantung dan ingin menggapai ridha Allah, serta menerapkan rasa belas kasih dan cinta terhadap manusia.

 

Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.