Tasawuf/Akhlak

Ajaran Islam tentang Silaturahim

Sab, 3 Juli 2021 | 02:15 WIB

Ajaran Islam tentang Silaturahim

Ilustrasi silaturahim. (Foto: NU Online)

Silaturrahim secara syariat juga merupakan amalan utama karena mampu menyambungkan apa-apa yang tadinya putus dalam relasi antar manusia (hablum minannas). Belum lagi keutamaan dari amalan ini yang di antaranya dapat memperpanjang umur serta melapangkan rezeki.


Terkait substansi silaturrahim ini, Muhammad Quraish Shihab dalam buku karyanya Membumikan Al-Qur’an: Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan, 1999: 317) mengungkapkan sabda Nabi Muhammad.


Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Laysa al-muwwashil bil mukafi’ wa lakin al-muwwashil ‘an tashil man qatha’ak. (Hadits Riwayat Bukhari)


Artinya, “Bukanlah bersilaturrahim orang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah yang menyambung apa yang putus.” (HR Bukhari)


Dari Sabda Nabi Muhammad tersebut, jelas termaktub bahwa silaturrahim menyambung apa yang telah putus dalam hubungan hablum minannas. Manusia tidak terlepas dari dosa maupun kesalahan sehingga menyebabkan putusnya hubungan. Di titik inilah silaturrahim mempunyai peran penting dalam menyambung kembali apa-apa yang telah putus tersebut.

 


Lebaran merupakan momen yang paling tepat jika di hari-hari lain belum mampu menyambungkan apa yang telah putus. Energi kembali ke fitri turut mendorong manusia untuk berlomba-lomba mengembalikan jiwanya pada kesucian. Idul Fitri-lah yang mampu melakukannya.


Meskipun disadari, silaturrahim sesungguhnya tidak terbatas dilakukan ketika Idul Fitri tiba. Manusia tidak mungkin harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk menyambungkan apa yang telah putus. Hal ini didasarkan bahwa batas umur manusia tidak ada yang tahu. Tentu manusia akan merugi ketika nyawa tidak lagi dikandung badan namun masih menyimpan salah dan dosa kepada orang lain.


Dalam buku yang sama, Quraish Shihab menjelaskan arti silaturrahim ditinjau dari sisi bahasa. Silaturrahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl yang berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti hanya yang putus dan terserak yang dituju oleh kata shilat itu.


Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan). Arti ini mengandung makna bahwa karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.


Salah satu bukti yang paling konkret tentang silaturrahim yang berintikan rasa rahmat dan kasih sayang itu adalah pemberian yang tulus. Sebab itu, kata shilat juga diartikan dengan pemberian atau hadiah.

 


Silaturrahim menuntut adanya komunikasi jalinan hubungan bahkan network. Menyambungnya, antara lain dengan memberi hadiah atau paling tidak berkunjung dan menyapa dengan baik secara langsung atau melalui alat komunikasi.

 

Memang, bentuknya dapat beragam, bahkan bertingkat, namun kesimpulan dan tujuan akhirnya adalah pencairan yang beku dan penghangatan yang dingin sehingga menghasilkan keharmonisan hubungan dan kekuatannya.


Bila terjalin hubungan harmonis antar keluarga maka keharmonisan itu akan merambat ke keluarga yang lain sehingga pada gilirannya mewujudkan masyarakat harmonis.

 

Silaturrahim yang menghasilkan hubungan harmonis itu mencegah timbulnya ketegangan pikiran yang merupakan salah satu penyebab kematian. Ia melahirkan ketenangan yang merupakan syarat bagi kecerahan pikiran untuk lebih berkonsentrasi dalam pekerjaan dan ini dapat melipatgandakan penghasilan.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon