Tasawuf/Akhlak

Baik Sangka kepada Allah sebagai Bukti Cinta Hamba

Sel, 12 Oktober 2021 | 08:00 WIB

Baik Sangka kepada Allah sebagai Bukti Cinta Hamba

Sselain menjanjikan apresiasi besar, berbaik sangka kepada Tuhan termasuk bukti cinta kita kepada-Nya.

Husnuzhzhan, atau yang sering kita terjemahkan dengan berbaik sangka, bukanlah hal yang mudah. Sudi atau tidak kita harus akui itu. Wajar saja Al-Qur’an maupun hadist berulang-ulang mengingatkan kita terkait husnuzhzhan ini.


Pemantiknya sederhana, karena husnudzan atau sangka-menyangka itu urusan hati (min af’alil qulub), dan kita tahu sendiri siapa sang pengendali hati sebenarnya, tiada lain kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.


Bahkan, untuk mengendalikan lintasan hati sendiri saja kita tidak mampu. Maka dari itu, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita sebuah doa, ya muqallib al-qulub tsabbit qalbi ‘ala dinika, “Wahai sang pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku memeluk agama-Mu”.


Coba kita ambil contoh, seandainya dalam sebuah majelis pengajian seorang kiai besar, sebut saja Gus Baha’, misalnya, di tengah pengajian tampak seorang pria tinggi besar berkulit coklat, bagian lengan dan lehernya dipenuhi tato dengan muka yang tampak tak ramah, menghampiri tempat di mana Gus Baha’ duduk bersila dengan kitab dan meja berukuran kecil tepat di hadapannya.


Tanpa salam dan permisi, ia melewati sela-sela kerumunan orang yang duduk rapi menyimak pengajian kiai karismatik itu. Para hadirin yang sedari tadi memperhatikan sosok Gus Baha’ dan larut dalam kajian yang disampaikannya, kini teralihkan begitu saja menuju sosok yang sangat berbeda dari yang lain itu.


Suasana yang sedikit ‘horor’ tersebut berlangsung cukup lama sampai si pria tadi berhasil duduk di samping kanan Gus Baha’ dengan gaya duduk ihtiba’ (kedua tangan memeluk kedua lutut yang terangkat sejajar dengan dada).


Melihat fenomena di atas, mampukah kita mengatur lintasan hati kita untuk tidak sampai berprasangka buruk kepada sesama? Kalau berkaca pada tabiat manusiawi kita, saya rasa tidak, kecuali satu-dua orang yang hatinya dijaga oleh Allah subhanahu wa ta’ala.


Secara umum, mungkin kita bergumam atau paling tidak terbersit dalam pikiran bahwa pria bertato tadi aneh, sekonyong-konyong masuk majelis, tanpa permisi, melangkahi satu demi satu jamaah yang sedang khusyuk menyimak penyampaian Gus Baha’. 


Padahal, bila ditelisik lebih jauh, ternyata pria yang tampak aneh tadi adalah seorang mualaf beberapa hari lalu yang ingin belajar Islam rahmatan lil’alamin kepada sumber yang terpercaya. Jadi, ketidaktahuannya akan adab dan tata krama adalah sebuah kewajaran yang harus dimaklumi.


Poinnya, untuk sesuatu yang bisa kita peroleh jawabannya secara mudah saja teramat sukar kita menata hati. Apalagi dalam menyikapi kada-kadar Allah, yang mana berinteraksi atau bertanya langsung kepada-Nya tidaklah sederhana. Butuh spiritual tingkat tinggi untuk bisa melakukannya. 


Oleh karena itu, orang yang diberi karunia mampu menata hati, berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas setiap ketentuan-ketentuan-Nya, mendapatkan apresiasi besar di akhirat nanti. Kenapa sebab, karena berbaik sangka kepada Allah (husnuzhzhan billah) merupakan satu bukti cinta kita sebagai hamba kepada Tuhan alam semesta. 


Imam al-Hafidz Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid al-Qurasyi atau yang akrab disapa Ibnu Abi ad-Dunya-lahir di kota Baghdad pada tahun 208 H, sekitar empat tahun sepeninggal seorang imam besar, sang pembaharu agama, imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Dalam salah sebuah karyanya Husnudzan Billah (halaman 3 pada hadist keenam) ia menulis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللهِ مِنْ حُسْنِ الْعِبَادَةِ


Artinya, “Sungguh, berbaik sangka kepada Allah merupakan ibadah terbaik yang dipersembahkan sang hamba kepada Tuhannya.”


Saya senang sekali membaca hadist ini, selain karena menjanjikan apresiasi besar, juga secara tidak langsung mendukung pemikiran saya bahwa berbaik sangka kepada Tuhan termasuk bukti cinta kita kepada-Nya.


Bukankah dengan ibadah sejatinya kita sedang mempersembahkan cinta kepada Allah? Ya, tentu begitu. Semakin yakin akan hal itu, ketika saya membaca statement Dr. Iyad Abdul Hafidz Qunaibi, seorang doktor bidang Farmokologi Molekuler-satu ilmu yang mempelajari bagaimana suatu bahan kimia atau obat berinteraksi dengan sistem biologis, terutama mempelajari aksi obat dalam tubuh-, dalam bukunya yang berjudul Husnuzhzhan Billah (halaman 25, cetakan kedelapan yang diterbitkan tahun 2018) ia mengatakan:


فَرَبُّنَا خَلَقَنَا لِنَعْبُدَهُ وَالْعِبَادَةُ مَحَبَّةٌ وَتَعْظِيْمٌ وَطَاعَةٌ


Artinya, “Tujuan Tuhan menciptakan kita semua, tiada lain kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Sementara ibadah itu sendiri adalah bentuk cinta, pengagungan, dan ketundukan kita kepada sang pencipta.”


Statement ini membuat saya yakin 100 persen bahwa apa yang saya gelisahkan selama ini terjawab dengan benar. Mengingat, berbaik sangka kepada Allah merupakan bagian dari ibadah, dan ibadah sendiri diartikan sebagai bentuk cinta sang hamba kepada penciptanya. Jelas bukan, bahwa husnuzhzhan billah adalah bukti cinta pada sang luhur. 


Kendatipun sebenarnya, sekadar untuk membuktikan bahwa husnuzhzhan billah sebagai bukti cinta, cukup menggunakan logika akal sehat. Yaitu, bahwa Tuhan yang telah menciptakan kita dengan penuh cinta dan kasih-sayang tidak mungkin membalasnya dengan kebencian.


Lalu, bagaimana mungkin sang pencinta, atas nama cintanya, tega berprasangka buruk terhadap yang ia cintai, menduganya tidak adil, dan mendustai janji? Bukankah Dia mustahil lalim kepada hamba-Nya? Bukankah Dia zat teradil yang pernah ada? Dan, bukankah Dia sang penepat janji terbaik?


Tepat rasanya kali ini mengutip diksi Al-Qur’an dalam penggalan Surat An-Nisa’ ayat 122, Allah berfirman:


وَعْدَ اللهِ حَقًّا وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ قِيْلًا


Artinya, “Janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?”


Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.

Terkait

Tasawuf/Akhlak Lainnya

Lihat Semua