Tasawuf/Akhlak

Makna Sabar di Mata Syekh Ibnu Abid Dunya

Rab, 12 Mei 2021 | 08:00 WIB

Makna Sabar di Mata Syekh Ibnu Abid Dunya

Sabar adalah satu dari tiga kunci ketenangan jiwa dan keselamatan.

Selama bulan Ramadhan ini, kurang lebih sekitar belasan bahkan puluhan orang yang saya dapati dalam gelimang masalahnya. Entah masalah keluarga, pendidikan, karir, dan lain-lain. Ada yang masalahnya muncul karena pernikahan, perselingkuhan, bahkan aktivitas berdakwah pun jadi masalah. Isu mutakhir yang saya ikuti, yaitu ihwal dai brilian NU yang berdakwah di gereja, dan seorang ustadz Wahabi yang diminta institusi Polri berceramah di hadapan ratusan anggota kepolisian. Semuanya jadi masalah. 


Beginilah hidup, tiada seorang pun bisa lepas dari masalah. Para petani dengan masalahnya, para dai dengan masalahnya, para pegawai dan pejabat dengan masalahnya masing-masing. Bukankah penciptaan sang abul basyar (bapak umat manusia), Nabi Adam ‘alaihissalâm, sempat dipersoalkan para malaikat? Sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 30. Itu artinya, kehadiran kita di muka bumi ini adalah masalah. Karena telah bersedia menjalani kehidupan yang bermasalah ini, maka harus sanggup menempuh masalah demi masalah yang lahir dari rahim kehidupan. Dalam sebuah kaidah fiqih dikatakan, ar-ridha bi as-syai‘ ridha(n) bima yatawalladu minhu, “Menyanggupi sesuatu, berarti menyanggupi hal-hal yang lahir dari sesuatu itu”.


Dari sini, kita tidak bisa membincangkan bagaimana menghilangkan masalah, tetapi bagaimana menyikapi setiap masalah tersebut. Sebab, ia tiada habisnya. Seiring itu, Tuhan telah menyediakan perangkat berupa akal dan hati, serta pedoman dari Al-Qur’an dan hadits untuk menanganinya.


Bila mendapat musibah atau kesusahan, kita kerap kali mendengar atau bahkan menerima nasihat agar bersabar. Ini berarti, kita tahu bahwa penegakan ajaran Al-Qur’an dan sabda Nabi sudah mengakar kuat. Sayangnya, nasihat sabar ini sering kali lepas dari penghayatan maknanya. Itulah sebab mengapa nasihat bersabar tidak mempan dinginkan luka hati. Luka yang begitu dalam nan perih tak dapat sembuh hanya dengan kata sabar. Ia butuh penghayatan makna yang dalam pula. Jadi, bukan tuntunan Al-Qur’an dan haditt yang gagal mengobati hati, tapi ketidakmampuan kita meresapinya.


Di antara beberapa kajian khusus tentang sabar, yaitu kitab as-Shabru wa Tsawab ‘alaihi karya Syekh Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan bin Qais al-Baghdadi, atau akrab disapa Ibnu Abid Dunya (281 H). Selain itu, kitab as-Shabru Mathiyyatunnajâh oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Irbîlî (677 H), kitab Qâ’idatun fi as-Shabri milik Imam Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah (728 H), juga kitab Tiryâqul Ahzân wa Râhatul Abdân buah pena Syekh Azhuri Ahmad Mahmud, dan kitab Anwâ’u as-Shabri wa Majâlâtuhu milik Sa’id bin Wahab al-Qahthawi (1416 H), seorang cendekiawan Muslim yang menyelesaikan program sarjana, magister dan doktornya di fakultas Ushuluddin Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud Riyadh, Arab Saudi.


Tulisan ini, sekilas akan membahas bagaimana sekalian ulama sufi memaknai sabar yang termaktub dalam kitab as-Shabru wa Tsawab ‘alaihi. Tentunya, merupakan refleksi dari cahaya petunjuk Al-Qur’an dan hadits.


Secara umum, sabar adalah sikap yang mulia dan terpuji. Bahkan, termasuk salah satu pilar kenyamanan serta ketenteraman hidup. Bukankah setiap kita menginginkan hidup sebagai insan mulia, nyaman, dan tenteram? Dalam as-Shabru wa Tsawab ‘alaihi (hal. 35) tertulis hadits riwayat Sakhbarah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنِ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ، وَأُعْطِيَ فَشَكَرَ وَظُلِمَ فَغَفَرَ، وَظَلَمَ فَاسْتَغْفَرَ، ثُمَّ سَكَتَ قَالُوا: مَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (الأنعام: ٨٢)


Artinya, “Siapa yang diberi ujian (oleh Allah) lantas bersabar, saat dicurahi nikmat lalu bersyukur, kala dizalimi membalas dengan maaf, ketika berbuat zalim langsung meminta ampun... Kemudian Nabi terdiam. Para sahabat pun bertanya, ‘Imbalan apa yang diperoleh, wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab (dengan penggalan surah al-An’âm ayat 82), ‘Mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk'”.


Dari kunci ketenteraman hidup dalam hadits di atas—menjadi pribadi yang bersyukur, pemaaf, dan mudah meminta maaf—sabar atas setiap ujian adalah salah satunya. Dan, empat kunci ini harus terkumpul dalam diri seseorang. Barulah ia tergolong dalam janji Allah pada surat al-An’âm ayat 82 itu.


Sebagai bentuk apresiasi Tuhan kepada sekalian hamba-Nya yang bersabar, mereka akan diganjari pahala tanpa batas. Sebagaimana dalam surah az-Zumar ayat 10. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


قُلْ يٰعِبَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوْا رَبَّكُمْ ۗ لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗوَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌ ۗاِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ 


Artinya, "Katakanlah (Muhammad), Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu. Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan, bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.”


Dalam penggalan terakhir, Allah menjanjikan pahala tanpa batas bagi yang bersabar. Di satu kesempatan, Imam al-Qâsim Ibnu Katsir pernah mendengar Syekh Sulaiman bin al-Qâsim berkata:


كُلُّ عَمَلٍ يُعْرَفُ ثَوَابُهُ إِلَّا الصَّبْرَ. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر: 10) قَالَ: كَالْمَاءِ الْمُنْهَمِرِ


Artinya, “Setiap perbuatan baik bisa diketahui besar-kecil pahalanya, kecuali pahala sabar. Allah berfirman, 'Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas’, ia mengilustrasikan, bagaikan air hujan yang begitu deras” (as-Shabru wa Tsawab ‘alaihi, hal. 29).


Dari sini, tampak Syekh Sulaiman bin al-Qâsim menafsirkan frasa bi ghairi hisâb, ‘pahala tanpa batas’ dengan memberi ilustrasi bagai hujan lebat mengguyur bumi. Secara logika, pahalanya memang tak mungkin dapat dihitung. Sedikit menyerempet ke Ushul Fiqh, inilah yang kita kenal dengan muhâl ‘aqlan (perkara yang kemungkinan terjadinya dimuntahkan logika).


Masih membincang penggalan akhir surat az-Zumar ayat 10, suatu ketika, sang amîrul mukminin, Umar bin Abdul Aziz pernah memberi nasihat sabar kepada rakyaknya. Ia menyampaikan:


مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فَانْتَزَعَهَا مِنْهُ، فَعَاضَهُ مَكَانَ مَا انْتَزَعَ مِنْهُ الصَّبْرَ، إِلَّا كَانَ مَا عَوَّضَهُ خَيْرًا مِمَّا انْتَزَعَ مِنْهُ، ثُمَّ قَرَأَ: إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (الزمر: 10)


Artinya, “Tak pernah sekali pun Allah kala memberi nikmat kepada hamba-Nya, lalu mencabut nikmat tersebut, lantas sang hamba menyikapinya dengan penuh kesabaran, kecuali pasti diganti dengan yang jauh lebih baik dari yang dicabut-Nya tadi. Kemudian ia membaca penggalan akhir surat az-Zumar ayat 10, 'Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas’” (as-Shabru wa Tsawab ‘alaihi, hal. 30).


Sikap sabar sungguh memiliki posisi istimewa di hadapan sang penguasa semesta. Tidakkah kita ingat gelar ulul ‘azmi yang hanya diberikan Allah kepada lima rasul-Nya? Tiada lain itu semua karena kesabaran para rasul ulul ‘azmi yang membuatnya lebih dari yang lain.


Jadi, sekali lagi, nasihat sabar jangan melulu dipahami secara lahiriah. Dimaknai hanya sebatas bentuk simpati si penasihat saja. Apalagi sekadar kata yang kosong makna. Jangan sampai. Melainkan harus dimaknai dengan pemaknaan yang mendalam. Sebab, ia adalah satu dari tiga kunci ketenangan jiwa dan keselamatan. Wallahu a’lam bisshawâb.

 


Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.