Tasawuf/Akhlak

Pandangan Islam tentang Konten Dakwah Provokatif di Medsos

Sab, 28 Agustus 2021 | 05:00 WIB

Pandangan Islam tentang Konten Dakwah Provokatif di Medsos

Pertanyaannya, menurut ajaran Islam, bagaimana cara menghentikan kasus serupa agar tidak kembali terulang di kemudian hari atau minimal dapat menguranginya?

Tiga hari belakangan publik disuguhkan berita penangkapan oknum penistaan agama di media sosial yang telah menyebarkan ujaran kebencian. Sebenarnya di belantara media sosial aktor-aktor pelaku ujaran kebencian yang dikemas dalam dakwah provokatif sangat banyak. Satu dua oknum yang tertangkap itu hanya segelintir.


Pertanyaannya, menurut ajaran Islam, bagaimana cara menghentikan kasus serupa agar tidak kembali terulang di kemudian hari atau minimal dapat menguranginya?


Di tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, penyiaran agama apapun itu, utamanya melalui media sosial, sudah seharusnya dilakukan secara arif. Pendakwah agama apapun perlu menyadari, dakwah yang dilakukan secara provokatif, menista agama lain, dan melecehkannya tidak akan mendapatkan hasil yang baik, bahkan hanya akan menjadi konten “sampah” di media sosial. Apalagi yang didakwahkan adalah agama Islam yang jelas-jelas menjamin kemerdekaan beragama bagi seluruh manusia, memerintahkan dakwah secara arif, dan melarang umatnya untuk mensyiarkan Islam secara provokatif.


Islam Menjamin Kemerdekaan Beragama. Nabi Saw sebagai Teladannya

Islam menjamin kemerdekaan beragama bagi siapapun. Secara tegas Allah berfirman:


لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. البقرة: ٢٥٦


Artinya, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sungguh telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu orang yang mengingkari Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Surat Al-Baqarah ayat 256). 


Berdasarkan ayat ini Nabi Muhammad saw tidak pernah memaksakan agama Islam kepada siapapun. Nabi Muhammad saw sangat menjaga at-ta’ayus ad-dini as-silmi atau harmoni kehidupan beragama yang penuh kedamaian antara kaum muslimin dan umat beragama lainnya. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsîrul Wasîth, [Beirut, Dârul Fikr Al-Mu’âshir dan Dârul Fikr, cetakan pertama: 1422 H/2001 M), juz I, halaman 148-149).


Dakwah dengan Kearifan

Perjuangan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad saw menunjukan teladan kearifan. Intimidasi, teror, dan berbagai persekusi yang dihadapinya, tidak membuat Nabi Muhammad saw melakukan dakwah secara provokatif, kasar, dan mengumbar ujaran kebencian. Bagaimanapun dakwah tetap dilakukannya secara penuh hikmah dan kearifaan sesuai tuntunan Al-Qur’an:


اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل:  125


Artinya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sungguh Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalannya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Surat An-Nahl ayat 125)


Selain bertentangan dengan Islam, dakwah yang dipenuhi ujaran kebencian, penistaan agama lain, dan provokasi konflik di tengah masyarakat yang majemuk justru menjauhkan manusia dari tujuan utama dakwah yaitu mengajaknya pada kebaikan. Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan:


مَتَى امْتَزَجَتِ الْحُجَّةُ بِالْإِيذَاءِ كَانَتِ الْفِتْنَةُ 


Artinya, “Kapan hujjah argumentasi dakwah tercampur dengan perbuatan menyakiti orang lain, maka pasti muncullah fitnah,” (Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr Al-Bahrul Muhîth, [Beirut, Dârul Fikr Al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1422 H/2001 M], juz VI, halaman 48).


Menghindari Dakwah Provokatif

Dakwah provokatif dengan memproduksi konten ‘sampah’ di media sosial juga jelas-jelas dilarang oleh Islam. Namun perlu diakui, sadar atau tidak, terkadang orang lepas kontrol dan berlebihan dalam dakwahnya. Sebab itu wajar bila sejak dulu perilaku semacam ini mendapatkan teguran dari Allah swt:


وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّواْ اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون. الانعام: 108


Artinya, “Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah yang lain dari Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Surat Al-An’am ayat: 108).


Para pendakwah tentu tahu, ayat ini merupakan teguran bagi mereka agar tidak melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam dakwahnya, yaitu mencaci-maki sesembahan dan simbol agama lain secara provokatif yang justru membuat sasaran dakwah semakin jauh dari hidayah Islam. (Fahruddin Ar-Razi, Mafâtihul Ghaib, [Beirut: Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah, cetakan pertama: 1421 H/2000 M], juz XIII, halaman 114-116).


Hemat penulis, apabila para pendakwah semua agama, utamanya Islam, memperhatikan tiga hal tersebut, (1) menjamin atau menghargai kebebasan beragama; (2) berdakwah dengan penuh kearifan; dan (3) menghindari dakwah provokatif; fenomena konten sampah dakwah provokatif dapat berkurang dan tidak akan terjadi aksi saling balas kebodohan. Wallâhu a’lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.