Tasawuf/Akhlak

Pandangan Ulama soal Hoaks dan Kebencian

Sel, 31 Agustus 2021 | 11:00 WIB

Pandangan Ulama soal Hoaks dan Kebencian

Ilustrasi: Media sosial dianggap sebagai akselerator penyebaran ujaran kebencian baik secara lisan maupun tertulis, yaitu twitter, facebook, whatsapp, youtube, dan jenis akun lainnya.

Banyaknya kebencian yang diawali oleh hoaks ini membuat ulama gerah. Hal ini menarik perhatian pemerintah dan ormas keagamaan. Kementerian agama, MUI, dan Nahdlatul Ulama membahas masalah kebencian dan hoaks berbasis sentimen keagamaan secara serius. Telaah ketiga lembaga ini keluar tahun 2017 lalu berkaitan dengan maraknya ujaran kebencian. Baik, kita telaah satu per satu.


Kementerian Agama

Kementerian Agama (Kemenag) telah mengeluarkan Sembilan Seruan terkait kebencian ini. Hal itu disampaikan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saefudin, pada Jumat (28/4/2017) di Jakarta. Seruan ini terkait panduan ceramah agama di rumah ibadah.


Ada tiga hal kunci di dalam seruan itu:


1. Menyangkut penceramah


2. Bahasa Penyampaian


3. Konten Ceramahnya.


Adapun kalau konten konten ceramah yang harus dihindari adalah:


a. Secara umum konten ceramah tidak bertentangan dengan konsensus prinsip bangsa Indonesia; Pancasila, UUD RI 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.


b. Konten ceramah tidak mempertentangkan unsur suku, agama, ras, antargolongan (SARA) karena dapat memicu konflik, mencederai keharmonisan sosial, dan meretakkan hubungan sesama anak bangsa.


c. Konten ceramah tidak mengandung penghinaan dan pelecehan atas pandangan, keyakinan, dan praktik ibadah intraumat dan antarumat beragama.


d. Konten ceramah agama tidak berisi provokasi jamaah untuk melakukan diskriminasi, intimidasi, anarki, dan destruksi.


e. Konten ceramah tidak bermuatan politik praktis atau promosi bisnis.


Fatwa MUI

Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 menyebutkan bahwa interaksi via media sosial mencakup pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), akses (konsumsi), dan penggunaan informasi dan komunikasi.


Setiap Muslim yang melakukan interaksi melalui media sosial dalam fatwa MUI ini wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:


1. Senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan.


2. Mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan keislaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).


3. Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antarumat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.


Adapun larangannya, setiap Muslim dalam hal menggunakan media sosial diharamkan untuk:


1. Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan.


2. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan


3. Menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup


4. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i


5. Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.


Fatwa MUI tahun 2017 ini juga menyatakan bahwa tindakan memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram. Tindakan memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram. (Alhafiz Kurniawan)