Tasawuf/Akhlak

Pengertian Ihsan dalam Islam

Sen, 29 Maret 2021 | 12:30 WIB

Pengertian Ihsan dalam Islam

Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya mengatakan, ihsan mencakup kebaikan sesuatu secara substansi baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, maupun lainnya sebagaimana kebaikan seorang Muslim terhadap orang lain. (Foto: NU Online/Suwitno)

Ihsan merupakan pilar penting dalam bangunan agama Islam selain pilar iman dan islam. Ihsan tidak dapat dipisahkan dari iman dan islam. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh ditinggal salah satunya sebagai kesempurnaan keberislaman seseorang.

 

Ihsan berikut turunan katanya sering kali ditemukan pada Al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan urgensinya. Ihsan yang berarti perbuatan baik merupakan pembuktian atas keimanan dan keislaman seseorang. Ihsan secara harfiah berarti kebaikan sebagai perilaku, bukan sekadar pengetahuan tentang kebaikan sebagai etika. Ihsan dapat menjadi alternatif di tengah krisis akhlak di mana kebaikan hanya berhenti pada level pengetahuan atau jargon, tidak sampai pada tindakan atau aksi nyata. Sedangkan kita sering menyaksikan pelanggaran hukum dilakukan oleh orang yang telah 'mengerti' ketentuan dan peraturan.

 

Pada kesempatan ini kami akan mengutip satu ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits untuk menggambarkan ihsan secara umum. Kami juga akan menghimpun ragam pandangan ulama perihal ihsan dan hubungannya dengan iman dan islam.

 

Pada Surat An-Nahl ayat 90, kita menemukan perintah Allah kepada umat manusia untuk berbuat adil, berbuat baik (ihsan), mengulurkan bantuan untuk kerabat. Melalui pintu masuk Surat An-Nahl ayat 90 ini, kita coba menggali kandungan makna kata 'al-ihsan' dari sejumlah ulama tafsir.

 

Al-Baidhawi mengartikan ihsan pada Surat An-Nahl ayat 90 sebagai bentuk ketaatan kepada Allah baik secara kuantitas seperti ibadah sunnah maupun coraknya. 


Ulama lain memaknainya sebagai perbuatan baik kepada orang lain. Oleh sebagian ulama, ihsan diartikan sebagai kelapangan hati dalam memaafkan orang lain. Ada ulama seperti Jalaluddin As-Suyuthi memaknai ihsan sebagai pelaksanaan kewajiban-kewajiban.

 

Adapun Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya mengatakan, ihsan mencakup kebaikan sesuatu secara substansi baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, maupun lainnya sebagaimana kebaikan seorang Muslim terhadap orang lain.

 

Ihsan mengandung makna lebih luas dari sekadar adil karena adil berarti memenuhi hak kepada pemiliknya tanpa melewati batas atau menguranginya. Sedangkan kandungan makna ihsan mencakup pengertian kelapangan hati memaafkan orang yang telah berbuat jahat, menginisiasi hubungan dengan orang yang memutuskannya, dan juga memberikan sesuatu kepada orang yang enggan berbagi dengannya.
 

Sayyid Thanthawi mengatakan, objek kata 'ihsan' pada Surat An-Nahl ayat 90 tidak disebutkan untuk memberikan efek keumuman sasaran dan bentuk dari perbuatan ihsan itu sendiri. Perbuatan baik atau ihsan dilaksanakan dalam bentuk perbuatan maupun ucapan dan ditujukan kepada manusia, hewan, dan ciptaan lainnya.

 

Satu kesatuan iman, Islam, dan ihsan akan tampak pada hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang menyebutkan riwayat Jibril yang menjelaskan ihsan selain iman dan islam kepada Rasulullah. "Ihsan adalah menyembah Allah  seolah kau melihat-Nya. Tetapi kalaupun kau tidak melihat-Nya, niscaya Dia tetap mengawasimu."

 

Rasulullah pada suatu kesempatan menyebut kaitan erat ihsan dan iman. "Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya (ihsan)," (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Baihaqi, dan Ad-Darimi). Al-Munawi menjelaskan tempat penting ihsan sebagai perwujudan keimanan karena agama Islam berdiri di atas pilar ihsan dan kemurahan hati. Tanpa keduanya, keberislaman seseorang tidak akan bernilai baik. Nilai sempurna dan cacat keimanan seseorang bergantung pada kebaikan budi pekertinya. Dengan demikian, orang yang berkahlak buruk adalah orang yang kurang imannya.

 

Kaitan ihsan dan keimanan diangkat kembali oleh Rasulullah pada riwayat Ibnu Majah dan At-Thabarani, "Orang beriman yang paling utama (paling tinggi derajatnya, kata Al-Munawi) adalah mereka yang paling baik akhlaknya," karena Allah menyukai perilaku yang baik sebagaimana tertera pada banyak kitab hadits. Adapun husnul khuluq atau perilaku yang dimaksud, kata Al-Munawi, adalah perilaku baik kita terhadap sesama Muslim, demikian juga terhadap non-Muslim, dan orang-orang durjana sekalipun.

 

Kedudukan ihsan dalam trilogi iman, Islam, dan ihsan tidak dapat dipisahkan. Rasulullah berpesan kepada Mu‘adz, "Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah di mana saja berada. Iringi perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya itu dapat menghapusnya. Interaksilah dengan orang lain dengan akhlak yang baik." (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Hakim)
Rasulullah SAW pada kesempatan lain mengatakan, "Orang pilihan di antara kalian adalah mereka yang baik akhlaknya," (HR Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi). Hadits ini, kata An-Nawawi, menganjurkan dan menyatakan keutamaan perilaku baik yang merupakan sifat para nabi dan para wali Allah. Bagi Al-Hasan Al-Bashri, kebaikan perilaku merupakan pengerahan pikiran untuk berbuat baik, menahan diri dari tindakan menyakiti orang lain, dan menampilkan wajah ceria di hadapan orang lain.

 

Ihsan atau perilaku yang baik sebagai wujud keimanan oleh Al-Qadhi Iyadh diartikan sebagai interaksi dengan orang lain dengan cara yang baik, gembira, semangat persaudaraan, kasih sayang, kesantunan, menanggung risiko kerugian atas interaksi, tidak sombong, tidak mencemari kehormatan orang lain, menjauhi kebengisan, kemarahan, dan pembalasan terhadap orang lain.
Karena keterkaitan erat iman, islam, dan ihsan, Rasulullah bersabda sebagaimana riwayat Al-Askari dan Al-Khatib dan sahabat Anas RA, "Perilaku yang baik adalah separuh dari isi agama ini." Bahkan pada riwayat Ad-Dailami dari sahabat Abu Sa’id RA, Rasulullah SAW bersabda, "Agama Islam itu sendiri sepenuhnya akhlak yang baik."

 

Pengertian serupa dapat ditemukan pada pesan terakhir Rasulullah SAW saat Haji Wada‘ berikut ini, "Orang yang beriman (Mukmin) adalah orang baik yang mana keselamatan jiwa dan harta banyak orang terjaga dari kejahatannya." (HR At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Hakim, At-Thabarani, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi).

 

Al-Munawi mengatakan, Mukmin yang sempurna adalah orang baik yang integritasnya sudah teruji dan terbukti di tengah masyarakat sehingga ia dipercaya oleh masyarakat sebagai orang yang berakhlak baik. Al-Mubarakfuri menambahkan, keimanan memiliki akar kata yang sama dengan keamanan dan kepercayaan sehingga orang beriman tidak pernah memiliki riwayat sejarah yang mencederai kepercayaan orang lain melalui pengkhianatan.

 

Dengan kata lain, orang yang tidak mematuhi hukum Allah dalam menjamin keselamatan dan menahan untuk tidak menyakiti orang lain adalah orang yangtidak sempurna keberislamannya. Orang yang tidak memiliki semangat untuk mematuhi ketentuan Allah dan menjaga hak-hak orang lain sejatinya tidak menjaga hubungannya dengan Allah sehingga keimanannya juga terbilang cacat.

 

Pada kesempatan lain, Al-Mubarakfuri mengatakan, orang mukmin adalah orang baik yang teruji dan terbukti dipercaya oleh masyarakat. Ia dikenal lama menjaga hak dan kepercayaan orang lain. Orang mukmin yang sempurna adalah orang baik yang tampak integritas, keamanahan, dan kejujurannya sehingga masyarakat tidak mengkhawatirkan harta, kehormatan, dan jiwa mereka dari kejahatannya.

 

Rasulullah SAW secara lugas ingin mengatakan, kesempurnaan keimanan seseorang tidak dapat terbukti tanpa perbuatan baik. Tanpa perbuatan baik, seseorang tidak dapat mencapai derajat kesempurnaan keimanan. Kesempurnaan keimanan tidak dapat diraih tanpa akhlak. Sedangkan akhlak adalah manifestasi dan bukti keimanan, bukan sekadar etika yang berisi pengetahuan akan baik dan buruk. (Alhafiz Kurniawan)