Tasawuf/Akhlak

Situasi Ketakutan dan Kedekatan dengan Allah

Sel, 6 November 2018 | 10:00 WIB

Jatuhnya Pesawat Lion Air JT610 rute Jakarta-Pangkal Pinang tentu menyisakan perasaan duka yang sangat mendalam bagi kita semua, terutama bagi mereka yang anggota keluarganya menjadi korban dalam kecelakaan. Bukan hanya duka, tapi juga menyisakan sayatan luka dalam jiwa karena secara mendadak kehilangan orang-orang tercinta.

Beberapa hari sebelum kecelakaan itu terjadi, saya bersama beberapa kawan terbang dari Jakarta ke Yogyakarta. Esoknya kembali dari Yogyakarta ke Jakarta. Dalam perjalanan tersebut, saya merasakan takut yang lebih dari biasanya. Sejak pesawat bergerak meninggalkan bumi, perasaan takut itu semakin besar. Perasaan takut yang lebih dari biasanya itu terjadi karena sebelumnya sudah terbersit dalam pikiran saya bahwa dalam beberapa hari ini akan ada kecelakaan pesawat terbang. Bayangkan!

Dalam keadaaan takut seperti itu, saya yakin anda dapat menebak apa yang ada dalam hati dan pikiran saya. Pasti doa. Berharap Tuhan melindungi perjalanan kami. Menyebut nama-Nya dalam hati dan dan pikiran.

Di atas udara, dalam burung besi, dengan ketinggingan 30.000 kaki atau lebih, tentu kita merasa rapuh. Tak ada yang bisa kita andalkan untuk keselamatan, selain Tuhan. Dalam keadaan seperti itu, setiap orang, apapun agamanya, pasti merasakan kertergantungan yang sangat besar kepada Dia.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Artinya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak akan mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lupa terhadap ini (ketergantungan kepada Tuhan).’" (Surat Al-A’raf ayat 172).

Ayat di atas menegaskan bahwa pada dimensi tertentu (pra-eksistensi), setiap jiwa kita telah berikrar dan bersaksi bahwa “Engkau adalah Tuhan Kami.” Inilah ikrar primordial yang paling dalam. Ada dalam lubuk jiwa setiap manusia.

Karena kenyamanan dan kesibukan duniawi, manusia sering lupa pada ikrar dan kesaksian tersebut. Butuh keadaan tertentu agar kita mampu menemukan kembali ikrar itu yang kemudian menjadi kesadaran akan kerapuhan kita dan kekuatan Tuhan. Kita menjadi sangat bergantung pada-Nya. Kita menjadi begitu dekat dengan-Nya. 

Dalam keadaan turbulensi di dalam pesawat, semua orang pasti memanggil nama-Nya, bukan memanggil pilot atau pramugari.  Perasaan ketergantungan inilah yang sebenarnya dikembangkan dan dirawat oleh para sufi.

Meski dalam keadaaan aman dan nyaman, para sufi selalu berusaha mengembangkan kesadaran jiwa akan ketergantungan pada-Nya. “Aku butuh Engkau. Engkaulah penyelamatku. Tidak ada yang bisa melindungi aku selain Engkau. Engkau, Engkau, dan Engkau.” Dekat sekali.

Ibnu Athaillah, dalam Al-Hikam-nya, pernah berkata, “Orang-orang bijak bestari selalu merawat rasa butuh dan tergantung pada Tuhan. Mereka tidak merasa tenang jika tidak bersandar kepada-Nya. Sebaik-baik waktu dalam episode kehidupan ini adalah ketika menyadari kekurangan, kelemahan, kerapuhan, kebutuhaan, dan kerendahanmu.”

Kesadaran seperti inilah yang melahirkan kebijaksaanaan dan kearifan seseorang. Semakin kau dekat dengan Tuhan, semakin arif dan bijak sikapmu terhadap lingkungan sekitar.

Setelah turun dari pesawat, saya berkelakar kepada kawan yang duduk di samping, “Kalau kita ingin cepat jadi waliyullah, kekasih Allah, dekat dengan Allah, kita harus sering-sering naik pesawat. Kalau perlu, sehari dua kali penerbangan dalam seminggu.”

Kawan itu berkata, “Ah, yang bener aje ente?”

Saya jawab, “Bukankah dalam penerbangan tadi ane lihat wajah ente pucet. Ente kagak ngomong sepatah kata pun, padahal sebelum masuk pesawat, ente cerewet banget. Apaan aja ente ceritain. Di balik diam dan pucet wajah ente, ane yakin ente pasti nyebut ‘Allah, Allah, dan Allah.’”

Dia tertawa lebar sambil berkata, “Bisa aje ente.” Wallahu a‘lam. (Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta KH Taufiq Damas).

Terkait

Tasawuf/Akhlak Lainnya

Lihat Semua