Tasawuf/Akhlak AL-HIKAM

Tips Agar Amal Ibadah Diterima Allah Menurut Ibnu Athaillah

Sel, 31 Oktober 2017 | 10:03 WIB

Setiap orang boleh mengamalkan ibadah apapun antara lain shalat sunah, sedekah, puasa sunah, umrah, zikir, shalawat, bakti kepada orang tua, bantuan untuk mereka yang membutuhkan, dan lain sebagainya. Tetapi mereka juga sebaiknya memerhatikan status penerimaan amal ibadah itu di sisi Allah. Hal ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini.

لا عمل أرجي للقبول من عمل يغيب عنك شهوده ويتحقر عندك وجوده

Artinya, “Tiada amal yang paling diharapkan untuk diterima selain amal yang lenyap dari pandanganmu dan keberadaannya sepele menurutmu.”

Syekh Ibnu Abbad menyarankan kita untuk melupakan amal yang telah kita lakukan. Menurutnya, dengan cara melupakannya amal itu akan naik ke langit. Kalau amal ibadah itu masih tersangkut di bumi, yaitu amal yang selalu teringat dan terkenang atau selalu disebut-sebut, maka amal itu masih menggantung, belum bisa naik.

وقال على بن الحسين رضى الله تعالى عنه كل شيء من أفعالك إذا اتصلت به رؤيتك فذلك دليل على أنه لا يقبل منك لأن القبول مرفوع مغيب عنك وما انقطعت عنه رؤيتك فذلك دليل على القبول... فعلامة رفع الحق تعالى ذلك العمل أن لا يبقى عندك منه شيء فإنه إذا بقي فى نظرك منه شيء لم يرتفع إليه لبينونة بين عنديتك وعنديته فينبغى للعبد إذا عمل عملا أن يكون نسيا منسيا بما ذكرناه من اتهام النفس ورؤية التقصير حتى يحصل له قبوله

Artinya, “Ali bin Husein RA mengatakan bahwa setiap apapun dari amal-ibadahmu yang berkaitan dengan pandanganmu menjadi tanda penolakan atas amal tersebut. Pasalnya, penerimaan amal itu adalah sesuatu yang diangkat dan lenyap darimu. Sedangkan keterputusan amal ibadah dari pandanganmu menjadi tanda penerimaan atas amal tersebut...

Tanda bahwa Allah mengangkat amalmu itu adalah ketiadaan amal yang tersisa di ingatanmu. Bila sedikit saja amal itu masih terkenang di benakmu, maka amal itu takkan naik ke hadirat-Nya karena tergantung antara dirimu dan Allah. Karena itu sebaiknya seseorang melupakan dan mengabaikan amal ibadahnya dengan cara memandang kekurangan seperti adanya ego atau nafsu pada amal itu dan memandang ketidaksempurnaannya sehingga penerimaan Allah atas amal itu dapat terwujud,” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 44).

Kalau menghilangkan ingatan atas amal ibadah yang kita lakukan terasa sulit, cara lain bisa ditempuh. Syekh Zarruq RA menyarankan agar kita memandang amal kita penuh kekurangan. Bahkan ia menganjurkan kita untuk melepaskan kaitan kita dan amal kita sendiri karena pada hakikatnya amal itu bukan milik kita. Amal itu lahir dari kita karena Allah memberi taufiq kepada kita.

قلت: تقدير الكلام لا عمل أرجي للقلوب قبوله وحصول النفع به في إفادة ما يترتب عليه من تنوير وتعريف وكمال وثواب وغير ذلك من عمل يغيب عنك شهوده بشهود مدبره حتى لا ترى لنفسك نسبة فيه. بل لا تدرى له وجودا فى ذاته ويتحقر عندك وجوده لما هو عليه من نقص وعيب ظاهر أو خفي منه. فحاصله أن يرى نفسه مقصرا فيه ويراه مع تقصيره منة من الله عليه، إذ لا يليق به من حيث ذاته ومن هو حتى وفق له يوما ما وإلا لكان ممن هم مطرحون فى الخسائس بل فى أرذل الكفر والنفاق نسئل الله العافية

Artinya, “Menurut saya, bunyi kalimat itu kira-kira begini, ‘Tiada amal yang paling diharapkan dalam hati untuk diterima dan dipetik manfaatnya untuk menghasilkan buah cahaya, makrifat, kesempurnaan, pahala, dan sebagainya selain amal yang lenyap dari pandanganmu karena menyaksikan Allah sehingga kau tidak melihat hubungan dirimu dan amal itu. Bahkan kau sendiri tak mengetahui keberadaan substansi amal itu. Tiada amal yang paling diharapkan selain amal yang keberadaannya sepele menurutmu karena di dalamnya mengandung kekurangan serta cacat baik yang nyata maupun tersembunyi.

Simpulannya, ia memandang dirinya lalai pada amal itu dan memandang di tengah kelalaiannya karunia Allah karena dari segi zatnya ia tak layak atas anugerah itu dan siapa dia sampai diberikan taufiq di suatu hari. Tanpa anugerah itu, ia akan dicampakkan di zat-zat yang hina, bahkan di lembah hina kekufuran dan kemunafikan. Semoga Allah memberikan perlindungan-Nya untuk kita. amiiin,’” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431, halaman 65).

Hikmah ini mengajarkan banyak hal. Hikmah ini mengajarkan kita agar tidak menjadi takabbur dengan amal ibadah yang pernah kita lakukan. Hikmah ini juga mengingatkan untuk tidak puas dengan amal ibadah karena ketidaksempurnaan amal itu dalam pandangan kita.

Hikmah ini juga mendorong kita untuk tidak pernah hadir dalam amal ibadah itu karena hakikatnya amal itu anugerah Allah berupa taufiq-Nya kepada kita. Semua itu merupakan cara agar amal ibadah yang kita lakukan diterima Allah SWT. Wallahu a ‘lam. (Alhafiz K)

Terkait

Tasawuf/Akhlak Lainnya

Lihat Semua