Syariah

Waspada Jebakan Setan di Musim Lebaran!

Kam, 6 Juni 2019 | 11:30 WIB

Ramadhan, dengan berbagai amalan ketaatan di dalamnya, telah membentuk pribadi para hamba yang lebih bertakwa dari sebelumnya. Pada bulan Ramadhan setiap Muslim akan lebih berhati-hati dalam bertindak, sebisa mungkin tidak melakukan kesalahan agar puasa yang dilakukannya tak sia-sia kosong tanpa pahala.

Selama Ramadhan pula setiap Muslim seakan berlomba untuk sebaik-sebaiknya melaksanakan setiap perintah Allah. Mereka berusaha melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Kesunnahan yang biasanya ditinggalkan kini dengan enteng mereka lakukan. Mulut yang sebelum Ramadhan sering lepas kontrol dengan banyaknya mengeluarkan ujaran kebencian, berita hoaks, cacian dan makian, selama Ramadhan ditahan untuk hanya mengatakan yang baik-baik saja.

Pun dengan tangan, yang sebelumnya begitu erat menggenggam hingga susah untuk mengulurkan tangan, selama Ramadhan tetiba begitu mudahnya terbuka memberikan bantuan pada sesama. Banyak amal ketakwaan terlaksanakan selama Ramadhan. Banyak insan terwujud bertakwa karena Ramadhan.

Setelah Ramadhan usai datanglah Syawal. Ditandai dengan sebuah perayaan kemenangan di satu dua hari bulan Syawal, dalam sebuah momen hari raya. Pada hari-hari ini banyak orang merayakannya dengan berkumpul bersama dengan banyak keluarga, makan makanan enak, minum minuman segar, berlibur ke tempat tamasya, dan lain sebagainya.

Pada saat perayaan hari kemenangan inilah seorang muslim dituntut untuk waspada. Jangan sampai ingar bingar perayaan nikmat kemenangan justru menjerumuskannya ke dalam jebakan setan yang menjadikannya kehilangan sikap dan sifat ketakwaan yang sebelumnya sebulan penuh telah ia bangun.

Bagaimana hal itu terjadi?

Sebagaimana diketahui kaprahnya orang merayakan hari raya tak lepas dari berbagai macam makanan dan minuman. Kiranya ini hal yang lumrah dan wajar. Hanya saja mesti bijak dalam menyikapi dan mengkonsumsinya. Bila tidak maka hari raya yang semestinya menjadi momen atas sebuah kemenangan yang mesti dipertahankan justru akan menjatuhkan kita kembali pada titik nol kekalahan. Kemenangan yang dibangun sebulan lamanya harus sirna dalam sehari perayaannya.

Setelah sebulan penuh kita berpuasa menahan lapar dan dahaga, bahkan ketika di malam hari yang semestinya diperbolehkan untuk makan dan minum sepuasnya pun tetap saja kita hanya makan dan minum sekedarnya, sering kita lihat atau bahkan kita lakukan sendiri satu perilaku di hari raya di mana seseorang makan dan minum sepuasnya tanpa batas. Orang Jawa mengatakan kemaruk. Mumpung sudah boleh makan dan minum, mumpung sedang banyak makanan enak, nafsu makan pun tak dikendalikan.

Perilaku seperti ini menjadi perangkap setan yang luar biasa ampuh untuk mempurukkan kembali seorang muslim dari kemenangannya. Setelah sebulan penuh setan dikekang dan tak bisa menggoda umat manusia, ia berputus asa atas terampuninya semua dosa di bulan Ramadhan. Ia merasa sia-sia berusaha menjadikan manusia sebagai temannya. Namun di hari raya, setelah setan kembali dilepas dari kekangannya, ia mendapati pintu masuk dan jalan yang terbuka lebar untuk kembali menjerumuskan umat manusia. Jalan dan pintu masuk itu adalah makanan. 

Para ulama menjelaskan kepada umat bahwa ada banyak pintu masuk setan ke dalam diri manusia. Satu di antara pintu-pintu masuk itu adalah makanan. Syekh Ihsan Jampes misalnya dalam kitab Sirajut Thalibin menuturkan:

ومن أبوابه العظيمة الشبع من الطعام وان كان حلالا صافيا لا شبهة فيه. فان الشبع يقوي الشهوات والشهوات أسلحة الشيطان

Artinya: “Termasuk pintu masuknya setan yang besar adalah kenyang dari makanan meskipun makanan itu halal dan bersih, tak ada keraguan syubhat di dalamnya. Karena kenyang dapat menguatkan syahwat dan syahwat dapat merupakan senjata setan.” (Syekh Ihsan Jampes, Sirajut Thalibin, Indonesia, Maktabah Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, juz I, hal. 283).

Dengan hanya berbisik “mumpung sudah lebaran, makanlah sepuasnya” setan dapat menghancurkan kembali bangunan ketakwaan yang telah didirikan seorang muslim. Kemenangan yang diraih pada hari itu juga kembali lepas menjadi kekalahan.

Bagaimana bisa? Ketika seseorang dengan begitu semangat menyantap apa saja yang terhidang di depannya, perutnya kekenyangan. Di saat perut sarat dengan isi melemahlah semangat untuk beribadah. Di saat perutnya kenyang ia akan merasa berat dan mengantuk sehingga malas dan lemah melakukan amalan-amalan kebaikan yang sebelumnya begitu semangat ia lakukan di bulan Ramadhan. Karena kekenyangan membuatnya tak segera bangkit memenuhi panggilan azan. Karena kekenyangan ia tak lagi bersemangat melakukan amalan-amalan sunah yang sebulan sebelumnya rutin ia langgengkan.

Dalam sebuah dialog antara Iblis dengan Nabi Yahya ‘alaihissalam sempat Iblis menuturkan, “setiap kali engkau kenyang maka kami akan menjadikanmu merasa berat melakukan shalat dan mengingat Allah.”

Makan berlebihan tak hanya menjadikan seseorang malas beribadah dan mengingat Allah. Perut yang kenyang, apalagi kekenyangan, menjadikan pemiliknya menguat syahwatnya. Seorang yang kuat syahwatnya ia akan dengan mudah dijerumuskan oleh setan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tak dibenarkan oleh agama. 

Maka selepas rampungnya Ramadhan tak jarang seseorang kembali pada perilaku-perilaku buruk baik berupa tindakan maupun ucapan. Perilaku merasa benar sendiri, tindakan mengintimidasi, mencaci maki, mengumbar kalimat kotor, membully, menebar berita hoax, memfitnah dan lain sebagainya sering kali kembali terulang setelah rampungnya Ramadhan baik di dunia maya maupun nyata.

Ya, ketakwaaan yang dibangun sebulan penuh, di hari pertama bulan Syawal yang semestinya makin meningkat kuat dan kokoh justru menjadi rapuh karena satu hal; makanan dan kekenyangan. Dan bila terbukanya pintu setan ini tak disadari sejak dini hingga efeknya terus berlanjut tak terhenti, bukan mustahil bila bangunan takwa selama Ramadhan tak hanya rapuh tapi pada akhirnya akan roboh.

Dalam keadaan demikian kemenangan beralih ke tangan setan. Kerja seharinya di awal bulan Syawal berbuah kekalahan umat manusia bertahun dan berabad lamanya. Yahya bin Mu’adz Ar-Razi, sebagaimana dikuti Al-Ghzali dalam Minhajul ‘Abidin, menuturkan; setan telah selesai bekerja sementara engkau masih sibuk dengan hasil kerjanya. Setan selalu melihatmu, sementara engkau tak melihatnya. Engkau melupakannya, sementara ia tak pernah melupakanmu. Dari nafsumu setan memiliki pembantu-pembantu untuk mengalahkan dirimu.

Selamat berhari raya, semoga ketakwaan terus terjaga. Mabruk lakum, insya Allah.

Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)

::::

Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada 15 Juni 2018, pukul 07.00. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.


Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua