Warta

Donor ASI dari Sudut Pandang Islam

Ahad, 16 Mei 2010 | 01:17 WIB

Jakarta, NU Online
Rasanya tidak ada yang menyangkal bahwa ASI merupakan makanan ideal bagi bayi yang tidak tergantikan oleh susu formula. Maka dari itu, semenjak lahir hingga berusia 6 bulan, bayi hendaknya hanya mengonsumsi ASI. Komposisi nutrien yang terkandung di dalam ASI sangat tepat dan ideal untuk tumbuh kembang bayi, selain juga memenuhi kebutuhan dasar anak akan kasih sayang dan stimulasi.

Akan tetapi, karena satu dan lain hal, tak sedikit para ibu yang tidak dapat menyusui bayinya, terutama bayi prematur, karena produksi ASI belum maksimal. Di lain pihak, banyak para ibu yang memiliki ASI berlimpah sehingga sayang untuk dibuang dan memilih untuk mendonorkannya.<>

Dari segi kesehatan, sebelum berbagi ASI perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya penularan penyakit. Karena itu, sebelum mendonorkan ASI-nya, seseorang perlu melakukan skrining ada tidaknya penyakit, seperti Hepatitis, HIV/AIDS, atau TBC. Para ibu yang mengidap penyakit tersebut dilarang untuk mendonorkan ASI. Di negara maju, sebelum diberikan ASI donor secara rutin di- pasteurisasi sehingga relatif aman.

Dalam pandangan Islam, bayi yang mendapat ASI dari ibu lain sebetulnya bukan hal baru. Menurut Ustadzah Faizah Ali, Nabi Muhammad SAW pun memiliki ibu susu. Yang perlu diperhatikan adalah terjadinya hubungan anak antara anak yang mendapatkan ASI dan ibu yang memberikan ASI-nya.

"Anak yang mendapat ASI dari donor sama hukumnya dengan anak kandung, yaitu mahrom, tapi bukan dalam hal ahli waris. Begitu juga anak-anak si ibu susu menjadi saudara sepersusuan anak-anak tersebut sehingga jatuh hukum Tahrim atau haram kawin," papar Faizah dalam acara talkshow yang diadakan oleh AIMI dalam acara Breastfeeding Fair di Jakarta (14/5).

Mengenai hukum pemberian donor ASI ini, ada beberapa mazhab. "Empat mazhab menyebutkan, apa pun cara pemberiannya, baik disusui langsung atau diperah, meski cuma diberikan satu kali, tetap memberi dampak hukum adanya hubungan mahrom," urai salah satu anggota Komisi Fatwa MUI itu.

Namun, beberapa ulama modern memberikan batasan lima kali pemberian susu yang terpisah, mengenyangkan anak sehingga membentuk tulang dan menumbuhkan daging. "Menurut ijtihad tersebut, bila hanya diberikan satu sampai dua kali maka tidak menimbulkan hukum mahrom," imbuh Faizah.

Ia menegaskan, keputusan untuk mendonorkan ASI dikembalikan pada individu masing-masing, mau berpegang pada landasan mazhab yang mana saja. "Tapi untuk amannya, lebih baik dibuat catatan siapa yang kita donorkan ASI dan lebih baik dilanjutkan dengan hubungan silaturahmi. Sejak jauh-jauh hari anak juga diberitahu kalau ia saudara sesusu sehingga terhindar dari kemungkinan adanya haram perkawinan," katanya seperti dilansir kompas.com.

Mengenai cara pemberian, Faizah merekomendasikan agar diberikan langsung atau disusui langsung. "Ikatan batinnya lebih kuat jika anak disusui langsung dari payudara ibunya. Selain itu, komposisi ASI yang diberikan langsung juga mungkin lebih baik daripada yang sudah diperah dan disimpan dalam kulkas," ujarnya. (mad)