Syariah

Tidak Bayar Zakat Sekian Tahun karena Belum Tahu Kewajiban (1)

Sen, 7 Januari 2019 | 01:00 WIB

Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Salah satu hikmah di balik kewajiban zakat yang dibebankan pada umat Islam adalah karena dalam pelaksanaan zakat terkandung wujud penyucian terhadap pribadi seseorang dan pada harta yang dimiliki olehnya.
 
Hal ini seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an:
 
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
 
Artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sungguh doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah maha mendengar lagi maha mengetahui,” (Surat At-Taubah ayat 103).
 
Kewajiban zakat meliputi beberapa jenis harta benda tertentu yaitu emas perak, hewan ternak, makanan pokok, harta dagangan, buah-buahan yang kesemuanya terdiri atas komponen-komponen yang termasuk dari kategori jenis harta benda tersebut.
 
Penjelasan dan perincian tentang kategori benda zakat dan kapan zakat menjadi wajib pada benda-benda diatas, dijelaskan secara panjang lebar dalam kitab-kitab fiqih klasik.
 
Namun ironisnya tidak jarang orang-orang yang masih tidak mengetahui tentang kewajiban zakat yang harus dibayar oleh mereka, ada yang baru mengerti bahwa benda yang dimilikinya wajib untuk dizakati setelah mendapatkan pengertian langsung dari tokoh masyarakat atau orang lain tentang kewajiban zakat harta yang dimilikinya.
 
Seperti seseorang yang memiliki lahan sawah yang luas, sawah tersebut ditanami olehnya berbagai makanan pokok seperti padi dan jagung. Ia tidak mengerti bahwa padi dan jagung adalah salah satu harta benda yang wajib dizakati. Karena tidak mengerti setiap kali panen tiba, ia tidak mengeluarkan apapun dari hasil panennya. Hal demikian dijalaninya selama bertahun-tahun.
 
Namun seiring berjalannya waktu, ia baru mengetahui bahwa padi dan jagung adalah harta benda yang wajib dizakati setelah diberi tahu oleh orang lain yang dianggapnya alim dalam bidang agama.
 
Sejak saat itu, ia pun tidak lupa untuk selalu membayar zakat pada setiap panenan sawahnya. Namun, wajibkah baginya untuk mengqadha membayar zakat atas hasil panen yang sejak dulu belum ia bayar?
 
Dalam hal ini, ia tetap wajib untuk mengqadha membayar zakat hasil panen yang telah lampau. Sehingga ia dianggap memiliki tanggungan kewajiban membayar zakat atas hasil panennya, meski ia tidak dikenai dosa karena ketidak tahuannya atas kewajiban zakat atas hasil panen padi dan jagungnya. Sebab ketidaktahuan (jahl) pada suatu hal yang diperintahkan oleh syara’ (seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain) menuntut untuk wajibnya melaksanakan perintah-perintah yang tidak dilakukannya di masa lalu seperti penjelasan Kitab Al-Asybah wan Nazha’ir:
 
اعلم ان قاعدة الفقه أن النسيان والجهل مسقط للإثم مطلقا وأما الحكم فإن وقعا في ترك مأمور لم يسقط بل يجب تداركه ولا يحصل الثواب لمترتب عليه لعدم الائتمار –إلى أن قال- فهذه أقسام فمن فروع القسم الأول من نسي صلاة أو صوما أو حجا أو زكاة أو كفارة أو نذرا وجب تداركه بالقضاء بلا خلاف. 
 
Artinya, “Ketahuilah bahwa terdapat kaedah fiqih yang menjelaskan sungguh sifat lupa dan tidak tahu (terhadap suatu hukum) dapat menggugurkan dosa secara mutlak. Sedangkan perincian hukumnya, jika keduanya (lupa dan tidak tahu) terjadi pada perihal meninggalkan perkara yang diperintahkan maka perintah tersebut tidak menjadi gugur, bahkan wajib untuk melaksanakannya dan tidak mendapatkan pahala (atas pelaksanaan perintah tersebut) bagi orang yang sengaja untuk menyebabkan dirinya lupa atau tidak tahu sebab ia dianggap tidak memperhatikan perintah tersebut. Permasalahan ini terdapat beberapa pembagian, di antara permasalahan yang termasuk dalam kategori pertama yaitu seseorang yang lupa tidak melakukan shalat, puasa, haji, zakat, denda kafarah atau nadzar maka wajib untuk melaksanakan hal tersebut dengan mengqadla’inya dengan tanpa adanya perbedaan para ulama,’” (Lihat Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha’ir, halaman 188).
 
Qadha zakat ini tetap wajib bagi seseorang yang tidak melaksanakan zakat di masa lalu, meskipun harta bendanya telah habis atau tidak mencukupi untuk mengqadha zakatnya. Sebab kewajiban zakat yang telah dibebankan pada seseorang  tidak lantas menjadi hilang dan gugur hanya karena harta yang dimilikinya habis atau tidak mencukupi. Namun ia wajib untuk segera membayar zakatnya di masa lalu, ketika hartanya sudah mencukupi untuk membayar zakat-zakatnya di masa lalu tersebut.
 
Kewajiban di atas juga berlaku bagi orang yang tidak membayar zakat, meski sebenarnya ia telah mengetahui tentang kewajiban zakat pada harta bendanya, namun ia masih enggan untuk membayar zakat atas hartanya karena belum mendapat hidayah untuk melaksanakan zakat seperti karena rasa pelit yang dimilikinya sehingga ia enggan membayar zakat. Ketika umurnya mulai beranjak tua dan hartanya semakin melimpah, ia mulai menyesali kekhilafan yang dilakukan olehnya di masa lalu. Ia bertekad mulai saat itu juga akan membayar zakat.
 
Maka dalam hal ini, ia wajib untuk mengqadha’ membayar zakatnya di masa lalu dan ia mendapatkan dosa karena kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban membayar zakat yang wajib baginya, padahal ia telah mengetahui kewajiban tersebut.
 
Lalu berapa nominal zakat yang harus dibayar olehnya? Terlebih ketika ia sudah tidak mengetahui hitungan yang wajib untuk dikeluarkan karena masa yang terpaut begitu lama? (Bersambung…)
 
 
(Ustadz Ali Zainal Abidin)