Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 221: Larangan Menikah Beda Agama

Sel, 14 Mei 2024 | 14:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 221: Larangan Menikah Beda Agama

Ilustrasi pernikahan. (Foto: NU Online/Freepik)

Pernikahan beda agama yang terjadi di kalangan public figure negeri ini menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya, dalam ajaran Islam, pernikahan beda agama adalah hal terlarang. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 221:

 

وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ  

 

wa lâ tangkiḫul-musyrikâti ḫattâ yu'minn, wa la'amatum mu'minatun khairum mim musyrikatiw walau a‘jabatkum, wa lâ tungkiḫul-musyrikîna ḫattâ yu'minû, wa la‘abdum mu'minun khairum mim musyrikiw walau a‘jabakum, ulâ'ika yad‘ûna ilan-nâri wallâhu yad‘û ilal-jannati wal-maghfirati bi'idznih, wa yubayyinu âyâtihî lin-nâsi la‘allahum yatadzakkarûn

 

Artinya: “Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah [2] : 221)

 

Menurut Imam Qurthubi, mayoritas ulama berpendapat bahwa ayat ini menjadi dasar diharamkannya menikahi wanita-wanita non-muslim. Namun demikian, sebagian ulama memandang ayat ini dinasakh dengan ayat kelima dari surat al-Maidah, sehingga Allah SWT menghalalkan pernikahan dengan wanita ahli kitab. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 5: 

 

ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ 

 

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik." (Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, [Beirut, Muassasah al-Risalah: 2006], Juz III, halaman 454).

 

Perbedaan pendapat ulama berlanjut dalam kategorisasi musyrik. Mereka silang pendapat terkait status ahli kitab, sebagian menyebut ahli kitab menjadi bagian dari musyrik, sebagian lain tidak. 

 

Imam Ar-Razi menjelaskan, bagi mereka yang mengkategorikan ahli kitab sebagai musyrik, maka dalilnya adalah firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 30 dan Surat Al-Maidah ayat 73, sebagaimana berikut: 

 

وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ عُزَيۡرٌ ٱبۡنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ ٱللَّهِۖ  

 

Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’”. (At-Taubah [9] :30)

 

لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ 

 

Artinya: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa.” (Al-Maidah [5] :73)

 

Sementara itu, bagi ulama yang tidak mengakategorikan ahli kitab sebagai musyrik, mereka menganggap bahwa Allah telah memisahkan antara ahli kitab dan musyrik sebagaimana termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 105 dan Surat Al-Bayyinah ayat 1, sebagaimana berikut: 

 

مَّا يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَلَا ٱلۡمُشۡرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ خَيۡرٖ مِّن رَّبِّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَخۡتَصُّ بِرَحۡمَتِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ  

 

Artinya: “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS Al-Baqarah [2] :105)

 

لَمۡ يَكُنِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأۡتِيَهُمُ ٱلۡبَيِّنَةُ  

 

Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,” (QS Al-Bayyinah [98] :1)

 

Pada dua ayat ini, jelas Ar-Razi, sebagian ulama beranggapan bahwa ada pemisahan di antara dua golongan yang dipisahkan dengan athaf antara satu dengan lainnya. Dalil ini dinilai sebagai sebuah pertentangan. 

 

فَفِى هَذِهِ الْأَيَاتِ فَصْلٌ بَيْنَ الْقِسْمَيْنِ وَعَطْفُ أَحَدِهِمَا عَلَى اْلآخَرِ وَذَلِكَ يُوْجِبُ الْمُغَايَرَةِ

 

Artinya: “Maka dalam ayat-ayat ini terdapat pemisahan di antara dua kelompok dan athaf antara satu dengan lainnya. Hal itu memastikan adanya pertentangan.” (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Gahib, [Beirut, Daar al-Fikr : 1981], Jilid VI, halaman 61).

 

Dari perbedaan pendapat di atas, ada satu sisi yang tidak diperdebatkan dan seolah menjadi sebuah kesepakatan para ulama, yakni masalah akidah. Dengan demikian, dalam mengategorikan ahli kitab bagian dari kemusyrikan atau tidak, di lihat dari sisi akidahnya. 

 

Imam Qurthubi menjelaskan, tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari ucapan wanita: Tuhannya adalah Isa. Sebagaimana jawaban Abdullah bin Umar ketika ditanya tentang pernikahan seorang laki-laki dengan wanita ahli kitab. Dia menjawab : 

 

حَرَّمَ اللهُ الْمُشْرِكَاتِ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ، وَلَا أَعْرِفُ شَيْأً مِنَ اْلإِشْرَاكِ أَعْظَمَ مِنْ أَنْ تَقُوْلَ الْمَرْأَةُ : رَبُّهَا عِيْسَى أَوْ عَبْدٌ مِن ْعِبَادِ اللهِ

 

Artinya: “Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik atas laki-laki mukmin. Dan saya belum mengetahui hal yang lebih besar dari kesyirikan seorang wanita yang mengatakan: Tuhannya adalah Isa atau tuhannya (sebenarnya) adalah hamba dari hamba-hamba Allah!" (Al-Qurthubi, Juz III, halaman 455).

 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait keharaman menikahi wanita musyrik dan ahli kitab, namun mereka sepakat bahwa musyrik dan ahli kitab mempunyai akidah yang bertentangan dengan akidah Islam sehingga menikahi wanita di kalangan mereka menjadi haram. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muhammad Tantowi, Tim Ahli Aswaja Center MWCNU Jenggawah, Jember.