Nikah/Keluarga

Nikah Beda Agama bagi Wanita Muslimah Perspektif Syekh Ali Jumah

Kam, 10 Maret 2022 | 14:00 WIB

Nikah Beda Agama bagi Wanita Muslimah Perspektif Syekh Ali Jumah

Syekh Ali Jumah menegaskan, ulama Islam lintas disiplin ilmu telah ijma’ atau sepakat atas keharaman wanita muslimah dengan lelaki nonmuslim

Pro dan kontra keharaman nikah beda agama bagi wanita muslimah atau sekarang akrab disingkat NBA terus bergulir, utamanya di berbagai platform media sosial. Namun bagi kalangan namun bagi kalangan Ahussuunnah wal Jamaah termasuk pula warga Nahdliyyin, hal ini sebenarnya sudah sangat maklum, sebab keharamannya sangat jelas berdasarkan Al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama. 


Ulama lintas generasi, lintas negeri, dan lintas mazhab pun sepakat atas keharaman nikah beda agama bagi muslimah sebagaimana ulasan penulis dalam artiket berjudul: “Wanita Muslimah Nikah Beda Agama dalam Kajian Fiqih."


Ulama kaliber internasional Prof. Dr. Ali Jumah termasuk yang tegas menyatakan keharamannya. Mufti Republik Mesir 2003-2013 ini pernah diminta fatwa: “Apakah boleh wanita muslimah menikah dengan lelaki ahli kitab—Yahudi dan Nasrani—?” Lalu dengan tegas ia menjawab:


لا يجوز للمسلمة أن تتزوج من غير المسلم مطلقًا، وإن تمَّ مثل هذا فالزواج باطل، والمعاشرة بينهما من الزنا المحرم شرعًا


Artinya, “Tidak boleh bagi wanita muslimah untuk menikah dengan lelaki non muslim secara mutlak. Bila hal itu terjadi maka pernikahannya batal dan relasi antara dua pasangan yang nekat melakukannya termasuk relasi zina yang diharamkan syariat.” (Hal Yajûzu lil Muslimah An Tatazawwaja Rajulan Kitabiyyan, Fatwa Dârul Iftâ-il Mishriyyah, 12 Februari 2012, oleh Mufti Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad).


Dalam penjelasannya Syekh Ali Jumah menegaskan, ulama Islam lintas disiplin ilmu telah ijma’ atau sepakat atas keharaman wanita muslimah dengan lelaki nonmuslim, baik lelaki nonmuslim itu dari golongan ahli kitab seperti Yahudi dan Nasrani, dari golongan orang musyrik atau dari ateis yang tidak beragama sama sekali. Ijma’ ulama berdasarkan ketegasan firman Allah dalam Al-Qur’an:


وَلَا تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ 


Artinya, “Janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sungguh budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah ayat 221).


Selain itu, menurut Mufti yang juga sangat produktif menulis ratusan kitab ini, ada dua argumentasi lain yang meneguhkan ijma’ atas keharaman menikah beda agama bagi wanita muslimah:


Argumentasi pertama, hadits-hadits nabawi yang memberitakan bahwa lelaki muslim boleh menikah dengan wanita non muslim dari ahli kitab, namun lelaki nonmuslim ahli kitab tidak boleh menikah dengan wanita muslimah. 


Menurut penulis—Syekh Ali Jumah tidak menyebut redaksi hadits tertentu—, dari sekian hadits cukup jelas mengharamkan nikah beda agama bagi wanita muslimah adalah hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari, yaitu hadits yang mengisahkan Nabi saw tidak mengembalikan Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abu Mu’aith yang hijrah ke Madinah, meskipun disusul telah oleh keluarganya, karena mantan suaminya masih enggan beriman. Imam Al-Bukhari meriwayatkan:


وَجَاءَتِ المُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ، وَكَانَتْ أُمُّ كُلْثُومٍ بِنْتُ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ مِمَّنْ خَرَجَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ، وَهِيَ عَاتِقٌ، فَجَاءَ أَهْلُهَا يَسْأَلُونَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرْجِعَهَا إِلَيْهِمْ، فَلَمْ يُرْجِعْهَا إِلَيْهِمْ  ...  رواه البخاري


Artinya, “Dan telah datang wanita-wanita beriman untuk berhijrah ke Madinah. Ummu Kultsum Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abu Mu’aith termasuk orang yang keluar dari Makkah menuju Nabi saw di Madinah pada waktu itu  pasca Perjanjian Hudaibiyah. Ia masih sangat muda—yang lari dari suaminya Amru bin Al-‘As yang masih kufur—. Lalu keluarganya menyusulnya dan meminta Nabi saw untuk mengembalikannya kepada mereka. Namun Nabi saw kemudian tidak mengembalikannya kepada mereka ...” (HR Al-Bukhari).


Nah, keengganan Nabi menolak permintaan untuk mengembalikan Ummu Kultsum ke Makkah karena ia tidak halal lagi menjadi istri bagi mantan suaminya yang masih kufur. (Al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlimut Tanzîl, [Dâr Thaibah], juz VIII, halaman 97).


Argumentasi kedua, dalam Al-Qur’an pun Allah telah memerintahkan kaum muslimin agar menahan atau mencegah wanita yang hijrah ke negeri Islam sementara suaminya masih enggan beriman untuk kembali ke negeri suaminya. Kaum muslimin tidak boleh membiarkannya kembali ke sana selama suaminya masih enggan beriman. Mengapa demikian? Tiada lain karena wanita muslimah tidak halal menjadi istri lelaki nonmuslim. Adapun ayat Al-Qur’an yang dimaksud Syekh Ali Jumah adalah sebagai berikut.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ، اللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ، فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ، لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ


 Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepada kalian perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; lalu jika kalian mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah ayat 10).


Dengan bangunan argumentasi tersebut Syekh Ali Jum’ah kemudian menjawab pemohonan fatwa tahuin 2012 tersebut secara mantap: “Maka tidak boleh bagi wanita muslimah menikah dengan lelaki nonmuslim. Bila kasus seperti itu terjadi maka ada nikahnya batal dan relasi wanita dan lelaki yang melakukannya termasuk zina yang diharamkan syariat Islam." (Hal Yajûzu lil Muslimah An Tatazawwaja Rajulan Kitabiyyan, Fatwa Dârul Iftâ-il Mishriyyah).


Demikian fatwa Syekh Ali Jumah tentang keharaman menikah beda agama bagi wanita muslimah. Meski terkenal sangat progresif dengan berbagai pendapat di luar mainstrem, ilmuan kelas dunia ini tetap konsisten pada ijma’ dan tidak berani menentangnya. Bagaimana dengan kita? Wallâhu a’lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.