Pustaka

Kitab Ibnu Katsir: Tafsir bil Ma’tsur Peringkat Kedua

Jum, 26 April 2024 | 17:00 WIB

Kitab Ibnu Katsir: Tafsir bil Ma’tsur Peringkat Kedua

Tafsirul Qur’anil ‘Adzim  atau yang lebih terkenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir. (Foto: NU Online)

Imaduddin Abu Fida’ Isma’il bin Amr bin Katsir atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir adalah seorang imam besar dan hafidz. Para ulama mengakui akan keluasan wawasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadits, dan sejarah.


Karyanya dalam bidang sejarah yang berjudul Al-Bidayah wan Nihayah telah banyak menjadi rujukan penting dalam penulisan sejarah Islam. Selain itu, ada juga karyanya dalam bidang tafsir yang berjudul Tafsirul Qur’anil ‘Adzim atau yang lebih terkenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir.


Sekilas tentang Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir terkemuka dan termasyhur terutama dalam pendekatan tafsirnya terhadap metode bil ma’tsur. Dalam hal ini, menurut Syekh Husain adz-Dzahabi dalam kitab At-Tafsir wal Mufassirun, Tafsir Ibnu Katsir ini menduduki peringkat kedua setelah Tafsir ath-Thabari karya Imam Ibnu Jarir ath-Thabari. (Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, [Kairo, Maktabah Wahbah: tt], juz. 1, hal. 174)


Kitab tafsir ini pernah digabung dalam penerbitannya dengan kitab Tafsir Ma’alimut Tanzil karya Imam al-Baghawi. Tetapi juga pernah diterbitkan secara independen dalam empat jilid berukuran besar. Syekh Ahmad Syakir termasuk orang yang juga menangani publikasi kitab tersebut sebelum wafat, setelah membersihkan riwayat-riwayatnya yang lemah. (Manna’ Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, [Kairo, Maktabah Al-Ma’arif: 2000], halaman 377).


Metodologi Tafsir Ibnu Katsir

Metodologi yang digunakan Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan menggunakan metode bil ma’tsur. Dalam menafsirkan, biasanya beliau menggunakan hadits dan riwayat, menggunakan ilmu jarh wat ta’dil, melakukan komparasi berbagai pendapat dan juga tidak lupa men-tarjih sebagiannya, serta mempertegas kualitas riwayat-riwayat hadits yang shahih dan dha’if. (Manna’ Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, [Kairo, Maktabah Al-Ma’arif: 2000], halaman 377).


Dalam mukadimahnya sendiri, Imam Ibnu Katsir memaparkan suatu mukadimah yang sangat penting dan panjang. Di mana di dalamnya terdapat berbagai hal yang masih ada kaitannya dengan Al-Qur’an dan tafsirnya. Salah satu pembahasannya, beliau berpendapat bahwa metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an adalah dengan menggunakan al-Qur’an itu sendiri. Lalu jika tidak ketemu di dalamnya, maka menggunakan hadits. Jika juga tidak ketemu, maka menggunakan ijtihad para sahabat. (Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil ‘Adzim, [Darut Thayibah: 1999 M], juz. 1, hal. 7)


Langkah-langkah Penafsiran Kitab Tafsir Ibnu Katsir

Gambaran umum dan langkah-langkah penafsiran Imam Ibnu Katsir adalah sebagai berikut: 

  1. Menyebutkan ayat yang akan ditafsirkan terlebih dahulu
  2. Kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan redaksi yang singkat namun padat
  3. Apabila dimungkinkan untuk menjelaskan ayat satu dengan ayat lainnya, maka beliau akan menyebutkan dan membarengkannya di antara dua ayat (yang sedang ditafsiri), hingga makna yang dikehendaki menjadi jelas
  4. Setelah itu, beliau kemudian memaparkan beberapa hadits marfu’ yang masih ada kaitannya dengan ayat yang sedang ditafsiri, sembari menjelaskan hal-hal yang sekiranya membutuhkan penjelasan lebih lanjut
  5. Kemudian terakhir memaparkan beberapa pendapat dari para sahabat, tabi’in dan para ulama salaf. (Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, [Kairo, Maktabah Wahbah: tt], juz. 1, hal. 175)


Sebagai contoh untuk memperjelas langkah-langkah Imam Ibnu Katsir di atas, bisa dilihat dari penafsiran beliau terhadap surah Yunus ayat 45. Berikut adalah kutipan dari penafsiran beliau:


وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (٤٥)

“(Ingatlah) pada hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa) seakan-akan tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali sesaat saja pada siang hari, (seperti ketika) mereka (sejenak) saling mengenal di antara mereka (setelah dibangkitkan dari alam kubur). Sungguh rugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah dan mereka bukanlah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yunus: 45)


يَقُولُ تَعَالَى مُذكِّرًا لِلنَّاسِ قِيَامَ السَّاعَةِ وَحَشْرَهُمْ مِنْ أَجْدَاثِهِمْ إِلَى عَرَصات الْقِيَامَةِ: كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يُوَافُونَهَا لَمْ يَلْبَثُوا فِي الدُّنْيَا ﴿إِلا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ﴾ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا﴾ [النَّازِعَاتِ: ٤٦]،

"Allah swt. berfirman seraya memperingatkan manusia akan terjadinya hari kiamat dan digiringnya mereka di padang mahsyar dalam firman-Nya surah an-Nazi’at ayat 46, yang berarti, “Pada hari ketika melihatnya (hari Kiamat itu), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar) tinggal (di dunia) pada waktu petang atau pagi.” (QS. An-Nazi’at: 46).
 

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ وَنَحْشُرُ الْمُجْرِمِينَ يَوْمَئِذٍ زُرْقًا * يَتَخَافَتُونَ بَيْنَهُمْ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلا عَشْرًا * نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَقُولُونَ إِذْ يَقُولُ أَمْثَلُهُمْ طَرِيقَةً إِنْ لَبِثْتُمْ إِلا يَوْمًا﴾ [طه: ١٠٢ -١٠٤]،

"Selain itu, Allah swt. juga berfirman dalam surah Thaha ayat 102-104, yang mempunyai arti, “(Yaitu) pada hari ketika sangkakala ditiup. Pada hari itu Kami kumpulkan para pendurhaka dengan (wajah) pucat (penuh ketakutan). Mereka berbisik satu sama lain, “Kamu tinggal (di dunia) tidak lebih dari sepuluh (hari).” Kami lebih mengetahui apa yang akan mereka katakan, ketika orang yang paling lurus jalannya mengatakan, “Kamu tinggal (di dunia) tidak lebih dari sehari saja.” (QS. Thaha: 102-104)
 

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ * وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَالإيمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْبَعْثِ فَهَذَا يَوْمُ الْبَعْثِ وَلَكِنَّكُمْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾ [الرُّومِ: ٥٥، ٥٦] 

Sebagaimana juga dalam firman-Nya surah ar-Rum ayat 55-56, yang mempunyai arti, “Pada hari (ketika) terjadi kiamat, para pendurhaka (kafir) bersumpah bahwa mereka berdiam (dalam kubur) hanya sesaat (saja). Begitulah dahulu mereka dipalingkan (dari kebenaran). Orang-orang yang diberi ilmu dan iman berkata (kepada orang-orang kafir), “Sungguh, kamu benar-benar telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah sampai hari Kebangkitan. Maka, inilah hari Kebangkitan itu, tetapi dahulu kamu tidak mengetahui (bahwa itu benar adanya).” (QS. ar-Rum: 55-56)

وَهَذَا كُلُّهُ دَلِيلٌ عَلَى اسْتِقْصَارِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ كَمَا قَالَ: ﴿قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الأرْضِ عَدَدَ سِنِينَ * قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ * قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلا قَلِيلا لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ [الْمُؤْمِنُونَ: ١١٢، ١١٤] .

"Ayat-ayat tersebut adalah dalil tentang singkatnya kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan di akhirat. Sebagaimana dalam firman-Nya surah al-Mu’minun ayat 112-114, yang berarti, “Dia (Allah) berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari. Tanyalah kepada mereka yang menghitung.” Dia (Allah) berfirman, “Kamu tinggal (di bumi) hanya sebentar jika kamu benar-benar mengetahui.” (QS. al-Mu’minun:112-114)​​​​​​​

وَقَوْلُهُ: ﴿يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ﴾ أَيْ: يَعْرِفُ الْأَبْنَاءُ الْآبَاءَ والقرابات بعضهم لبعض، كما كانوا في الدُّنْيَا، وَلَكِنْ كُلٌّ مَشْغُولٌ بِنَفْسِهِ ﴿فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ﴾ [الْمُؤْمِنُونَ: ١٠١]،

"Adapun yang dimaksud dengan redaksi, ﴿يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ﴾ adalah bahwasannya mereka (anak, bapak, dan kerabat) saling mengenal seperti ketika di dunia, akan tetapi mereka tersibukkan dengan urusannya masing-masing. Hal ini seperti yang tertera dalam surah al-Mu’minun ayat 101, yang mempunyai arti, “Apabila sangkakala ditiup, pada hari itu (hari Kiamat) tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka dan tidak (pula) mereka saling bertanya.” (QS. al-Mu’minun: 101). 

وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَلا يَسْأَلُ حَمِيمٌ حَمِيمًا * يُبَصَّرُونَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِي مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيهِ وَصَاحِبَتِهِ وَأَخِيهِ * وَفَصِيلَتِهِ الَّتِي تُؤْوِيهِ * وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ يُنْجِيهِ * كَلا﴾ [الْمَعَارِجِ: ١٠، ١٥] .

"Dan firman Allah swt. dalam surah al-Ma’arij ayat 10-15, yang mempunyai arti, “Dan tidak ada seorang pun teman setia yang menanyakan temannya, (padahal) mereka saling melihat. Orang yang berbuat durhaka itu menginginkan sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya, istrinya, saudaranya, keluarga yang melindunginya (di dunia), dan seluruh orang di bumi. Kemudian, (dia mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya. Sekali-kali tidak!” (QS. al-Ma’arij: 10-15).

وَقَوْلُهُ: ﴿قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ﴾ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ﴾ [الْمُرْسَلَاتِ: ١٥] . لِأَنَّهُمْ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أَلَا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ. فَهَذِهِ هِيَ الْخَسَارَةُ الْعَظِيمَةُ، وَلَا خَسَارَةَ أَعْظَمُ مِنْ خَسارة مَنْ فُرّق بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْحَسْرَةِ وَالنَّدَامَةِ.

"Adapun firman-Nya yang berbunyi, ﴿قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ﴾ sepertihalnya firman-Nya yang lain dalam surah al-Mursalat ayat 15, yang mempunyai arti, “Celakalah pada hari itu para pendusta (kebenaran).” (QS. al-Mursalat: 15). Hal demikian karena mereka merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya di hari kiamat. Ingatlah, bahwa itu adalah kerugian yang yang nyata. Tiada kerugian yang melebihi berpisahnya seseorang dengan seseorang yang dicintainya di hari menyesal." (Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil ‘Adzim, [Darut Thayibah: 1999 M], juz. 4, hal. 271).


Nilai Lebih Tafsir Ibnu Katsir

  1. Peringkat kedua terbaik dalam penafsiran corak bil ma’tsur. Tafsir Ibnu Katsir ini, seperti pernyataan Syekh Husain Adz-Dzahabi di atas, adalah tafsir dengan corak bil ma’tsur yang menduduki peringkat kedua terbaik setelah Tafsir ath-Thabari karya Imam Ibnu Jarir ath-Thabari. Bahkan menurut Imam Suyuthi dan Imam Zarqani seperti yang dikutip Adz-Dzahabi, tidak ada karangan yang bisa menandingi tafsir karya Imam Ibnu Katsir ini. (Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, [Kairo, Maktabah Wahbah: tt], juz. 1, hal. 176)
  2. Memberi peringatan terhadap riwayat israilliyat. Salah satu kelebihan Tafsir Ibnu Katsir terletak pada seringnya memberikan peringatan terhadap Israiliyyat yang banyak terdapat dalam kitab tafsir bil ma’tsur. Peringatan tersebut kadang secara global dan kadang pula secara terperinci seraya memberikan penjelasan mengenai kemungkaran riwayat tersebut. (Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, [Kairo, Maktabah Wahbah: tt], juz. 1, hal. 175)
  3. Memaparkan hukum yang ada kaitannya dengan suatu ayat. Kelebihan lain yang dimiliki kitab tafsir ini adalah selalu memaparkan masalah-masalah hukum yang ada dalam berbagai madzhab, kemudian mendiskusikannya secara komprehensif. (Manna’ Al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, [Kairo, Maktabah Al-Ma’arif: 2000], halaman 377).


Namun, meski dalam tafsirnya ini beliau memaparkan masalah-masalah hukum, namun tujuannya hanya sekadar paparan sederhana saja dengan tanpa memperdalam pembahasannya seperti yang sering dilakukan oleh mufasir dari kalangan ahli fiqih (fuqaha’). (Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, [Kairo, Maktabah Wahbah: tt], juz. 1, hal. 176)


Identitas Kitab  

Judul: Tafsirul Qur’anil ‘Adzim (Tafsir Ibnu Katsir)   
Penulis: Imaduddin Abu Fida’ Isma’il bin Amr bin Katsir (w 774 H)   
Pentahqiq: Sami bin Muhammad as-Salamah
Penerbit: Darut Thayibah
Tahun Terbit: 1999 M
Peresensi : M. Ryan Romadhon, Alumnus Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo