Syariah

Perbedaan Rukun dan Wajib Haji yang Perlu Diperhatikan Jamaah

Ahad, 21 April 2024 | 16:00 WIB

Perbedaan Rukun dan Wajib Haji yang Perlu Diperhatikan Jamaah

Ilustrasi haji. (Foto: MCH)

Mazhab Syafi’i membedakan rukun dan wajib dalam bab haji, sesuatu yang tidak dilakukan pada bab lain. Bisa jadi [tentu ini asumsi sementara yang perlu kajian lebih lanjut] ini bagian dari pengaruh Mazhab Hanafi (yang membedakan fardhu dan wajib) terhadap Mazhab Syafi’i.

 

Mazhab Syafi’i pada selain bab haji tidak membedakan rukun dan wajib dan menyebut rukun dan wajib untuk pengertian yang sama. Mazhab Syafi’i pada bab lain hanya membedakan rukun/wajib dan sunnah.

 

Kalau pun ada, Mazhab Syafi’i membedakan sunnah ab’adh [hampir seperti setengah rukun/wajib] dari sunnah hay’at pada bab shalat. Mazhab Syafi’i mengharuskan sujud sahwi sebelum salam bagi mereka yang lupa dalam shalat atau meninggalkan sunnah ab’adh yang dijelaskan rinci dalam kitab fiqih.

 

واعلم أن الفرق بين الواجبات والأركان خاص بهذا الباب، لأن الواجبات في غيره تشمل الأركان والشروط، فكل ركن واجب، ولا عكس، فبينهما عموم وخصوص بإطلاق

 

Artinya, “Ketahuilah, perbedaan wajib dan rukun terjadi khusus pada bab [haji] ini. Pada selain bab [haji] ini, wajib meliputi rukun dan syarat. Setiap rukun adalah wajib [pada selain bab haji], tetapi tidak berlaku sebaliknya. Di antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan secara mutlak.” (Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimyathi, I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 341).

 

Semua rukun haji (ihram, wukuf, tawaf, sa’i, tahallul, dan tertib) harus dilaksanakan tanpa kecuali. Rukun haji tidak boleh dilakukan sebagian, lalu sebagian lain ditinggalkan dan digantikan dengan dam. Haji menjadi rusak atau batal ketika jamaah haji meninggalkan salah satu rukun haji.

 

قوله: ولا تجبر أي الأركان أي لا دخل للجبر فيها، وذلك لانعدام الماهية بانعدامها، فلو جبرت بالدم مع عدم فعلها للزم عليه وجود الماهية بدون أركانها، وهو محال بجيرمي

Artinya, “Rukun-rukun atau bagian ini tidak dapat ditambal [substitusi atau kompensasi]. Maksudnya tidak masuk pada rukun-rukun itu penambalan karena tidak ada substansi haji tanpa pelaksanaan rukun-rukun tersebut. Seandainya rukun itu dapat diganti dengan dam tanpa mengerjakan rukun tersebut, niscaya akan wujud substansi [hakikat] tanpa rukun-rukunnya, dan itu mustahil. Demikian penjelasan Al-Bujairimi,” (Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimyathi, 2005 M/1425-1426 H: II/331).

 

Adapun wajib haji (ihram dari miqat, mabit di Muzdalifah dan Mina, lontar jumrah, tawaf wada’, haji ifrad sehingga haji tamattu atau qiran terkena dam) bagi Mazhab Syafi’i berbeda dengan rukun haji.

 

Wajib haji hampir seperti “setengah” rukun yang juga harus dilaksanakan oleh jamaah haji. Tetapi kalau sebagian wajib haji ditinggalkan, maka hajinya tetap sah. Hanya saja jamaah haji wajib membayar dam.

 

Kalau dalam bab shalat, wajib haji bagaikan sunah ab’adh yang memiliki konsekuensi jika ditinggalkan. Jamaah haji yang meninggalkan wajib haji baik karena uzur maupun tanpa uzur wajib membayar dam (menyembelih seekor kambing di tanah suci atau puasa 10 hari yaitu, 3 hari [dianjurkan] sebelum wukuf di Tanah Haram dan 7 hari di Tanah Air sepulang haji).

 

وقوله: ما يجب بتركه الفدية أي والإثم إن كان لغير عذر

 

Artinya, “[Wajib haji ialah] (sesuatu yang bila ditinggalkan, jamaah haji wajib membayar dam) dan jamaah haji berdosa jika meninggalkannya tanpa uzur,” (Sayyid Bakri Syatha Ad-Dimyathi, 2005 M/1425-1426 H: II/341).

 

Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin secara spesifik mengatakan, ibadah haji tetap sah meski jamaah haji meninggalkan sebagian wajib haji. Hanya saja jamaah haji wajib membayar dam dan cukup berdosa jika meninggalkannya tanpa uzur yang jelas.

 

فصل: واجبات الحج وهي ما يصح بدونها مع الدم، وكذا الإثم إن لم يعذر

Artinya, “Wajib haji ialah sesuatu yang bila ditinggalkan, maka hajinya tetap sah meski jamaah haji wajib membayar dam. Jamaah haji berdosa jika meninggalkannya tanpa uzur,” (Syekh Said bin Muhammad Ba’asyin, Busyral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 2012 M/1433-1434 H], halaman 539).

 

Kita dapat menyimpulkan perbedaan rukun dan wajib haji dari keterangan di atas, sebagaimana berikut:

 
  1. Meninggalkan sebagian rukun haji berbeda konsekuensi dengan wajib haji.
  2. Rukun haji yang ditinggalkan berkonsekuensi pada rusak atau batalnya ibadah haji.
  3. Jamaah haji yang rusak atau batal hajinya wajib mengulang haji pada tahun-tahun berikutnya.
  4. Wajib haji yang ditinggalkan tidak berkonsekuensi pada rusak atau batalnya ibadah haji.
  5. Jamaah haji yang meninggalkan wajib haji tidak perlu mengulang ibadah hajinya pada tahun-tahun berikutnya karena hajinya tetap sah.
  6. Jamaah haji yang meninggalkan wajib haji baik dengan atau tanpa uzur harus membayar dam.
  7. Jamaah haji yang meninggalkan wajib haji tanpa uzur terkena dosa.
 

Kementerian Agama RI dari tahun ke tahun memiliki perhatian pada rukun haji dan wajib haji. Sebagai penyelenggara ibadah haji melalui petugas, Kemenag RI memfasilitasi pelaksanaan rukun haji untuk memastikan sahnya ibadah haji jamaah asal Indonesia.

 

Kemenag RI juga memfasilitasi jamaah haji asal Indonesia untuk pelaksanaan wajib haji terutama bagi jamaah yang memiliki kesiapan fisik dan kesehatan yang memadai. Sedangkan jamaah yang memiliki uzur dari kalangan lansia atau risti dapat meninggalkan wajib haji.

 

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar rukun dan wajib haji dalam Mazhab Syafi’i terletak pada konsekuensi hukum bila meninggalkan sebagian rukun atau wajib haji tersebut.

 

Demikian keterangan singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga keterangan ini dapat dipahami dengan baik.

 

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Redaktur Keislaman NU Online.