Tasawuf/Akhlak

Memahami Ungkapan 'Adab di Atas Ilmu' secara Tepat

Rab, 8 Mei 2024 | 19:30 WIB

Memahami Ungkapan 'Adab di Atas Ilmu' secara Tepat

Memahami ungkapan "Adab di atas Ilmu" secara tepat (NU Online).

Orang sering salah paham memahami ungkapan 'adab di atas ilmu', sehingga mengabaikan ilmu karena ungkapan ini. Lalu bagaimana pemahamannya yang tepat?
 

Hadlratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari mengutip pendapat para ulama, bahwa adab merupakan hasil akhir dari rangkaian tauhid, iman, dan syariat. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam melahirkan adab. Sehingga orang yang memiliki adab hampir dapat dipastikan memiliki kemampuan menjalankan syariat, keimanan, dan ketauhidan secara benar.
 

Hadlarutssyekh mengungkapkan: 
 

وَقَالَ بَعْضُهُمْ : التَّوْحِيْدُ يُوْجِبُ الْإِيْمَانَ، فَمَنْ لَا إِيْمَانَ لَهُ فَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ. وَالْإِيْمَانُ يُوْجِبُ الشَّرِيْعَةَ، فَمَنْ لَا شَرِيْعَةَ لَهُ فَلَا إِيْمَانَ لَهُ وَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ. وَالشَّرِيْعَةُ تُوْجِبُ الْأَدَبَ، فَمَنْ لَا أَدَبَ لَهُ فَلَا شَرِيْعَةَ لَهُ وَلَا إِيْمَانَ لَهُ وَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ
 

Artinya, "Dan sebagian ulama berkata: "Tauhid pasti (melahirkan) iman. Barang siapa yang tidak memiliki iman, maka dia tidak memiliki tauhid. Iman pasti (melahirkan) syariat. Maka barang siapa yang tidak memiliki syariat, maka dia tidak memiliki iman dan tauhid. Syariat pasti (melahirkan) adab. Barang siapa tidak memiliki adab, maka dia tidak memiliki syariat, iman, dan tauhid. (KH Muhammad Hasyim Asy'ari, Adabul 'Alim Wal Muta'allim, [Jakarta, Maktabah At-Turmusy Litturats: 2021], halaman 22).
 

Namun akhir-akhir ini ramai diperbincangkan ungkapan 'Al-Adab Fauqal Ilmi' atau adab lebih utama daripada ilmu, yang kemudian disalahpahami.
 

Banyak orang yang cenderung meniru gaya berpakaian tokoh yang alim dan berakhlak yang mereka idolakan. Meniru cara dia berbicara dan bahkan meniru gaya hidupnya. Tanpa melihat bagaimana dia berproses menjadi sosok alim dan berakhlak mulia.
 

Gejala itu pada akhirnya mengantar mereka menjadi lebih suka hadir di majelis shalawatan, haul, khataman Al-Quran, pembacaan manaqib, dan gebyar kegiatan lainnya, meskipun jaraknya cukup jauh dari rumah. Padahal di dekat rumah ada majelis ilmu dari kiai atau ustadz di kampungnya. Bahkan ada sebagian kecil yang mengabaikan keberadaan orang tua sendiri hanya gara-gara terbius mengikuti majelis-majelis itu. 
 

Jika kesalahpahaman ini terjadi terus-menerus, maka ancaman nyata di tengah-tengah masyarakat adalah jauhnya mereka dari ilmu. Padahal keberlangsungan Islam dengan segala manifestasinya selalu ditopang dengan kekuatan ilmu. Sehingga segala bentuk ibadah tidak sah jika dilaksanakan tanpa ilmu. Imam Al-Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim menegaskan: 
 

... فَإِنَّ بَقَاءَ الْإِسْلَامِ بِالْعِلْمِ وَلَا يَصِحُّ الزُّهْدُ وَالتَّقْوَى مَعَ الْجَهْلِ
 

Artinya, "Sungguh kelestarian Islam itu terjadi dengan ilmu. Zuhud dan takwa tidak sah disertai kebodohan." (Burhanul Islam Az-Zarnuji, Ta'lim al-Muta'allim, [Beirut, Al-Maktabah Al-Islami : 1981], halaman 66).
 

Dengan mengutip hadis Nabi Muhammad saw, Imam Al-Ghazali menuturkan bahwa hal yang paling utama sebagai modal dasar menyembah Allah swt adalah pemahaman agama secara mendalam. Bahkan pemahaman seperti ini merupakan tiang agama. Ia menegaskan dalam kitab Ihya'
 

قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا عُبِدَ اللهُ تَعَالَى بِشَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ فِقْهٍ فِى الدِّيْنِ ... وَلِكُلِّ شَيْءٍ عِمَادٌ وَعِمَادُ هَذَا الدِّيْنِ الْفِقْهُ
 

Artinya, "Nabi Muhammad saw bersabda: "Allah swt tidak disembah dengan sesuatu yang lebih utama dariapda pemahaman terhadap agama yang benar, ... Setiap sesuatu ada tiangnya dan tiang agama ini adalah pemahaman agama yang benar." (HR At-Thabarani). (Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, [Jeddah, Darul Minhaj lin Nasyr Wat Tauzi': 2011], juz I, halaman 26).
 

Adalah hal logis, ketika seorang muslim yang berilmu pada akhirnya mengetahui penyakit-penyakit hati. Oleh karena penyakit hati tersebut sering kali merusak pahala suatu ibadah.
 

Merujuk Dr Lukman Hakim yang mengutip pendapat Al-Ghazali sebagaimana ditulis dalam catatan kaki kitab Adabul 'Alim wal Muta'allim, yang dimaksud dengan fiqih atau pemahaman di dalam agama adalah pengetahuan jalan akhirat, pengetahuan detil-detil kerusakan jiwa, dan perusak-perusak amal.
 

وَالْمُرَادُ بِالْفِقْهِ هُنَا عِلْمُ طَرِيْقِ الْآخِرَةِ وَمَعْرِفَةِ دَقَائِقِ آفَاتِ النَّفْسِ وَمُفْسِدَاتِ الْأَعْمَالِ
 

Artinya, "Dan yang dimaksud dengan fiqih di sini adalah ilmu untuk mengetahui jalan akhirat, mengetahui detil-detil bahaya jiwa dan perusak-perusak amal ..." (Asy'ari, 28).
 

Dari paparan di atas akhirnya dapat disimpulkan, beradab tanpa ilmu akan mengantarkan seorang muslim pada rapuhnya Islam itu sendiri. Seorang muslim tanpa ilmu akan mudah jatuh pada sikap fanatisme berlebihan. Sedangkan fanatisme berlebihan akan mengacak-acak tatanan masyarakat yang sudah ada. Wallahu a'lam bis shawab.
 

 

Ustadz Muhammad Tantowi, Guru Bahasa Arab MTsN 1 Jember