Nikah/Keluarga

Viral Kawin Kontrak di Cianjur, Bagaimana Pandangan Islam?

Kam, 25 April 2024 | 15:00 WIB

Viral Kawin Kontrak di Cianjur, Bagaimana Pandangan Islam?

Ilustrasi pernikahan. (Foto: NU Online/Freepik)

Baru-baru ini, masyarakat digegerkan dengan berita kasus prostitusi yang dibalut nikah mut’ah (kontrak) yang terjadi di Cianjur. Bermula dari dua pelaku yang berperan sebagai mucikari. Kedua pelaku tersebut menjebak seorang wanita remaja, dan menjadikannya sebagai ‘tunangan wanita’. 

 

Para pelaku rupanya telah beroperasi sejak tahun 2019. Pelaku pertama mencari calon korban, kemudian pelaku kedua mencari calon pelanggan. Kasus ini termasuk pada Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus kawin mut’ah (Kontrak).

 

Terlepas dari pelanggaran sisi hukum positif, beberapa kalangan masyarakat menggunakan dalih Kawin Kontrak sebagai penggiringan opini dari kasus prostitusi yang beredar. Namun, Bagaimana sebenarnya Kawin Kontrak dalam pandangan Islam? 

 

Diskursus nikah mut’ah sebetulnya memiliki proses hukum yang panjang. Pada awalnya, Rasulullah memperbolehkan umat Islam melangsungkan akad nikah dengan kurun waktu tertentu, sebagaimana hadits berikut:

 

جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَا كُنَّا فِي جَيْشٍ فَأَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا

 

Artinya, “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut'ahilah”. (HR. Bukhari)

 

Memang benar, pada kurun awal Islam, Nikah Kontrak diperbolehkan oleh Nabi saw. Tetapi hukum kebolehannya itu kemudian diganti (naskh), lalu dibolehkan kembali, lantas puncaknya di ganti menjadi haram. Secara garis besar, tidak benar jika Nikah Kontrak masih diperbolehkan hingga sekarang.

 

حدثنا ابن أبي عمر حدثنا سفيان عن الزهري عن عبد الله والحسن ابني محمد بن علي عن أبيهما عن علي بن أبي طالب : أَنَّ النَّبِيَّ صَلى الله عليه و سلم نَهَى عَن مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ لُحُوْمِ الْحِمَرِ الْأهْلِية زَمَنَ خَيْبَرَ

 

Artinya, “Dari Ali bin Abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar”. (Abu Isa At-Tirmidzi, Hasyiah As-Sanadi Ala Sunan At-Tirmidzi,[Lebanon, Darul Khotob Al-Ilmiyah:2020], Juz 2, halaman 134).

 

Pada susunan Nikah Mut’ah sendiri, terdapat unsur fundamental yang menyalahi syariat, yaitu ta’abud (تأبد) atau ikatan yang tidak ada batasan waktu tertentu. Dengan adanya akad yang membatasi masa waktu, yang demikian tidaklah sah. Bahkan pada akad pernikahannya rusak dan persyaratannya pun batal. (Badruddin Al-Aini, Umdatul Qari,[Beirut, Darul Fikr], Juz 24, halaman 112).

 

Akan tetapi, sangat disayangkan beberapa kalangan dan golongan melegalkan secara syariat dari nikah mut’ah. Terdapat di dalamnya syarat-syarat yang sama seperti pernikahan biasanya menurut mereka. Sehingga muncullah pendapat atas kebolehannya.

 

Padahal mayoritas ulama’ bersepakat atas keharaman nikah mut’ah. Imam Nawawi dalam Sahih Muslimnya mengutip pendapat Al-Maziri sebagai berikut:

 

قَالَ الْمَازِرِيُّ ثَبَتَ أَنَّ نِكَاحَ الْمُتْعَةِ كَانَ جَائِزًا فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ ثَبَتَ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْمَذْكُورَةِ هُنَا أَنَّهُ نُسِخَ وَانْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يُخَالِفْ فِيهِ إِلَّا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُسْتَبْدِعَةِ وَتَعَلَّقُوا بِالْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ فِي ذَلِكَ وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّهَا مَنْسُوخَةٌ فَلَا دَلَالَةَ لَهُمْ فِيهَا

 

Artinya, “Al-Maziri berkata; Telah ditetapkan bahwasanya nikah mut’ah diperbolehkan pada awal masa Islam, lalu telah ditetapkan pula dengan hadits sahih mengenai pergantian hukum yang disepakati ijma’ adalah haram. Tidak ada perbedaan atas pendapat tersebut kecuali para pelaku bid’ah. Mereka merujuk pada beberapa hadits mengenai nikah mut’ah namun beranggapan tidak dalil yang mengganti naskh.”

 

Tidak sampai di situ, Imam Nawawi menyinggung pembacaan Ibnu Mas’ud tentang petikan ayat An-Nisa’ dengan orientasi makna pernikahan yang dibatasi kurun waktu tertentu. Ayat tersebut berbunyi:

 

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةًۗ

 

Artinya, “Karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya (maskawinnya) sebagai suatu kewajiban” (QS. An-Nisa’:24)

 

Ibnu Mas’ud memiliki redaksi baca yang berbeda, yaitu: 

 

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ

 

Artinya, “Karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka sampai waktu tertentu

 

Redaksi baca yang demikian tidak selaras dengan Al-Qur’an dan Hadits Maka tak perlu mengamalkan apa yang ada dalam redaksi tersebut. (An-Nawawi, Syarah An-Nawawi Ala Muslim,[Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2017], Juz 5, halaman 153)

 

Kesimpulannya, memang benar pada kurun awal Islam nikah mut'ah diperbolehkan oleh Nabi Saw. Namun di kemudian hari hukum tersebut diganti (nasakh) menjadi haram. Serta para Ulama' fiqh maupun hadits menyepakatinya. Tidak benar jika terjadinya kasus prostitusi yang dibalut nikah mut'ah diperbolehkan oleh Islam. Wallahu A’lam

 

Ustadz Shofi Mustajibullah, Alumni Az-Zahirul Falah Ploso, Mahasantri Pesantren Kampus Ainul Yaqin Unisma.