Fanatisme Sektarian dalam Sejarah Penolakan Risalah Kenabian
Ahad, 3 Agustus 2025 | 09:30 WIB
Ketika Nabi Muhammad diutus sebagai rasul terakhir, masyarakat Arab bukanlah komunitas kosong dari agama dan peradaban. Di sekitar Madinah, hidup sejumlah komunitas Yahudi yang memiliki kitab, nabi, dan tradisi keilmuan panjang. Mereka dikenal sebagai Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa. Secara teologis, mereka tahu akan datangnya nabi akhir zaman. Namun, ketika kebenaran itu nyata dalam diri Muhammad, mereka justru berpaling. Mengapa demikian? Fanatisme kelompok menjadi jawabannya.
Kaum Yahudi yang menetap di Madinah bukan berasal dari bangsa Arab asli. Mereka adalah pendatang dari tanah Syam dan Palestina yang telah lama tinggal di Hijaz. Dalam banyak riwayat, mereka datang ke Yatsrib karena menanti munculnya nabi terakhir, sebagaimana kabar dalam Taurat. Namun, ekspektasi mereka berbeda. Mereka ingin sang nabi berasal dari Bani Israel, bukan dari Bani Ismail, apalagi dari bangsa Arab yang mereka pandang inferior secara budaya. (Al-Umari, As-Sirah An-Nabawiyah As-Sahihah, [Madinah: Maktabah Al-Ulum wal Hikmah, 1994], juz I, hlm. 227-228)
Dalam Al-Qur'an, Allah menjelaskan bahwa para ulama Yahudi sangat mengenal kebenaran ajaran Nabi Muhammad sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Namun, kebenaran itu mereka sembunyikan. Dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 146 dijelaskan:
اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَعْرِفُوْنَهٗ كَمَا يَعْرِفُوْنَ اَبْنَاۤءَهُمْۗ وَاِنَّ فَرِيْقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
Artinya, "Orang-orang yang telah Kami anugerahi Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Nabi Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sekelompok dari mereka pasti menyembunyikan kebenaran, sedangkan mereka mengetahui(-nya)." (QS. Al-Baqarah: 146)
Syekh Taqiyuddin Al-Maqrizi dalam Imta'ul Asma menyebutkan satu riwayat berikut:
عَنْ أَبِي نَمْلَةَ ، قَالَ: كَانَتْ يَهُودُ بَنِي قُرَيْظَةَ يَدْرُسُونَ ذِكْرَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كُتُبِهِمْ، وَيُعَلِّمُونَ الْوِلْدَانَ بِصِفَتِهِ، وَاسْمِهِ، وَمُهَاجَرِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَلَمَّا ظَهَرَ حَسَدُوا، وَبَغُوا، وَأَنْكَرُوا.
Artinya, "Dari Abu Namlah, ia berkata: "Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah biasa mempelajari penyebutan Rasulullah SAW dalam kitab-kitab mereka. Mereka juga mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang ciri-cirinya, namanya, serta tempat hijrahnya ke Madinah. Namun ketika beliau benar-benar muncul, mereka pun dengki, berlaku zalim, dan mengingkarinya." (Taqiyuddin Al-Maqrizi, Imta'ul Asma, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1999], juz III, hlm. 354)
Dalam konteks sejarah, Nabi Muhammad memiliki hubungan yang cukup rumit dengan kaum Yahudi Madinah. Pada awal hijrah, Nabi sangat menghormati eksistensi mereka dan bahkan mengakui hak-hak mereka secara politis dalam Piagam Madinah. Namun, sebagian besar dari mereka bersikap curang, mengkhianati perjanjian, bahkan secara aktif menyulut konflik. Sikap ini bukan semata strategi politik, tetapi cerminan ketidakterimaan terhadap kenabian dari luar golongan mereka.
Fanatisme kaum Yahudi Madinah terhadap kesukuan dan keagamaan mereka begitu kuat. Mereka merasa sebagai umat pilihan Tuhan yang eksklusif. Dalam kerangka teologi mereka, hanya keturunan Bani Israil yang layak menjadi pembawa risalah. Ketika Muhammad dari keturunan Ismail (bangsa Arab) datang membawa ajaran tauhid yang sama, mereka menolaknya mentah-mentah. Ini bukan soal isi risalah, melainkan soal siapa yang membawa risalah tersebut. Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib menjelaskan:
أنَّهم كانُوا يَظُنُّونَ أنَّ المَبْعُوثَ يَكُونُ مِن بَنِي إسْرائِيلَ لِكَثْرَةِ مَن جاءَ مِنَ الأنْبِياءِ مِن بَنِي إسْرائِيلَ وكانُوا يُرَغِّبُونَ النّاسَ في دِينِهِ ويَدْعُونَهم إلَيْهِ، فَلَمّا بَعَثَ اللَّهُ تَعالى مُحَمَّدًا مِنَ العَرَبِ مِن نَسْلِ إسْماعِيلَ صَلَواتُ اللَّهِ عَلَيْهِ، عَظُمَ ذَلِكَ عَلَيْها فَأظْهَرُوا التَّكْذِيبَ وخالَفُوا طَرِيقَهُمُ الأوَّلَ.
Artinya, "Mereka dulu menyangka bahwa nabi terakhir pasti akan diutus dari kalangan Bani Israil, karena kebanyakan nabi sebelumnya memang berasal dari Bani Israil. Bahkan, mereka sering mengajak orang lain untuk mengikuti agama para nabi itu. Tapi ketika Allah mengutus Muhammad SAW dari bangsa Arab,l keturunan Ismail, hal itu terasa berat bagi mereka. Lalu mereka pun menampakkan penolakan dan meninggalkan sikap yang dulu pernah mereka tunjukkan." (Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 1981], juz IIIhlm. 195)
Penolakan ini tidak hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh Yahudi, tapi juga menyebar dalam narasi kolektif komunitas mereka. Anak-anak Yahudi dibesarkan dalam keyakinan bahwa Muhammad bukan nabi mereka. Mereka menciptakan narasi-narasi tandingan, menuduh Nabi sebagai penyihir, pendusta, bahkan gila. Sejarah mencatat bagaimana mereka menyusun makar untuk membunuh Nabi dan menggoyahkan solidaritas umat Islam dari dalam, meski mereka sudah terikat Piagam Madinah.
Menariknya, sebagian kecil dari kaum Yahudi ada yang akhirnya beriman kepada Nabi Muhammad, seperti Abdullah bin Salam. Ia adalah seorang rabbi ternama yang jujur mengakui kenabian Muhammad begitu melihat tanda-tanda kenabiannya. Abdullah bin Salam bahkan memeluk Islam secara terbuka dan menjadi sahabat Nabi. Namun, keberaniannya ini dibayar mahal. Dia dijauhi komunitasnya, dijelekkan reputasinya, dan dianggap pengkhianat oleh kaumnya sendiri. (Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, [Beirut: Daru Arqam, 2020], hlm 301).
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kelompok dalam menentukan sikap seseorang terhadap kebenaran. Ketika seseorang hidup dalam komunitas yang fanatik dan eksklusif, menerima kebenaran di luar kelompok bisa dianggap sebagai pengkhianatan. Fanatisme kelompok membuat orang buta terhadap fakta dan menolak kebenaran yang tidak sejalan dengan identitas kolektif mereka. Inilah tragedi sejarah yang terulang dari generasi ke generasi.
Pelajaran penting dari penolakan kaum Yahudi terhadap Nabi Muhammad adalah bahayanya menjadikan identitas kelompok sebagai kebenaran mutlak. Kebenaran sejati harus diukur dengan akal sehat, hati nurani, dan wahyu, bukan dengan kesetiaan membabi buta pada komunitas. Kisah ini juga mengingatkan umat Islam agar tidak jatuh pada lubang yang sama, yaitu menolak kebenaran hanya karena datang dari luar kelompok, mazhab, atau etnisnya.
Fanatisme kelompok adalah musuh kebenaran yang paling halus. Ia menyamar dalam bentuk kesetiaan, solidaritas, atau cinta pada tradisi, tetapi pada hakikatnya ia menjauhkan manusia dari keadilan dan kebenaran. Dalam konteks dunia modern yang penuh konflik identitas dan polarisasi, sikap objektif dan terbuka menjadi kebutuhan mendesak. Kebenaran adalah milik Allah, bukan milik satu kelompok tertentu. Siapa pun yang membawanya, layak didengar dan diikuti. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Abror, Penulis Keislaman dan Sejarah Abad Klasik.