Syariah

Anak Menitipkan Orang Tua ke Panti Jompo, Memangnya Boleh dalam Islam?

Jumat, 4 Juli 2025 | 14:00 WIB

Anak Menitipkan Orang Tua ke Panti Jompo, Memangnya Boleh dalam Islam?

Ilustrasi panti jompo. Sumber: Canva/NU Online.

Menitipkan orang tua ke panti jompo seringkali memicu perdebatan batin dan sosial. Di satu sisi, beberapa anak merasa tidak mampu merawat lansia karena tuntutan kerja atau keterbatasan finansial. Di sisi lain, ada dorongan nurani dan nilai agama yang kuat untuk tetap merawat mereka secara langsung. Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap anak yang menitipkan orang tuanya ke panti jompo?


Al-Qur'an memberikan arahan tegas tentang kewajiban anak terhadap orang tuanya, terutama saat mereka memasuki usia senja. Allah SWT berfirman:


وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا


Artinya, "Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS Al-Isra: 23)


Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah SWT langsung memerintahkan kebaikan atau berbakti kepada orang tua. Bahkan, bukan hanya larangan berkata kasar, ucapan seringan "ah" saja sudah termasuk pelanggaran. Jika hal sekecil itu dilarang, apalagi tindakan meninggalkan mereka saat mereka paling membutuhkan uluran tangan anak-anaknya. Berikut Ibnu Katsir menyampaikan:


وَلِهَذَا قَرَنَ بِعِبَادَتِهِ بِرَّ الْوَالِدَيْنِ، فَقَالَ: (وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا)، أَيْ: وَأَمَرَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا، كَمَا قَالَ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَى: (أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ) [لقمان: ١٤]. وَقَوْلُهُ: (إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ)، أَيْ: لَا تُسْمِعْهُمَا قَوْلًا سَيِّئًا، حَتَّى وَلَا التَّأْفِيفَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى مَرَاتِبِ الْقَوْلِ السَّيِّئِ. (وَلَا تَنْهَرْهُمَا)، أَيْ: وَلَا يَصْدُرْ مِنْكَ إِلَيْهِمَا فِعْلٌ قَبِيحٌ.


Artinya: Oleh sebab itu, setelah perintah menyembah Allah, disebutkan pula perintah berbakti kepada kedua orang tua: “Dan berbuat baiklah kepada orang tua”, maksudnya adalah: Allah juga memerintahkan berbuat baik kepada orang tua. Hal ini sebagaimana firman-Nya yang lain: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Kulah tempat kembali.” (Luqman: 14). Adapun firman-Nya: “Jika salah satu dari keduanya atau keduanya telah lanjut usia dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali engkau berkata ‘ah’ kepada mereka berdua”, maksudnya adalah: jangan ucapkan kata-kata buruk kepada mereka, bahkan ucapan “ah” yang tergolong paling ringan dari ucapan yang buruk pun dilarang. “Dan janganlah engkau membentak mereka berdua”, maksudnya adalah: jangan ada tindakan buruk darimu terhadap mereka. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'anil Azhim, [Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun] juz III, h. 39)


Masih terkait dengan ayat Al-Qur'an di atas, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya menyampaikan pesan mendalam. Menurutnya, jika seorang anak menjumpai sikap atau kondisi orang tuanya yang membuatnya kesal, tidak dibenarkan baginya membalas dengan ucapan atau tindakan yang menyakiti. Sekalipun orang tua telah renta, pikun, atau merepotkan, seorang anak tetap wajib menjaga tutur kata dan sikapnya dengan penuh hormat dan kasih.


Ath-Thabari menekankan bahwa sebagaimana orang tua dulu sabar merawat anak sejak kecil seperti saat rewel, sakit, bahkan buang air, maka ketika peran itu berbalik, anak juga harus sabar menghadapi kondisi orang tua yang renta dan tak berdaya. Merawat orang tua bukan beban, melainkan kesempatan mulia untuk membalas cinta dan kesabaran mereka, serta ladang pahala yang sangat besar dalam pandangan Allah. Berikut pernyataan ath-Thabari:


وَقَوْلُهُ: (فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ)، يَقُولُ: فَلَا تُؤَفِّفْ مِنْ شَيْءٍ تَرَاهُ مِنْ أَحَدِهِمَا أَوْ مِنْهُمَا مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ النَّاسُ، وَلَكِنِ اصْبِرْ عَلَى ذَلِكَ مِنْهُمَا، وَاحْتَسِبْ فِي الْأَجْرِ صَبْرَكَ عَلَيْهِ مِنْهُمَا، كَمَا صَبَرَا عَلَيْكَ فِي صِغَرِكَ.... عَنْ مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِهِ: (فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا)، قَالَ: إِنْ بَلَغَا عِنْدَكَ مِنَ الْكِبَرِ مَا يَبُولَانِ وَيَخْرَآنِ، فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ تَقَذَّرَهُمَا


Artinya: Adapun firman Allah: “Maka jangan sekali-kali kamu mengatakan ‘ah’ kepada mereka berdua”, maksudnya: janganlah engkau menunjukkan rasa kesal terhadap hal apa pun yang kamu lihat dari salah satu dari mereka atau dari keduanya, meskipun hal itu biasanya membuat orang lain merasa terganggu. Tetapi bersabarlah atas hal itu dari mereka, dan niatkan sabarmu itu untuk mengharap pahala dari Allah, sebagaimana mereka juga dulu sabar mengurusmu ketika kamu masih kecil. Dari Mujahid, mengenai firman Allah: “Maka jangan sekali-kali kamu mengatakan ‘ah’ kepada mereka berdua dan jangan membentak mereka”, ia berkata: “Jika keduanya telah lanjut usia hingga kencing dan buang air besar di tempatmu, maka janganlah engkau berkata ‘ah’ karena merasa jijik kepada mereka.” (Ath-Thabari, Jami'ul Bayan, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2013], juz VIII, h. 59)


Atas dasar prinsip ini, apabila seorang anak menitipkan orang tuanya ke panti jompo hanya karena merasa terganggu dengan kehadiran mereka dalam kehidupannya, maka tindakan tersebut tergolong sebagai bentuk kedurhakaan. Sikap ini menunjukkan ketidakmampuan anak dalam membalas jasa dan pengorbanan orang tua. Dalam pandangan syariat, sikap semacam ini bukan hanya tercela, tetapi juga dapat mengundang kemurkaan Allah dan keburukan di akhir hayat. Hal ini juga pernah disampaikan Lembaga Fatwa Yordania dalam fatwa nomor 3138 berikut:


وَعَلَيْهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَضَعَ ٱلِٱبْنُ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فِي دَارِ ٱلْمُسِنِّينَ؛ لِمَا فِي ذَٰلِكَ مِنْ قَطِيعَةٍ لَهُمَا، وَٱللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى جَعَلَهُ مُوجِبًا لِسُوءِ ٱلْخَاتِمَةِ، وَتَوَعَّدَ ٱلْعَاقَّ بِتَعْجِيلِ ٱلْعَاقِبَةِ فِي حَيَاتِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ.


Artinya, "Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi seorang anak menempatkan kedua orang tuanya, atau salah satunya, di panti jompo. Sebab, hal itu tergolong bentuk pemutusan hubungan (silaturahim) dengan mereka. Allah Swt menjadikannya sebagai sebab su'ul khatimah (akhir hidup yang buruk), dan mengancam anak durhaka dengan hukuman yang dipercepat di dunia, sebelum datang kematiannya."


Hanya saja, jika seorang anak menitipkan orang tuanya ke panti jompo bukan karena ingin lepas tanggung jawab atau bersikap durhaka, maka hal ini masih bisa ditoleransi dalam pandangan syariat. Misalnya, ketika orang tua memerlukan perawatan medis intensif yang tidak dapat diberikan di rumah, atau membutuhkan pengawasan khusus secara profesional, maka menitipkan ke lembaga yang aman dan terpercaya menjadi bentuk ikhtiar yang dapat dibenarkan dalam situasi darurat.


Di sisi lain, tidak selamanya menitipkan orang tua di panti jompo harus dipandang secara negatif, apalagi dalam konteks masyarakat urban yang dinamis dan penuh kesibukan. Dalam banyak kasus, justru orang tua merasa lebih nyaman ketika berada di lingkungan yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan teman-teman seusia, menjalani aktivitas harian yang terstruktur, dan mendapatkan perhatian yang mungkin tidak bisa mereka dapatkan di rumah; bukan karena anak-anak mereka tidak sayang, tetapi karena keterbatasan waktu dan tenaga akibat tuntutan pekerjaan, jarak tempat tinggal, dan beban kehidupan modern lainnya.


Bagi sebagian lansia, tinggal di panti jompo yang profesional dan humanis bisa menjadi pilihan yang lebih menyenangkan dibanding harus tinggal sendiri di rumah sambil menunggu anak-anak pulang dalam keadaan lelah dan tidak sempat berbincang. Alih-alih merasa ditelantarkan, mereka justru merasa lebih dihargai karena ditempatkan di lingkungan yang memungkinkan mereka hidup lebih aktif, sehat, dan bersosial. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini, menitipkan orang tua ke panti jompo bisa menjadi bentuk kasih sayang yang realistis dan penuh tanggung jawab, bukan sekadar pelimpahan beban.


Yang terpenting adalah tetap menjaga komunikasi emosional dan ikatan kasih sayang, baik dengan kunjungan rutin, perhatian personal, maupun keterlibatan aktif dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, nilai-nilai birrul walidain (berbakti kepada orang tua) tetap terjaga, meski dalam bentuk yang disesuaikan dengan tantangan zaman.


Namun demikian, meskipun orang tua dititipkan, anak tetap wajib menunjukkan baktinya dengan menjenguk secara rutin, menanyakan kebutuhan mereka, dan memastikan pelayanan yang mereka terima layak serta penuh kasih sayang. Jangan sampai keberadaan orang tua di panti membuat mereka merasa ditinggalkan. Dalam kondisi seperti ini, birrul walidain tetap harus terjaga melalui perhatian emosional, dukungan moral, dan keterlibatan aktif anak dalam kehidupan orang tuanya. Wallahu a'lam.


Ustadz Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.
 


Terkait

ADVERTISEMENT BY OPTAD