Mahar atau maskawin bagi sepasang pengantin adalah sesuatu yang berharga. Bahkan dalam masyarakat tertentu, maskawin menandakan tingkat ekonomi dan strata social pengantin lelaki. Makin besar jumlah maskawin yang diberikan seorang lelaki, membuktikan makin tinggi drajat social lelaki tersebut. disamping itu, maskwain juga menyimbolkan keberhargaan seorang perempuan. Semakin tinggi maskawin yang disyaratkan seorang perempuan menunjukkan kwalitas perempuan tersebut.<>Bagi sebagian masyarakat maskawin lebih bermakna dari sekedar hitung-hitungan ekonomis. Seringkali maskwain menjadi lambang bagi kehidupan baru yang hendak ditempuh oleh sepasang pengantin. Misalnya maskawin berupa seperangkat alat shalat yang dapat dimaknai sebagai pengharapan untuk kehidupan mendatang yang lebih agamis.
Malahan sebagian pengantin yang kreatif, menjadikan maskawin sebagai monumen pengikat sejarah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan sesuatu yang nilainya menunjukkan pada tanggal bulan dan tahun pernikahan. Misalnya memberi maskawin sejumlah Rp. 3.042.012,- guna mengabadikan tanggal 30 april tahun 2012.
Pada dasarnya Islam sendiri tidak pernah menentukan bentuk dan besaran maskawin. Karena Islam memandang maskawin sebagai sebuah representasi penghargaan terhadap kemuliaan seorang perempuan. Begitu tingginya posisi seorang perempuan hingga Islam mewajibkan maskawin bagi lelaki yang hendak menikahianya. Sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa’ ayat 44
وَآَتÙوا Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙØ³ÙŽØ§Ø¡ÙŽ ØµÙŽØ¯ÙقَاتÙÙ‡Ùنَّ Ù†ÙØÙ’Ù„ÙŽØ©Ù‹ ÙÙŽØ¥Ùنْ Ø·ÙØ¨Ù’Ù†ÙŽ Ù„ÙŽÙƒÙمْ عَنْ شَيْء٠مÙنْه٠نَÙْسًا ÙÙŽÙƒÙÙ„Ùوه٠هَنÙيئًا مَرÙيئًا
“Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (Qs. An-Nisa’ : 4).
Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw pernah menasehati seorang sahabat untuk memberikan maskawin walau sepotong cincin yang terbuat dari besi التمس ولو خاتما من ØØ¯ÙŠØ¯ “Carilah olehmu (mahar) meskipun hanya sebuah cincin dari besi”. (HR. Bukhari).
Akan tetapi kenyataan sekarang sungguh berbeda. Longgarnya batas komunikasi menjadikan sepasang calon pengantin dapat berjumpa dan bersosialisasi sesering mungkin. Hingga tak jarang seorang laki-laki yang kedudukannya masih sebatas ‘pacar’ telah memberikan kepada pasangannya beberapa barang mewah. Tidak hanya sekedar baju dan tas, tetapi juga HP dan motor misalnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika hubungan mereka berdua berlanjut hingga pernikahan, Dapatkah barang-barang pemberian lelaki itu dikatagorikan sebagai maskawin atau mahar? Dan bagaimana hukum nikah dengan maskawin yang telah diberikan terlebih dahulu?
Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin menerangkan bahwa hal tersebut dapat dibenarkan. Baik akad nikah maupun maharnya dianggap sah seperti yang ditulisnya;
(مَسْأَلَة٠ش) دَÙَعَ Ù„ÙمَخْطÙوْبَتÙه٠مَالاً Ø«Ùمَّ ادَّعَى أَنَّه٠بÙقَصْد٠الْمَهْر٠وَأَنْكَرَتْ ØµÙØ¯Ùّقَتْ Ù‡ÙÙŠÙŽ, Ø¥Ùنْ كَانَ الدَّÙْع٠قَبْلَ الْعَقْد٠وَإÙلاَّ ØµÙØ¯Ùّقَ Ù‡ÙÙˆÙŽ. Ù‚Ùلْت٠وَاÙÙŽÙ‚ÙŽÙ‡Ù ÙÙÙ‰ Ø§Ù„ØªÙ‘ÙØÙ’Ùَة٠وَقَالَ ÙÙÙ‰ الْÙَتَاوَى وَأَبÙوْ Ù…ÙŽØÙ’رَمَةَ ÙŠÙØµÙŽØ¯Ù‘ÙŽÙ‚Ù Ø§Ù„Ø²Ù‘ÙŽÙˆÙ’Ø¬Ù Ù…ÙØ·Ù’لَقًا ÙˆÙŽÙŠÙØ¤Ù’خَذ٠مÙنْ قَوْلÙÙ‡Ùمْ ØµÙØ¯Ùّقَتْ أَنَّه٠لَوْ أَقَامَ الزَّوْج٠بَيÙّنَةً بÙقَصْدÙه٠الْمَذْكÙÙˆÙ’Ø±Ù Ù‚ÙØ¨Ùلَتْ.
“Jika seorang laki-laki memberikan sejumlah uang kepada tunangannya, kemudian ia mengaku bahwa pemberian tersebut dimaksudkan sebagai maskawin, sedangkan perempuan tersebut mengingkarinya, maka pengakuan perempuan tersebut yang diterima bila pemberian itu diserahkan sebelum akad nikah, dan jika diserahkan sesudahnya maka yang diterima adalah pengakuan laki-laki. Menurut saya, pendapat ini sama dengan pendapat (Ibnu Hajar) dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj. Sedangkan menurut pendapatnya dalam kitab al-Fatawa dan pendapat Abu Mahramah, yang dibenarkan adalah pihak laki-laki secara mutlak. Dari pendapat mereka dapat difahami, bahwa pengakuan perempuan dapat dibenarkan, dalam arti walaupun laki-laki mengajukan bukti atas pengakuannya, pengakuan perempuan tetap dapat diterima.”
Begitu pula pendapat Zainudin al-Malaibari dalam Fathul Mu’in:
لَوْ خَطَبَ امْرَأَةً Ø«Ùمَّ أَرْسَلَ أَوْ دَÙَعَ بÙلاَ Ù„ÙŽÙْظ٠إÙلَيْهَا مَالاً قَبْلَ الْعَقْد٠أَي وَلَمْ ÙŠÙŽÙ‚Ù’ØµÙØ¯Ù’ Ø§Ù„ØªÙ‘ÙŽØ¨ÙŽØ±Ù‘ÙØ¹ÙŽ Ø«Ùمَّ وَقَعَ Ø§Ù’Ù„Ø¥ÙØ¹Ù’رَاض٠مÙنْهَا أَوْ Ù…ÙÙ†Ù’Ù‡Ù Ø±ÙØ¬Ùعَ بÙمَا وَصَلَهَا Ù…Ùنْه٠كَمَا صَرَّØÙŽ Ø¨Ùه٠جَمْعٌ Ù…ÙØÙŽÙ‚ÙّقÙوْنَ وَلَوْ أَعْطَاهَا مَالاً Ùَقَالَتْ هَدÙيَّةً وَقَالَ صَدَاقًا ØµÙØ¯Ùّقَ بÙÙŠÙŽÙ…ÙيْنÙÙ‡Ù.
“Seandainya seseorang melamar perempuan, kemudian ia memberikan sejumlah harta benda kepadanya sebelum akad nikah tanpa disertai suatu pernyataan apa pun, dan ia tidak bermaksud sebagai pemberian (tabarru’), kemudian terjadi pengingkaran dari pihak perempuan atau laki-laki yang melamarnya, maka laki-laki itulah yang dimenangkan. Pendapat ini sesuai dengan yang dianut oleh sebagian besar ulama ahli tahqiq. Seandainya seorang laki-laki memberikan suatu harta benda, kemudian perempuan menyatakan sebagai hadiah, sedangkan laki-laki menyatakannya sebagai maskawin, maka pengakuan pihak laki-laki yang diterima dengan disertai sumpah.”
Tentang hal ini lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawal Kubra,sebagai jawaban dari sebuah pertanyaan serupa:
(ÙˆÙŽØ³ÙØ¦ÙÙ„ÙŽ) عَمَّنْ خَطَبَ امْرَأَةً ÙَأَجَابÙوْاه٠ÙَأَعْطَاهÙمْ شَيْئًا Ù…ÙÙ†ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙŽØ§Ù„Ù ÙŠÙØ³ÙŽÙ…Ù‘ÙŽÙ‰ الْجÙهَازَ هَلْ تَمْلÙÙƒÙه٠الْمَخْطÙوْبَة٠أَوْ لاَ, بَيÙّنÙوْا لَنَا ذَلÙÙƒÙŽ (Ùَأَجَابَ) Ø¨ÙØ£ÙŽÙ†Ù‘ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ø¹ÙØ¨Ù’رَةَ Ù†ÙÙŠÙ‘ÙŽØ©Ù Ø§Ù„Ù’Ø®ÙŽØ§Ø·ÙØ¨Ù الدَّاÙÙØ¹Ù ÙÙŽØ¥Ùنْ دَÙَعَ بÙÙ†Ùيَّة٠الْهَدÙيَّة٠مَلَكَتْه٠الْمَخْطÙوْبَة٠أَوْ بÙÙ†ÙÙŠÙ‘ÙŽØ©Ù Ø§ÙØÙ’Ø³ÙŽØ§Ù†ÙÙ‡Ù Ù…ÙÙ†ÙŽ الْمَهْر٠ØÙØ³ÙØ¨ÙŽ Ù…ÙنْهÙ. ÙˆÙŽØ¥Ùنْ كَانَ Ù…Ùنْ غَيْر٠جÙنْسÙه٠أَوْ بÙÙ†ÙÙŠÙ‘ÙŽØ©Ù Ø§Ù„Ø±Ù‘ÙØ¬Ùوْع٠بÙه٠عَلَيْهَا Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ لَمْ ÙŠÙŽØÙ’صÙلْ زÙوَاجٌ أَوْ لَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ Ù„ÙŽÙ‡Ù Ù†Ùيَّةٌ لَمْ تَمْلÙكْه٠وَ ÙŠÙŽØ±Ù’Ø¬ÙØ¹Ù بÙه٠عَلَيْهَا.
Pertanyaan, ada seorang laki-laki melamar seorang perelamarannya, lalu laki-laki tersebut memberikan sejumlah harta benda kepada mereka yang disebutkan sebagai persiapan (jihaz) nikah, apakah perempuan yang dilamar itu berhak memilikinya? Mohon dijelaskan!
Jawaban, sesungguhnya yang diterima adalah niat pelamar yang memberinya. Jika ia memberinya dengan niat sebagai hadiah, maka perempuan yang dilamar berhak memilikinya, atau jika laki-laki itu beniat sebagai maskawin, maka dianggap sebagai maskawin. Jika laki-laki itu berniat bukan sebagai maskawin atau ia berniat untuk menarik kembali jika perkawinan gagal atau ia tidak berniat apapun, maka perempuan itu tidak berhak memilikinya dan pemberian itu kembali kepada pihak laki-laki tersebut.”
Disarikan dari Ahkamul Fuqoha, kumpulan hasil-hasil bahtsul masail dalam Munas dan Muktamar NU dari tahun 1926-2010. (Redaktur: Ulil A. Hadrawy)