Tafsir Surat Ath-Thalaq Ayat 4: Batas Iddah Perempuan yang Sedang Hamil
Senin, 21 Juli 2025 | 15:00 WIB
Masa iddah adalah salah satu bentuk penjagaan Islam terhadap kehormatan perempuan dan kejelasan nasab. Dalam masa iddah, seorang perempuan tidak boleh menikah sampai masa itu selesai, sebagai bentuk penghormatan terhadap pernikahan sebelumnya, dan demi memastikan bahwa rahimnya bersih dari kemungkinan kehamilan suami yang lalu.
Simak penjelasan Syekh Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni Asy-Syafi’i berikut:
الْعدة اسْم لمُدَّة مَعْدُودَة تَتَرَبَّص فِيهَا الْمَرْأَة ليعرف بَرَاءَة رَحمهَا وَذَلِكَ يحصل بِالْولادَةِ تَارَة وبالأشهر أَو الْأَقْرَاء
Artinya: “Iddah adalah nama masa tunggu tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui kekosongan rahimnya. Kekosongan tersebut bisa diketahui dengan kelahiran, hitungan bulan, atau dengan hitungan quru’ (masa suci),” (Kifayatul Akhyar, [Syiria: Darul Khair, 1994], jilid I, hlm. 423).
Namun, bagaimana bila seorang perempuan hamil saat ditalak atau saat suaminya wafat? Apakah masa iddahnya disamakan seperti perempuan yang tidak hamil? Ataukah ada ketentuan khusus?
Dalam dua ayat Al-Qur’an, kita temukan dua aturan yang tampaknya berbeda. Dalam Surat al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa masa iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Sementara dalam Surat Ath-Thalaq ayat 4, disebutkan bahwa masa iddah perempuan hamil adalah sampai melahirkan.
Pertama, dalam Surah Al-Baqarah Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجٗا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ
Baca Juga
Hukum Menalak Istri yang Sedang Hamil
Artinya; "Orang-orang yang diwafatkan di antara kalian dan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri) menunggu (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari," (QS. Al-Baqarah: 234)
Kedua, dalam Surah Ath-Thalaq ayat 4, Allah berfirman;
وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ
Artinya; "Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya."
Lantas, bagaimana jika seorang perempuan sedang hamil dan ditinggal mati oleh suaminya? Ayat mana yang harus diikuti?
Ulama besar dari kalangan Ahlussunnah, Syekh Muhammad at-Tahir Ibnu ‘Asyur dalam kitab Tafsir at-Tahrir wat Tanwir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan penjelasan dari hukum global mengenai iddah dalam Surah al-Baqarah ayat 234. Ia berkata:
فَحَصَلَ بِهَذِهِ الْآيَةِ مَعَ الَّتِي قَبْلَهَا تَفْصِيلٌ لِأَحْوَالِ الْمُطَلَّقَاتِ، وَحَصَلَ أَيْضًا مِنْهَا بَيَانٌ لِإِجْمَالِ الْآيَةِ الَّتِي فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ
Artinya; “Dengan ayat ini dan ayat sebelumnya, maka telah diperoleh rincian mengenai kondisi perempuan yang ditalak, serta menjadi penjelas dari ayat global yang terdapat dalam Surah al-Baqarah,” (Tahrir wat Tanwir, [Beirut: Darus Sahnun, t.t.], [Jilid XXIX, hlm. 320).
Lebih jauh lagi, Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa masa iddah perempuan hamil, baik karena ditalak maupun karena ditinggal wafat suaminya, adalah sampai ia melahirkan. Mengapa? Karena tujuan utama iddah adalah memastikan bahwa rahim perempuan tersebut kosong dari kehamilan. Dan tidak ada yang lebih jelas menandakan kosongnya rahim selain dari melahirkan itu sendiri.
Simak penjelasannya berikut:
وَجُعِلَتْ عِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ الْحَامِلِ مُنْتَهَاةً بِوَضْعِ الْحَمْلِ، لِأَنَّهُ لَا أَدَلَّ عَلَى بَرَاءَةِ الرَّحِمِ مِنْهُ
Artinya; “Iddah perempuan hamil ditetapkan sampai melahirkan, karena tidak ada bukti yang lebih kuat atas kosongnya rahim daripada kelahiran itu sendiri.” (Ibnu Asyur, Tahrir wat Tanwir, hlm. 320).
Hal ini ditegaskan secara jelas dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah dan dicatat oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya. Dikisahkan tentang seorang sahabat wanita bernama Sabi’ah binti al-Harits al-Aslamiyyah. Suaminya, Sa’ad bin Khawlah, wafat saat ia sedang hamil. Hanya berselang 15 malam setelah wafatnya sang suami, Sabi’ah melahirkan. Setelah itu, ia datang kepada Rasulullah untuk meminta izin menikah kembali. Rasulullah pun membolehkannya. Nabi bersabda:
قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِي إِنْ شِئْتِ
Artinya; "Engkau telah halal (selesai masa iddah), maka menikahlah jika engkau ingin," (HR. Imam Bukhari)
Hadits ini merupakan dalil qath’i (pasti) yang digunakan para ulama bahwa perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya selesai masa iddahnya saat ia melahirkan, meskipun belum genap empat bulan sepuluh hari.
Lebih jauh, kata Ibnu Asyur, mayoritas sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, dan istri Nabi Ummu Salamah berpandangan serupa bahwa perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya iddahnya selesai ketika melahirkan. Namun, sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas berpandangan bahwa iddahnya harus mengikuti waktu terlama antara dua ketentuan (akhirul ajalain): empat bulan sepuluh hari atau melahirkan, mana yang lebih lama.
Pendapat ini dipandang sebagai bentuk ihtiyath (kehati-hatian). Menurut Ibnu ‘Asyur pendapat jumhur lebih kuat karena sesuai dengan ayat Al-Qur’an dan didukung oleh hadits Nabi secara langsung.
فَكَانَتِ الْآيَةُ دَالَّةً عَلَى أَنَّ عِدَّةَ الْحَامِلِ وَضْعُ حَمْلِهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مُعْتَدَّةً مِنْ طَلَاقٍ أَمْ كَانَتْ مُعْتَدَّةً فِي وَفَاةٍ
Artinya; “Ayat ini menunjukkan bahwa masa iddah perempuan hamil adalah sampai melahirkan, baik karena ditalak maupun karena ditinggal wafat,” (Ibnu Asyur, Jilid XXIX, hlm. 320).
Sementara itu, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang masa iddah bagi perempuan, Imam ath-Thabari di kitab Jami’ul Bayan, pada Juz XXIII halaman 450, menyebutkan bahwa ayat Ath-Thalaq ayat 4 tersebut bersifat umum. Artinya, ketentuan itu tidak hanya berlaku bagi perempuan yang dicerai saat suaminya masih hidup, tetapi juga bagi yang ditinggal wafat. Lafaz ayatnya mencakup keduanya secara sekaligus, tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain.
Penjelasan ini memperlihatkan betapa telitinya para ulama terdahulu dalam membaca dan memahami ayat-ayat Allah. Bagi Imam ath-Thabari, jika sebuah lafaz datang dalam bentuk umum, maka hukumnya pun berlaku umum, kecuali jika ada dalil lain yang secara khusus mengecualikan. Ia pun menolak anggapan bahwa ayat ini hanya ditujukan bagi perempuan yang ditalak, meskipun ayat tersebut berada dalam konteks pembahasan hukum talak.
Menurutnya, bagian ayat ini adalah keterangan baru yang berdiri sendiri dan berlaku umum untuk seluruh perempuan hamil. Karena itu, menurutnya, masa iddah perempuan hamil berakhir saat melahirkan, tanpa memandang apakah ia ditalak atau ditinggal wafat oleh suaminya.
والصواب من القول في ذلك أنه عام في المطلقات والمتوفى عنهن ، لأن الله جل وعز ، عم بقوله بذلك فقال : ( وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ) ولم يخصص بذلك الخبر عن مطلقة دون متوفى عنها ، بل عم الخبر به عن جميع أولات الأحمال ، إن ظن ظان أن قوله : ( وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن ) في سياق الخبر عن أحكام المطلقات دون المتوفى عنهن ، فهو بالخبر عن حكم المطلقة أولى بالخبر عنهن ، وعن المتوفى عنهن ، فإن الأمر بخلاف ما ظن ، وذلك أن ذلك وإن كان في سياق الخبر عن أحكام المطلقات ، فإنه منقطع عن الخبر عن أحكام المطلقات ، بل هو خبر مبتدأ عن أحكام عدد جميع أولات الأحمال المطلقات منهن وغير المطلقات ، ولا دلالة على أنه مراد به بعض الحوامل دون بعض من خبر ولا عقل ، فهو على عمومه لما بينا
Artinya, "Pendapat yang benar dalam hal ini adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, mencakup perempuan hamil yang ditalak maupun yang ditinggal wafat suaminya. Karena Allah Yang Mahamulia dan Mahatinggi telah mengungkapkan secara umum dalam firman-Nya: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu tunggunya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya." Allah tidak mengkhususkan berita itu hanya untuk perempuan yang ditalak saja tanpa mencakup perempuan yang ditinggal wafat suaminya, tetapi justru berita itu mencakup seluruh perempuan hamil.
Jika ada yang menyangka bahwa firman-Nya: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu tunggunya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya" itu hanya dalam konteks pembahasan hukum perempuan yang ditalak, bukan yang ditinggal wafat, maka ia lebih pantas menganggap bahwa ayat itu juga berlaku bagi keduanya—baik perempuan yang ditalak maupun yang ditinggal wafat suaminya.
Padahal kenyataannya tidak sebagaimana yang disangka tersebut. Meskipun ayat itu berada dalam rangkaian pembahasan tentang hukum-hukum perempuan yang ditalak, namun sebenarnya ayat tersebut terpisah dari rangkaian itu dan merupakan keterangan baru yang berdiri sendiri, mengenai masa iddah seluruh perempuan hamil—baik yang ditalak maupun yang tidak. Tidak ada dalil, baik dari nash maupun dari akal, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam ayat itu hanya sebagian perempuan hamil saja tanpa mencakup seluruhnya. Oleh karena itu, ayat tersebut tetap berlaku secara umum, sebagaimana telah kami jelaskan," (Imam Thabari, Jamiul Bayan, [Mesir: Darul Ma’arif, tt] Jilid XXIII, hlm. 450)
Dengan demikian, perempuan hamil yang ditalak, masa iddahnya berakhir saat ia melahirkan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Surah Ath-Thalaq ayat 4. Hal yang sama berlaku bagi perempuan hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, iddahnya juga selesai ketika melahirkan. Ketentuan ini didasarkan pada hadis sahih tentang kisah Sabi’ah al-Aslamiyyah, seorang sahabat Nabi yang mengalami hal serupa dan memperoleh penjelasan langsung dari Rasulullah.
Di sisi lain, pendapat sebagian sahabat yang menyatakan bahwa masa iddah harus mengikuti waktu yang paling panjang dari dua ketentuan (yakni empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan), lebih tepat dipahami sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyath). Mayoritas ulama, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, para fuqaha setelah mereka, hingga mufasir seperti Ibnu ‘Asyur, sepakat bahwa masa iddah perempuan hamil berakhir saat melahirkan, tanpa membedakan apakah karena cerai atau ditinggal wafat.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung.