Bahtsul Masail

Hikmah Membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Sen, 27 April 2015 | 20:01 WIB

Hikmah Membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah salah satu hamba pilihan Allah maka sudah sewajarnya jika kita mencintai mereka. 

Assalamu’alaikum wr. wb, Pak ustadz, yang saya hormati. Kami memiliki perkumpulan manaqib. Biasanya kita setiap tanggal 11 membaca manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani secara bergilir. Tradisi membaca manaqib ini sudah berlangsung bertahun-tahun, dari orang tua kami zaman dulu. Bahkan di daerah kami biasanya kalau ada orang sehabis membangun rumah, mereka mengundang orang-orang kemudian dibacakan manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Tuan rumah pun menyuguhkan pelbagai aneka makan kepada para tamu undangan. Para tetangga juga dibagi makanan, terutama yang tidak mampu.
 

Namun akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang mengaggap bahwa tradisi yang kami lakukan turun-temurun itu hukumnya haram. Yang ingin kami tanyakan, apa benar membaca manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani dilarang, dan hukum menyuguhkan makanan setelah manaqiban itu juga haram? Atas penjelasan dari Pak Ustadz, kami sampaikan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. (Majid/Cilacap) 


Jawaban

 Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Para wali merupakan hamba-hamba yang saleh, dekat dengan Allah, dan dipilih oleh Allah sendiri. Banyak sejarah hidup para wali (dikenal sekarang dengan nama manaqib), yang telah dibukukan, seperti manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Kerena mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah maka sudah sewajarnya jika kita mencintai mereka. 

Salah satu hal yang bisa menambah rasa kecintaan kita kepada para wali adalah dengan membaca manaqibnya. Dengan membaca manaqibnya, kita bisa mengetahui kesalehan dan kebaikannya, dan diharapkan bisa meneladaninya.  

Dari sini dapat kita pahami bahwa membaca manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani itu sangat baik. Apalagi, beliau juga menyandang gelar sebagai sulthan al-awliya` atau pemimpin para wali.

 

اِعْلَمْ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبِ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ أَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكَاتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ وَنُزُوْلِ الرَّحْمَاتِ فِيْ حَضَرَاتِ اْلأَوْلِيَآءِ فِيْ مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِيْ زِيَارَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ


“Ketahuilah! Seyogianya setiap Muslim pemburu keutamaan dan kebaikan, mencari berkah dan anugerah, terkabulnya doa, dan turunnya rahmat di depan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik yang masih hidup ataupun sudah mati, dan di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka”. (Alawi al-Haddad, Mishbah al-Anam wa Jala` azh-Zhulam, Istanbul-Maktabah al-Haqiqah, 1992 M, h. 90).

Sedangkan mengenai suguhan makanan, baik sebelum atau setelah manaqiban, pada dasarnya merupakan penghormatan kepada para tamu yang diundang. Dengan kata lain, penyuguhan itu dalam rangka memuliakan tamu, sedangkan kita dianjurkan memuliakan tamu. Karena memuliakann tamu termasuk salah satu tanda dari kesempurnaan atau benarnya keimanan kita. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw; “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (dengan iman yang sempurna) maka hendaknya ia memuliakan tamunya” (HR al-Bukhari-Muslim).

 

رَغَّبَ الإْسْلاَمُ فِي كَرَامَةِ الضَّيْفِ وَعَدَّهَا مِنْ أَمَارَاتِ صِدْقِ الإْيمَانِ ، فَقَدْ وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَال : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ


“Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk memuliakan tamu, dan mengategorikan pemuliaan kepada tamu sebagai salah satu tanda benarnya keimanan. Sungguh, Nabi saw telah bersabda; ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir (dengan iman yang sempurna) maka hendaknya ia memuliakan tamunya” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Mesir-Mathabi` Dar ash-Shafwah, cet ke-1, juz, 24, h. 218).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami, jangan kita terburu-buru menghukumi sesat atau haram terhadap pelbagai amaliyah atau tradisi di daerah kita sebelum kita benar-benar memahami seluk beluknya. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)