Cerpen

Ibu yang Menyesal

NU Online  ยท  Ahad, 4 Mei 2025 | 20:30 WIB

Cerpen:ย Samudera Dwija
Di sebuah sudut kota yang ramai, tinggal seorang wanita bernama Siti, seorang ibu dari seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun bernama Adam. Siti hidup dalam kesulitan, berjuang dari hari ke hari untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kehidupan mereka sederhana, namun tak jarang Siti merasa terdesak oleh keadaan yang memaksanya untuk mengambil jalan pintas.

 

Suatu sore, setelah mengantar Adam pulang dari sekolah, Siti merasakan kelaparan yang begitu mencekam. Uangnya tinggal sedikit, cukup untuk membeli makan malam yang sederhana, namun tak cukup untuk membeli baju yang sangat dibutuhkan Adam. Baju sekolah Adam sudah usang, hampir robek di beberapa bagian. Keadaan ini membuat hati Siti tertekan.


Dalam keputusasaannya, dia pergi ke pasar tradisional yang penuh dengan hiruk-pikuk pedagang. Tanpa disadari, matanya tertuju pada sebuah rak baju baru yang tampak indah dan rapi. Tangan Siti gemetar, namun keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya mengalahkan segalanya. Dalam sekejap, tanpa berpikir panjang, dia menyembunyikan sepotong baju di balik bajunya sendiri dan bergegas keluar.


Siti merasa cemas, namun pikirannya hanya tertuju pada Adam yang menunggu di rumah. Di perjalanan pulang, dia terdiam, merasa terhimpit oleh beban dosa yang baru saja dia lakukan. "Untuk Adam, aku harus bertahan," pikirnya.


Namun, saat tiba di rumah dan membuka pintu, Adam memandangnya dengan tatapan polos. Ketika Siti mengeluarkan baju itu dari tasnya, Adam tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan mata yang penuh tanda tanya.

 

"Ibu... kenapa mencuri?" tanya Adam dengan suara yang lembut namun tajam.


Siti terdiam, dadanya sesak. Air mata mulai mengalir, dan lidahnya terasa kelu. Dia tidak tahu harus berkata apa. Adam hanya anak kecil, tetapi dalam satu kalimatnya, dia seperti menembus dasar hati Siti, mengingatkannya akan apa yang sudah ia lakukan. Sesuatu yang selama ini ia abaikan, bahkan karena kebutuhan sehari-hari.


Siti jatuh terhuyung, terduduk di lantai. "Ibu... tidak bisa lagi begini, Nak," katanya terisak. "Ibu... ibu tidak tahu harus bagaimana. Ibu sudah terlalu lama begini. Ibu takut, Nak..."


Adam berlari mendekat, memeluk ibunya dengan tangan kecilnya. "Ibu tidak perlu takut. Ibu cuma harus kembalikan baju itu," ujar Adam dengan polos, tanpa tahu beban yang dirasakan ibunya.


Siti mengangguk. "Iya, Nak. Ibu akan kembalikan baju ini. Jika ibu harus dihukum, ibu terima. Tapi kalau bisa dimaafkan, itu lebih baik. Karena jika ibu dipenjara, siapa lagi yang akan merawatmu, Nak?"


Siti dengan langkah berat pergi kembali ke toko tempat dia mengambil baju itu. Dengan tangan gemetar, dia menyerahkan baju itu kepada pemilik toko dan meminta maaf.


"Ibu, ini baju yang tadi saya ambil," ujar Siti, suaranya serak karena menahan tangis. "Saya minta maaf. Saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Saya tidak bermaksud mencuri, saya hanya terdesak."


Pemilik toko, seorang pria paruh baya dengan wajah tegas, memandangnya dengan marah. "Tentu saja kamu mencuri. Ini adalah pencurian yang jelas! Tak peduli seberapa miskin kamu, itu bukan alasan untuk mencuri!" ucapnya dengan nada tinggi.

 

Siti menundukkan kepala, hatinya semakin teriris. "Saya tahu, saya salah. Saya akan menerima segala hukuman yang datang. Tapi saya mohon, pertimbangkanlah saya. Saya hanya seorang ibu yang ingin memberikan yang terbaik untuk anak saya. Jika saya dipenjara, siapa yang akan merawat anak saya?" Suaranya hampir tak terdengar, penuh kesedihan.


"Tidak ada alasan yang membenarkan perbuatanmu. Aku sudah melaporkanmu ke polisi!" balas pemilik toko dengan tegas, tidak menunjukkan sedikit pun rasa empati.

 

Beberapa jam kemudian, Siti dibawa ke kantor polisi. Di sana, polisi memulai pemeriksaan. Siti merasakan ketakutan yang mendalam, tapi dia hanya bisa menunduk, menyesali semua yang telah terjadi.

 

Namun, beruntunglah, ada tim dari Lembaga Bantuan Hukum yang datang untuk membantu. Seorang pengacara dari LBHย bernama Ustadz Ahmad, segera berusaha menengahi masalah ini.


"Saya minta maaf atas perbuatan ibu ini, Pak Polisi," kata Ustadz Ahmad dengan suara tenang, mendekati meja polisi. "Kami mengakui bahwa Bu Siti telah melakukan kesalahan, namun kami mohon agar diberi pertimbangan yang lebih manusiawi. Ibu Siti jelas terdesak dan melakukannya untuk kebutuhan anaknya. Kami harap ada jalan keluar yang lebih bijaksana."

 

Polisi itu, Pak Arman, menatap Ustadz Ahmad dengan serius. "Saya mengerti keadaan ibu ini, tapi hukum harus ditegakkan. Mencuri tetaplah mencuri," jawabnya dengan tegas.

 

"Benar, Pak Arman. Tapi apakah hukuman penjara adalah satu-satunya solusi? Apakah tidak ada cara untuk memberikan kesempatan kedua kepada ibu Siti?" tanya Ustadz Ahmad, berusaha membujuk. "Mari kita pertimbangkan aspek kemanusiaan dalam kasus ini. Ibu Siti bukan penjahat. Dia hanya seorang ibu yang mencoba bertahan hidup untuk anaknya."


Pak Arman terdiam sejenak, lalu berkata, "Baiklah, kita akan pertimbangkan lagi. Tapi jika pemilik toko tetap bersikeras melaporkan ini, kami tak bisa berbuat banyak."


Ustadz Ahmad kemudian menghubungi pemilik toko dan mengajukan permohonan untuk menyelesaikan masalah ini dengan damai. Setelah beberapa perdebatan, pemilik toko akhirnya menyetujui penyelesaian yang lebih lunak, dengan syarat ibu Siti membayar ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan.

 

Akhirnya, Siti dibebaskan dari penjara setelah menjalani beberapa proses hukum. Dia kembali ke rumah, bertemu dengan Adam yang menunggunya dengan penuh harap.


Saat Siti membuka pintu rumah, Adam berlari menghampirinya dan memeluknya erat. "Ibu, Ibu pulang! Aku sudah kangen banget."


Siti memeluk Adam dengan penuh rasa syukur. "Maafkan ibu, Nak. Ibu sudah berbuat salah, tapi ibu berjanji tidak akan lagi melakukan itu."

 

Adam hanya tersenyum, meski matanya masih memerah karena tangisnya. "Ibu, aku tahu, Ibu cuma ingin yang terbaik untuk aku. Aku akan selalu mendukung ibu."

 

Hari itu, di rumah mereka yang sederhana, Siti dan Adam mulai kembali membangun kehidupan mereka. Tidak dengan mencuri, tetapi dengan kejujuran dan perjuangan yang lebih mulia. Siti kini sadar, bahwa hidup ini harus dijalani dengan cara yang benar, apapun kesulitan yang ada. Dengan cinta dan doa, mereka akan bisa melewati semuanya, bersama-sama.


Samudera Dwija, nama pena dari Siswanto, Kepala Sekolah SDN 1 Bangsri Nganjuk, Jawa Timur. Ia juga Sekretaris MWCNU Kertosono 2022-2027. Ia tengah menyiapkan karyanya dalam bentuk buku berjudul Samudera Guru Terjepit hingga Melejit dan Pitutur Luhur Intisari Ngaji para Kiai.