Syariah

Ganti Rugi, Bagaimana Aturannya dalam Islam?

Jum, 19 Juli 2019 | 14:00 WIB

Segudang permasalahan sering terjadi di dunia ini tanpa disadari. Sudah hati-hati di jalan, nggak tahunya nabrak atau nyenggol orang yang lagi jualan dawet. Gerobak dorong hancur. Dawetnya tumpah. Orangnya luka-luka. Syukur hanya luka, alhamdulillah masih selamat. Sebagai Muslim, dengan rasa tanggung jawab, ditambah kesadaran, tentu harus berani menghadapi kenyataan. Ganti rugi jalan satu-satunya untuk berdamai. Mengantarkan sang penjual yang luka berobat. Ya semua itu harus ditempuh. Itulah pribadi Muslim yang kâffah. Tidak justru melarikan diri.
 
Namun demikian, sebenarnya adakah dalam aturan syariat kita soal ganti rugi itu? Bagaimana caranya menetapkan besaran ganti rugi? Hal ini penting menjadi bagian dari kajian ekonomi syariah, supaya nafkah kita menjadi berkah, kelak semoga diselamatkan dari pertanggungjawaban di hari kiamat!
 
Islam merupakan syariat yang paripurna. Ia tidak mengatur aspek ubudiyah semata, melainkan juga aspek muamalah, jinayah, dan bahkan pidana. Tak terkecuali dengan ganti rugi. Untuk yang terakhir ini, umumnya fuqaha' salaf (klasik) menyebutnya dengan istilah ‘arsyun. Syekh Wahbah al-Zuhaily (fuqaha’ kontemporer) menyebutnya sebagai ta'widl dengan definisi:
 
التعويض هو تغطية الضرر الواقع بالتعدي أو الخطأ
 
Artinya: "Ta'widl (ganti rugi) adalah upaya menutup kerugian yang terjadi dan disebabkan pelanggaran atau kesalahan," (Al-Zuhaily, Nadhâriyatu al-Dlammân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1998: 82).
 
Apakah ada tuntunan dari Al-Qur’an secara langsung terkait dengan ganti rugi ini? Allah berfirman: 
 
فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم. واتقوا الله واعلموا أن الله مع المتقين
 
Artinya: "Maka barangsiapa yang melakukan pelanggaran atas kalian maka lawanlah ia dengan semisal pelanggaran yang mereka lakukan terhadap kalian. Lalu bertakwalah kalian kepada Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 194)
 
Ayat ini sebenarnya menjelaskan tentang dua kubu yang saling bermusuhan. Sebagaimana ia melakukan pelanggaran atas kubu lainnya, maka sebesar nilai pelanggaran itulah sepatutnya perlawanan itu diberikan. Bila makna perlawanan ini kita tarik dalam realitas fiqih dan dalam situasi damai serta tidak sedang berperang, maka makna perlawanan yang dimaksud di atas bisa bermakna ganti rugi, atau denda, diyat dan sejenisnya. Tergantung jenis pelanggarannya dan akibat yang ditimbulkan. 
 
Intinya bahwa, dalam syariat tidak dibenarkan untuk berbuat kerugian terhadap diri sendiri maupun orang lain.
 
لاضرر ولاضرار
 
Artinya: "Tidak boleh berbuat merugikan diri sendiri juga tidak boleh merugikan orang lain."
 
Sebagai bagian dari perlindungan hak individu akibat kelalaian yang disebabkan oleh individu lain sehingga sulit didamaikan dengan akad shuluh (rekonsiliasi), maka diaturlah ketentuan ganti rugi. Bagaimana praktik dari ganti rugi tersebut? Syekh Wahbah al-Zuhaily menyatakan:
 
أما ضياع المصالح والخسارة المنتظرة غير المؤكدة (أو المستقبلة) أو الأضرار الأدبية أوالمعنوية فلايعوض  عنها في أصل الحكم الفقهي لأن محل التعويض هو المال الموجود المحقق فعلا والمتقوم شرعا
 
Artinya: "Adapun hilangnya kemaslahatan dan timbulnya kerugian yang menanti dan belum pasti (di masa yang akan datang) atau kerugian yang bersifat adabi (moral) atau kerugian maknawi, maka (secara fiqih, semua bentuk kerugian itu) tidak dapat diganti rugi. Karena objek ganti rugi adalah harus berupa harta yang bisa dinyatakan (konkret) dan bisa dibuktikan secara empiris (riil) serta bisa dinominalkan (berharga) secara syara'," (Al-Zuhaily, Nadhâriyatu al-Damân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1998: 86).
 
Berdasar keterangan dari Syekh Wahbah Zuhaily di atas, maka ganti rugi dalam syariah adalah benar apabila dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut:
 
1. Ganti rugi bisa diterapkan karena adanya faktor kesalahan yang disengaja atau akibat kelalaian dari pelaku. Suatu misal, penyaluran dana investasi ke jalur yang menyalahi akad investasi. Kerugian yang diakibatkan salah dalam penyaluran wajib berlaku ganti rugi
 
2. Kerugian atau hilangnya manfaat barang yang bisa diajukan ganti rugi merupakan kerugian yang bisa dinominalkan dan bersifat riil. Adapun untuk kerugian yang bersifat non materiil dan tidak bisa dinominalkan tidak masuk bagian yang harus diganti rugi. Contoh dari kerugian materiil misalnya adalah gerobak yang rusak akibat tertabrak oleh pengendara yang lalai dalam berkendara. Biaya berobat bagi korban yang terluka akibat tertabrak. Semua ini adalah contoh riil dari kerugian yang bisa dinominalkan. Adapun kerugian imateriil, misalnya adalah tidak dapat bekerjanya korban yang tertabrak selama beberapa tahun ke depan, adalah bagian yang tidak bisa dinominalkan. Untuk itu tidak layak untuk diganti rugi.
 
3. Besar ganti rugi adalah sesuai dengan kerugian yang terukur dan ternilai secara riil sehingga untuk hal-hal yang bersifat potensial tidak masuk dalam bagian wajib diganti rugi. 
Ganti rugi secara ekonomi, adalah ganti rugi yang hanya bisa dilaksanakan pada akad-akad yang dibenarkan oleh syariat, misalnya akad mudlarabah, murabahah, salam, istitsmar, ijarah, dan sejenisnya. Adapun bila akad itu bertentangan dengan syariat, maka tidak dibenarkan adanya ganti rugi. Misalnya, akad perjudian, ghashab, korupsi, dan lain sebagainya.
 
Sebagai kesimpulan, dengan melihat beberapa penjelasan di atas, maka berlaku ketentuan yang berkaitan dengan besaran ganti rugi. Nilai ganti rugi yang harus dibayar oleh pelanggar, sifatnya harus riil sesuai dengan besar nilai kerugian yang ditimbulkan, sehingga tidak boleh lebih besar. Berangkat dari sini, maka kita harus bisa membedakan antara ganti rugi dengan denda (gharamah). Denda diterapkan berdasarkan putusan kualitatif. Sementara itu ganti rugi (arsyun/ta'widl) adalah diputuskan berdasar ketentuan yang terukur (kuantitatif). 
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
 

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua