Syariah

Ijtihad untuk Perbankan Syariah pada Kasus Bai’u Hukmi dan Qabdlu Hukmi

Ahad, 31 Desember 2017 | 06:30 WIB

Pendirian bank syariah di Indonesia dengan fokus peningkatan kualitas muamalah masyarakat Muslim di Indonesia adalah sebuah keniscayaan dalam ijtihad. Semuanya berangkat dari dalil asal bahwa menyiapkan sebuah sistem perbankan zero riba adalah berlandaskan pada keputusan dalil qath’i halalnya jual beli dan haramnya riba. Dengan demikian, untuk mencapai kondisi zero riba, segala wasilah menuju ke arahnya, sangat mungkin untuk diusahakan. Sebuah kaidah fiqih mengatakan:

مالايتم الواجب إلا به فهو واجب

Artinya: “Segala sarana menuju sempurna perkara wajib maka wajib pula menyediakan sarana tersebut.”

Masalahnya adalah, upaya memberikan landasan fiqih terhadap beberapa praktik muamalah perbankan syariah terkadang menemui beberapa kendala. Kendala yang amat mungkin terjadi adalah konsepsi fiqih turats (fiqih tradisi/klasik) yang kadang seolah bertentangan dengan konsepsi muamalah modern. Untuk itulah pemikiran terus-menerus dan upaya menggali potensi masuk ke dalam keabsahan akad muamalah modern, sangat diperlukan. 

Banyak wasilah yang bisa dipergunakan oleh para pemikir dan praktisi perbankan syariah ini. Qaidah ‘urfiyah, istihsan, konsepsi maslahatul mursalah, istishhab, memiliki peluang untuk dimanfaatkan. Pertimbangan pesatnya kemajuan teknologi dan faktor yang memungkinkan penjagaan dari unsur ghabn dan tadlis (penipuan), juga dapat dijadikan bahan masukan pertimbangan. Jika produk lama fiqih umumnya menggunakan data murasalah (surat-menyurat) yang diantarkan langsung oleh jasa kurir, bisa jadi kondisi ini bisa dipangkas melalui peran hightech, seperti email, telekonferensi, faximile, telepon, dan lain-lain. 

(Baca juga: Beberapa Problem Fiqih dalam Perbankan Syari’ah)
Dalam pasar saham misalnya, peran hightech sangat tampak mendominasi transaksi jual-belinya. Padahal dalam fenomena pasar saham, lebih banyak dihuni oleh data dan dokumen. Konsep jual-beli yang sebelumnya harus yadan bi yadin (serah terima tangan), memungkinkan menjadi diubah fungsinya menjadi akad mubaya’ah hukmiyah (jual beli hukmi). Jika mubaya’ah sudah berlangsung secara hukmi, maka aqad qabdlu-nya juga pasti berlangsung secara hukmi. Bagaimana dengan syarat harus mengetahui sifat dan jenis barang sebagaimana disyaratkan dalam fiqih klasik? Dalam hal ini, maka dikembalikan kepada kasus urfi (adat/tradisi) yang berlaku di kalangan masyarakat pialang bursa efek.

Mubaya'ah hukmi adalah jual beli yang disertai perpindahan kepemilikan barang yang berlaku melalui nota/dokumen. Qabdlu hukmi, adalah penerimaan hak tamlik atas suatu barang melalui dokumen.

القبض الحكمي هو كل ما تتحق به الحيازة والتمكن من التصرف بحسب العرف السائد من غير تناول باليد أو قبض حسي

Artinya: "Al-Qabdlul hukmi adalah setiap perkara yang bisa memastikan kepemilikan barang dan memungkinkan penggunaannnya secara 'urf setempat meski tanpa harus memegang aset atau memegang secara fisik (legal ownership)." (Wahbah Al Zuhaily dalam kitab al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu)

Dalam kasus mubaya'ah hukmi dan qabdlu hukmi ini permasalahan yang mungkin timbul adalah bagaimana dengan syarat harus mengetahui sifat dan jenis barang sebagaimana disyaratkan dalam fiqih klasik. Dalam hal ini, maka dikembalikan kepada kasus urfi (adat/tradisi) yang berlaku di kalangan masyarakat pialang bursa efek.

Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqi’iyah di Mu’tamar NU ke-32 di Makasar, pernah membahas tentang konsepsi majelis dan pengaruhnya terhadap akad jual beli serta akad nikah. Para pembaca bisa merujuk ke hasil sidang tersebut agar mudah memahami arah tulisan ini.

Pada keputusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqi’iyah di Muktamar NU ke-32, Makassar, para musyawwirin pertama kalinya mencoba menggali hukum transaksi jual beli barang dan kebutuhan akad nikah via elektronik seperti media telepon, email dan media siber yang lain. Jawaban dari permasalahan ini ternyata memutuskan bahwa hukum transaksi jual beli melalui media elektronik adalah dipandang sah apabila sebelum transaksi kedua belah pihak penjual dan pembeli “sudah melihat” mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik “sifat” maupun “jenis” mabi’ serta memenuhi syarat-syarat dan rukun jual belinya.

Pertanyaan kedua dari soal yang sama mencoba mengungkap hukum sah atau tidaknya akad jual beli pada majelis terpisah. Hasil keputusan sidang menyebutkan bahwa hukumnya tetap sah melakukan transaksi jual-beli meskipun berada di majelis yang berbeda. Jawaban dari kedua persoalan di atas ternyata tidak berlaku sama untuk kasus akad nikah. Alasannya tidak akan disampaikan oleh penulis, karena kita fokus pada konsepsi majelis transaksi jual beli yang merupakan landasan perbankan syariah yang sedang kita dalami ini. 

Pertanyaan ketiga, majelis musyawwirin Bahtsul Masail mencoba mengungkap hukum akad/transaksi wakalah dari seorang calon pengantin kepada seseorang yang hadir di majelis. Jawaban musyawwirin terkait dengan masalah tersebut ternyata juga memandang sah mewakilkan melalui SMS dengan batasan syarat yaitu aman dan sesuai dengan nafsu al-amri (sesuai kenyataan). 

Keputusan hasil sidang Bahtsul Masail muktamar dalam memandang konsepsi sahnya transaksi di atas, didasarkan pada teks rujukan beberapa kitab, antara lain Kitab Nihayatul Muhtaj: 11/280, Hasyiyah al-Bujairamy ‘ala al-Khathib: 2/403 dan 10/148, Hasyiyatul Jamal: 4/301, Syarah Al-Yaquuti al-Nafiis: 2/22, Al Syarwany Syarah Tuhfatul Muhtaj: 4/221. 

Salah satu yang dirasa perlu dicuplik oleh penulis pada kesempatan ini adalah dasar dari kitab Al-Syarwany Syarah Tuhfatul Muhtaj (4/221):

وينعقد] البيع من غير السكران الذي لا يدري لأنه ليس من أهل النية على كلام يأتي فيه فى الطلاق [بالكناية] مع النية] 
والكتابة لا على مائع أو هواء كناية فينعقد بها مع النية ولو لحاضر فليقبل فورا عند علمه ويمتد خيارهما لانقضاء مجلس قبوله [قوله: والكتابة إلخ] ومثلها خبر السلك المحدث فى هذه الأزمنة فالعقد به كناية فيما يظهر

Artinya: “(Sah) melakukan jual beli kecuali orang yang mabuk yang tidak menyadari, karena ia bukan termasuk ahli niat berdasarkan kalam yang akan disampaikan nanti tentang thalaq (dengan kiasan) disertai dengan niat.”

Syarah: 
“Menulis di atas sesuatu yang bukan benda cair atau udara adalah masuk unsur kinayah, dan sah bila disertai dengan niat meskipun menulisnya tersebut ditujukan kepada orang yang hadir, maka sebaiknya diterima dengan segera setelah diketahuinya (tulisan tersebut), namun sebaiknya waktu khiyar keduanya diperluas karena selesainya majelis penerimaan. (Ucapan mushannif: dan tulisan, dst) perumpamaannya adalah khabar al-suluki al-muhaddits (SMS) di zaman ini, maka transaksi dengannya merupakan contoh transaksi kinayah.”

Relevansi hasil Muktamar NU ini dengan realitas modern bursa efek dan perdagangan saham tampak menemui adanya korelasi. Rambu-rambu dari fiqih turats memandang legal standing akad ada pada nafsu al-amri (sesuai dengan kenyataan) dan keamanan transaksi. Aman jika dibawa dalam konteks perdagangan saham serta bursa efek bisa jadi masuk dalam wilayah ‘urf iklim perusahaan yang memandang bahwa dokumen transaksi sebagai barang yang bisa dipergunakan sebagai bukti telah terjadinya transaksi jual beli antara perusahaan satu dengan perusahaan lainnya. 

Ibarat yang disampaikan oleh musyawwirin dengan menukil kitab Hasyiyatu al-Bujairami (10/147) tampaknya bisa menjadi batasan bagi keabsahan transaksi di atas, yaitu keberadaan unsur kecerdasan pihak yang terlibat. 

وليس لنا نكاح ينعقد بالكناية إلا بالكتابة وإشارة الأخرس إذا اختص بفهمها الفطن

Artinya: “Tidak sah bagi kita akad nikah dengan jalan kinayah kecuali lewat jalan kitabah atau isyarat orang yang tulis ketika bisa dipahami oleh orang yang pandai/cerdas.”

Dengan mengacu pada kutipan di atas, suatu akad dipandang sah dengan jalan tulisan (nota) namun dengan batasan bisa dipahami oleh orang yang cerdas. Lantas bagaimana dengan akad jual-beli lewat jalur dokumen, lalu menjual lagi melalui jalur dokumen pula, sementara unsur qabdlu-nya diwakili secara dokumen pula? Contoh riilnya kasus transaksi tawarruq di perbankan syariah, yang sebelumnya pernah kita bahas di sini. 

(Baca: Dilema Transaksi Tawarruq pada Lembaga Keuangan Syariah)
Sampai di sini, problematika tersebut sudah terjawab, bahwa akad tersebut masih masuk unsur sah, dengan syarat bisa dipahami oleh orang yang cerdas. Aplikasi pihak yang dimaksud sebagai “orang yang cerdas” di sini barangkali adalah Lembaga/Badan Perlindungan Dana Konsumen dan Nasabah Perbankan.” Namun, dimanakah ia berkedudukan?

Wallahu a’lam


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jatim.

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua