Syariah

Jenis Produk yang Diperjualbelikan dan Disewakan dalam Fiqih Muamalah

Rab, 18 Desember 2019 | 02:15 WIB

Jenis Produk yang Diperjualbelikan dan Disewakan dalam Fiqih Muamalah

Pada prinsipnya semua barang yang dapat diperjualbelikan dapat dipersewakan dan dihibahkan. Tetapi dalam beberapa kasus, ada produk yang tidak dapat diperjualbelikan, dipersewakan, atau dihibahkan. (Ilustrasi: istock)

Aktivitas jual beli merupakan sebuah akad mu’awadhah (akad pertukaran barang). Demikian juga dengan akad ijarah. Ia hakikatnya juga merupakan akad pertukaran barang. Obyek barang yang dipertukarkan dalam akad ijarah dan akad jual beli adalah sama-sama berupa harta.
 
Keduanya meski demikian memiliki penekanan berbeda. Jika dalam jual beli yang dipertukarkan adalah harta yang sifatnya al-ain al-maujud (barang ujud), namun dalam ijarah, harta ini berbentuk manfaatnya barang. Manfaat barang juga dikenal dengan istilah harta manfaat.

Karena ada pertukaran harta, maka tidak heran bila kemudian para ulama menyebut dalam sebuah kaidah fiqihiyyah:

كل ما يجوز بيعه تجوز إجارته؛ لأن الإجارة بيع منافع

Artinya, "Segala sesuatu yang bisa dijualbelikan maka bisa pula disewakan, karena (pada hakikatnya) ijarah itu adalah jual beli barang manfaat.”

Kaidah ini secara tidak langsung menyamakan antara ijarah dan jual beli karena illat pertukarannya. Imbas hukum dari penggunaan kaidah ini dalam muamalah ada beberapa macam, antara lain:

Pertama, Setiap Barang yang Dapat Diperjualbelikan Boleh Pula Disewakan.

Misalnya mobil. Mobil dapat dibeli oleh siapapun, asal ia punya kesanggupan untuk membayar harganya. Karena mobil adalah merupakan barang yang memiliki manfaat, maka manfaat dari mobil ini bisa juga disewakan (diijarahkan).

Kedua, Setiap Barang yang Sudah Dibeli Dapat Dikuasai (Dimiliki).

Kadiah ini berlaku pula bagi barang yang disewakan. Manfaat dari barang dapat dikuasai oleh penyewa (ajir) meski tanpa disertai perpindahan kepemilikan wujud barang.

Di dalam jual beli, barang yang sudah dibeli harus dapat dimiliki (dikuasai), meski sifat penguasaan ini tidak sempurna. Contoh membeli pulsa listrik, maka wujud pulsa ini harus bisa dikuasai oleh pembelinya. Namun, karena pulsa adalah merupakan barang yang tidak berwujud namun bisa dirasakan manfaatnya, kadang para ulama memasukkan kategori jual beli pulsa ini ke dalam akad ijarah. Padahal, sejatinya sama saja apakah ia dimasukkan sebagai akad ijarah atau jual beli karena obyek yang dibeli adalah manfaat dari pulsa itu.

Ketiga, Setiap Barang yang Dijualbelikan Dapat Dipesan dengan Transaksi Bai’ Salam atau Bai’ Maushufin fid Dzimmah.

Dengan demikian, dalam akad ijarah pun juga bisa dilakukan akad pemesanan manfaat / jasa barang.

Contoh praktisnya adalah paket travel umrah. Perusahaan travel umumnya menyediakan Paket 1, Paket 2 dan sekian paket yang lain, yang masing-masing dibedakan dari segi pelayanannya. Hotel bintang 1 sampai bintang 5 hakikatnya adalah menawarkan jual beli manfaat/jasa sehingga orang yang memesan kamar di hotel bintang 1 tidak akan mendapatkan jasa pelayanan sebagaimana layanan hotel bintang 2, atau bahkan hotel bintang 5.

Dalam haji pun juga terjadi model bisnis yang sama. Ada paket haji reguler, ada paket ONH plus, dan ada paket haji furada. Masing-masing dari sekian paket itu dibedakan menurut sisi jasanya.

Oleh karena itu, menyewa (ijarah) paket haji reguler, atau paket ONH plus, atau bahkan paket haji furada, hakikatnya sama dengan membeli manfaat layanan dari setiap paket yang dipesan.

Jadi, adalah sebuah kemustahilan dapat menyewa paket haji reguler, namun menolak disebut  sebagai membeli jasa paket haji reguler. Sekali lagi karena adanya kaidah bahwa “membeli jasa” itu adalah sama dengan “menyewa jasa”.

Keempat, Barang yang Dapat Dijualbelikan secara Kredit Boleh Pula Diijarahkan secara Kredit.

Contoh, sepeda motor. Ia dapat dijual dengan harga terpisah. Suatu misal ia dijual dengan harga kes Rp. 17 juta. Namun, bila dibeli secara kredit, dengan masa angsuran 5 tahun, dengan kewajiban per bulan sebesar 500 ribu rupiah, maka itu artinya, harga kredit sepeda tersebut adalah sebesar 30 juta.

Hal yang sama juga dapat berlaku pada sepeda yang disewakan (diijarahkan). Suatu misal, jika harga ijarah dibayar kes di depan dengan jangka waktu peminjaman selama 3 bulan adalah sebesar Rp. 1 juta, maka boleh juga ia ditawarkan dengan harga kredit sewa sebesar Rp. 1,5 juta dibayar dengan cicilan selama seminggu sekali, misalnya 125 ribu rupiah per minggu. Sudah pasti akad ini harus disepakati dalam majelis khiyar terlebih dahulu.

Sekali lagi, konsep ini lahir dan berangkat dari kaidah bahwa “semua barang yang bisa dibeli, maka bisa disewakan.” Produk yang “dibeli” dalam akad sewa jasa (ijarah) adalah manfaat barang.

Kelima, Setiap Barang yang Dapat Dijualbelikan Dapat Dihibahkan atau Digadaikan.

Hal ini berlaku juga pada akad ijarah. Setiap barang yang bisa disewakan dapat pula dihibahkan dan digadaikan.

Setiap sepeda motor yang bisa dibeli, maka bisa pula sepeda tersebut dihibahkan. Setiap sepeda motor yang manfaatnya bisa disewa, maka bisa pula manfaat sewaan sepeda motor tersebut dihibahkan.

Contoh, karena ada sesuatu kegiatan yang membutuhkan riwa-riwi panitia ke penjuru daerah, maka langkah praktisnya adalah panitia tersebut menyewa sepeda motor atau kendaraan agar manfaatnya dapat dipergunakan untuk riwa-riwi tersebut. Jika yang menyewakan adalah pihak donatur, maka pemberian manfaat sewa sepeda kepada panitia oleh donatur yang menyewa, adalah termasuk bagian dari hibah.

Sejumlah Kasus yang Dikecualikan, yaitu Barang yang Dapat Disewa tapi Tidak Dapat Dapat Dibeli.

Memang ada beberapa kasus khusus, bahwa barang yang dapat disewa tidak dapat diperjualbelikan. Misalnya, menyewa harta wakaf. Barang wakaf memang tidak dapat dijualbelikan karena status milik barang adalah sudah bukan lagi milik perorangan, melainkan milik umum. Namun, kasus ini tidak bersifat menafikan kaidah umum sebagaimana telah disebutkan di atas. Mengapa? Karena yang dibicarakan dalam kasus di atas adalah kasus hukum asal barang.

Dalam kasus tanah wakaf, hukum asal dari tanah adalah merupakan obyek yang bisa dijualbelikan. Adanya tidak bisa dijualbelikan adalah karena adanya akad wakaf yang menyebabkan terhentinya ia dari penasarufan dalam bentuk lain, kecuali karena ada hal yang bersifat dharurat sehingga harus diubah ke bentuk lain, misalnya kasus tukar guling tanah wakaf. Tukar guling hakikatnya juga jual beli karena ada unsur mu’awadhah (pertukaran/barter). 

Jika tanah wakaf itu tidak ditukargulingkan, bisa jadi barang wakaf itu akan berubah menjadi barang mulgha, yaitu barang yang tidak ada manfaatnya sehingga menyalahi tujuan wakaf.

Walhasil, barang wakaf yang dapat disewa bukan berarti tidak dapat diperjualbelikan. Tetapi, barang wakaf tersebut pada hakikatnya tetap dapat diperjualbelikan. Namun hal itu dapat dilakukan jika situasi dan kondisi yang menjadi sebab hukum sudah mengharuskan untuk melakukannya. Dengan demikian, kaidah tentang ijarah barang wakaf ini sejatinya tidak menyalahi konsep jual beli. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur