Syariah

Jual Beli dengan Sampel Menurut Ulama 4 Mazhab

Sab, 20 Juli 2019 | 06:00 WIB

Kita sering mendapati para penebas acap membeli barang dengan cukup berbekal sampelnya. Kita juga sering mendapati orang jual beli perkakas rumah tangga, yang penjualnya hanya mendemonstrasikan sampelnya. Kadang hal ini lazim terjadi pada jamaah ibu-ibu PKK di kampung. Saat kita menghendaki membeli telepon seluler atau perkakas elektronik lainnya, kita juga sering disuguhi sampelnya saja. Sementara barang yang dijual masih terbungkus dengan rapi. 

Para penggemar baca buku juga demikian, bila ia hendak membeli buku di sebuah toko buku, acapkali para pedagang buku ini hanya membuka satu buku sebagai sampelnya untuk jenis dan kategori judul buku yang sama. Setelah terjadi transaksi, para pembeli tidak mengambil sampel, melainkan mengambil barang yang diwakili oleh sampel itu. Apakah jual beli semacam ini hukumnya boleh?

Di sini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah menghukumi mutlak kebolehannya. Sementara ulama Syafiiyah memerinci menjadi dua hukum, yaitu bisa batal dan bisa juga sah, tergantung pada kondisi barang yang diwakilinya. 

Adapun kalangan Hanabilah menghukumi sebagai tidak sah (dengan disertai catatan), karena jual beli dengan sampel adalah sama dengan jual beli barang yang tidak diketahui (al-bai'ul mughîbul ashl). 

Sebenarnya apa alasan boleh dan tidaknya jual beli dengan sampel ini? 

Pertama, alasan dipandang sahnya jual beli dengan sampel oleh tiga ulama mazhab yang pertama (Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah) adalah lebih didorong karena hal tersebut sudah mafhum secara 'urf (tradisi). Di dalam urf ini, masing-masing pihak yang melakukan akad telah melakukan beberapa uji materi terhadap sampel, khususnya terhadap barang yang bisa ditakar atau ditimbang. Terhadap kedua tipe barang ini, sampel kadang dianggap mampu merepresentasikan kondisi semua barang yang hendak dibeli. Namun, untuk menghindari kemungkinan terjadinya gharar dan ghabn (kecurangan) sehingga berakibat merugikan (dlarar) salah satu pihak yang bertransaksi, maka ketiga ulama mazhab mensyaratkan bahwa barang yang bisa diambil sampelnya adalah harus barang yang bersifat homogen (sejenis). Adapun bila kondisi mabi' (barang yang diperdagangkan) bersifat heterogen dan bercampur, maka ketiga ulama mazhab tersebut menyatakan tidak sahnya jual beli. 

Yang acap terjadi di lapangan juga, adalah sampel tidak sesuai dengan barang yang direpresentasikan, atau terjadi sedikit penyimpangan. Untuk sampel yang benar-benar berbeda dengan kondisi barang yang diwakilinya, maka ulama kalangan Syafiiyah menegaskan batalnya akad dan harus dimulai dengan akad yang baru. Adapun bila terjadi sedikit penyimpangan dari sampel yang ditunjukkan, maka pembeli bisa memutuskan khiyar, yaitu opsi untuk membatalkan atau meneruskan jual beli. 

Kedua, pandangan kalangan Hanabilah menyatakan bahwa tidak sah jual beli dengan sampel, tapi dengan disertai catatan. Syekh Wahbah Al-Zuhaily menjelaskan pandangan kalangan ini sebagai berikut:

قال الحنابلة: لايصح بيع النموذج، فلو رأى البائع المشتري صاعا من صبرة قمح مثلا، ثم باعه الصبرة على أنها من جنسه فلا يصح البيع لأنه يشترط عندهم رؤية المتعاقدين المبيع رؤية مقارنة للبيع وذلك برؤية جميع المبيع أو بعض منه يدل على بقيته كأحد وجهي ثوب غير منقوش وظاهرة صبرة متساوية الأجزاء من حب وتمر وما في ظروف من جنس متساوي

Artinya: "Kalangan Hanabilah berkata bahwa jual beli sampel tidak sah. Misalnya, seorang pedagang menunjukkan 1 sha' sampel gandum kemudian menjual sekarung gandum yang diambil jenis sampelnya tadi, maka jual beli seperti ini adalah tidak sah. Karena syarat jual beli yang seharusnya berlaku di antara mereka adalah melihatnya dua orang yang bertransaksi terhadap barang yang diperjualbelikan dengan pola melihat bersamaan dengan akad jual beli itu dilaksanakan serta melihatnya dengan melihat keseluruhannya atau sebagiannya saja sehingga terkesan menunjukkan seluruh barang yang hendak dibeli, seperti melihat salah satu dari dua ujung baju yang tidak dilipat, atau melihat bagian luar dari biji atau kurma yang hendak dibeli yang menunjukkan kesamaan ciri dengan luarnya, atau melihat langsung bagian barang yang diduga berjenis sama dengan yang dicari." (Al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islâmy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: Juz 4, 588-589). 

Jika menyimak uraian dari Syekh Wahbah al-Zuhaily ini, hakikatnya keberadaan sampel di kalangan Hanabilah sebenarnya juga diperhitungkan. Hanya saja, mereka berhati-hati dalam memutuskan kebolehan itu, dengan jalan kebolehan jual beli tersebut harus disertai melihat langsung barang yang hendak dibeli. Jadi, keberadaan sampel ini hanya boleh dilakukan manakala pembeli berada di sisi barang yang hendak dibeli. Lain halnya dengan tiga mazhab di atas, bahwa sampel ditunjukkan tidak harus di sisi barang yang hendak dibeli. Sampai di sini, penting bagi kita untuk mencermatinya dan membedakan pendapat kalangan mazhab empat ini. 

Sebagai penutup tulisan, ada catatan menarik dari Syekh Wahbah Al-Zuhaily terhadap pendapat kalangan penganut mazhab Daud al-Dhâhiry. Kalangan penganut mazhab ini, seperti Ibnu Hazm, menyatakan bahwa jual beli dengan sampel, hukumnya tidak sah secara mutlak. Wallahu a'lam bish shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua