Syariah

Jual Beli Sampel dan Trading Online dalam Kajian Fiqih Muamalah

Ahad, 23 Februari 2020 | 02:30 WIB

Jual Beli Sampel dan Trading Online dalam Kajian Fiqih Muamalah

Ada perbedaan mendasar mengenai maysir sebagai komponen utama penyusun spekulasi perjudian dan sampel yang dipergunakan upaya memprediksi tren harga pada pasar turunan (trading) ini.

Jual beli lempar kerikil terhadap obyek jual dikenal dengan istilah bai’ munabadzah. Hukumnya disepakati haram karena illat spekulatif (maysir), dengan ciri khas tidak ada khiyar, tidak mengetahui barang yang akan dibeli, dan berpotensi geger (khashmah) di belakang hari karena ketiadaan saling ridha. Illat maysir merupakan yang dikuatkan oleh syariat, karena Allah SWT melarang segala bentuk praktek perjudian (qimar).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Surat Al-Maidah ayat 90).

Nah, permasalahannya, apakah larangan ini berlaku mutlak untuk semua kasus jual beli lempar kerikil atau hanya berlaku khusus yang berlangsung sebagaimana digambarkan dalam jual beli kambing yang ada dalam rombongan kambing? Di sini titik tekan masalah yang akan kita dekati dengan sains modern.

Jika dicermati lebih lanjut, konsep jual beli munabadzah pada praktik rombongan kambing itu sebagai setara dengan jual beli atas salah satu barang yang terdapat dalam suatu populasi berupa obyek barang yang dijual (kambing). Meminjam istilah dalam ilmu statistik dasar, ada dua kemungkinan populasi ini terbentuk, yaitu:

1. Adakalanya homogen, yang itu berarti bahwa barang dagangan itu terdiri dari produk yang seragam / sejenis. Misalnya, semuanya terdiri atas Songkok NU yang sejenis, atau terdiri atas Sarung Tenun dengan warna yang sejenis dan ukuran yang serba sejenis.

2. Adakalanya heterogen, yang berarti barang dagangan itu terdiri atas produk yang beragam/tidak sejenis, dengan ciri khas, baik ukuran, warna, dan bahkan mungkin adalah merknya.

Nah, jika konsep populasi itu dikaitkan dengan bai’ munabadzah, sebagai proses jual beli dengan jalan melempar kerikil, maka permasalahan yang muncul adalah, munabadzah yang dihadapkan pada variasi populasi mana yang diharamkan? Apakah dari dua model variasi populasi itu? Atau dari salah satunya saja, misalnya untuk yang memiliki variasi heterogen pada obyek barang yang dijual?

Saat kita mengingat akan adanya variasi pada obyek barang yang dibeli, kita juga mesti ingat bahwa jual beli dengan menunjukkan sampel terhadap obyek barang yang dibeli, hukumnya adalah diperbolehkan oleh mayoritas ulama madzahibul arba’ah. Jual beli dengan sampel ini dalam istilah fiqih dikenal dengan istilah bai’ul anmudzaj.

أن جمهور فقهاء المسلمين يرون صحة بيع الأنموذج، وجواز الاكتفاء برؤية بعض المبيع ما دام يدل بصورة كافية على بقيته، وأن أدلة القائلين بمنعه لا ينتهض بها حجة على ما قالوا، فالأولى المصير إلى مذهب الجمهور

Artinya, “Sungguh jumhur fuqaha muslimin berpendapat mengenai sahnya jual beli dengan sampel dan sudah memenuhinya usur syarat kecukupan bagi ru’yatul mabi’ (keharusan melihat obyek barang) selagi sampel itu sudah bisa menggambarkan kondisi total populasi obyek mabi’. Adapun adanya beberapa pihak yang menyatakan pendapat penolakan terhadap praktik ini, hujah yang digunakan tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar landasan penolakannya. Oleh karena itu, langkah yang paling utama adalah kembali kepada pendapat ulama’ jumhur.” (Kitab Nata’ijul Buhuts wa Khawatimul Kutub,  juz IV, halaman 214).

Sampel, dalam ranah kajian sains, sebenarnya memiliki pengertian yang sama dengan namudzaj pada ranah fiqih. Dalam ranah sains, ada teknik tersendiri dalam mengambil sampel, agar tidak terjadi bias dalam memberikan gambaran umum terhadap populasi. Teknik ini dikenal dengan istilah teknik random sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel secara acak.

Mekanisme pengambilan sampel dapat ditetapkan melalui “riwayat jual beli” atau juga bisa dengan “bersentuhan dengan obyek secara langsung”. Bahkan dalam suatu obyek barang yang dijual berupa tumpukan cabe (misalnya) disyaratkan agar di dalam tumpukan itu tidak ada bagian tanah yang menggunduk, sehingga dengan mudah bagi orang yang sudah ahli untuk menebak dan menaksir berapa kisaran berat dari obyek yang hendak dibeli dan sudah berada di hadapannya itu. Ketiadaan obyek gundukan yang tertutup oleh barang, hakikatnya juga berfungsi meminimalisasi kekeliruan dalam menggambarkan obyek.

Dalam trading, salah satu obyek sampel yang dapat diketahui adalah peta pergerakan harga indeks. Peta pergerakan ini berasal dari hasil riwayat harga yang sudah terjadi, baik berbasis pergerakan per detik, per menit, maupun per jam. Sudah pasti, tingkat ketepatan “penaksiran harga,” terletak pada basis sampel itu diambil. Semakin kecil basis sampel itu diambil, maka tingkat ketepatan taksiran akan semakin cermat. Hal ini jauh berbeda dengan unsur spekulatifnya perjudian (maysir).

Dalam perjudian, rumus yang digunakan hanya menggunakan rumus peluang. Dari enam peluang mata dadu muncul, hanya satu di antara enam sisi yang akan muncul dengan pasti. Oleh karenanya, tidak mungkin kita bisa menaksir tren peluang munculnya mata dadu melalui rumus regresi, korelasi, menguji homogenitas, atau heterogenitas sampel.

Lain halnya dengan trading, record harga ini adalah riil. Record ini dapat ditebak mengenai tren positif atau negatifnya. Masing-masing tren ini dapat digambarkan untuk mengikuti rumus yang dihasilkan lewat penghitungan rumus pengujian regresi linier atau korelasi. Setiap rumus ini berbeda-beda menurut tingkat prediktor yang dimiliki.

Jadi, sampai di sini, ada perbedaan mendasar mengenai maysir sebagai komponen utama penyusun spekulasinya perjudian (qimar) dan sampel yang dipergunakan upaya memprediksi tren harga pada pasar turunan (trading) ini. Rumus ini senantiasa dipergunakan dalam banyak industri atau bahkan institusi negara untuk mengukur sejauh mana kekuatan variabel produk yang dimilikinya terhadap daya serap pasar.

Sampai di sini, persoalannya kemudian dihadapkan pada konsep penerimaan kita. Masihkah kita memaknai jual beli di pasar turunan (trading) itu sebagai layaknya jual beli anmudzaj, atau masih bersikukuh dengan konsep maysir layaknya qimar? Kita memang diwajibkan untuk patuh terhadap teks (syari’a compliency), tapi untuk konteks mu’amalah, kiranya para ulama dulu juga tidak menolak untuk melakukan pendekatan teks terhadap konteks obyek masalah. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur