Syariah

Jual Beli yang Dilarang Syariat (3): Sebab Waktu Shalat Jumat

Kam, 13 September 2018 | 04:30 WIB

Jual beli adalah praktik yang dihalalkan oleh syara’ dalam rangka mencari rezeki. Namun, syara’ menetapkan bahwa kebolehan ini tidak mutlak di semua waktu. Syara’ memberikan batasan mengenai waktu pelaksanaannya. Contoh waktu yang mendapatkan nash larangan melakukan jual beli adalah jual beli yang bertepatan dengan shalat Jumat.

Dasar dalil yang dipergunakan atas larangan ini adalah firman Allah dalam QS Al-Jumu’ah: 9: 

ياأيها الذين آمنوا إذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, ketika telah sampai panggilan untuk shalat jumuah, maka bersegeralan ingat kepada Allah dan tinggalkan jual beli. Demikian itu adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9)

Ayat ini mengandung perintah agar bersegera menuju shalat Jumat dan meninggalkan jual beli. Semua ulama sepakat bahwa ayat ini menunjukkan status wajibnya shalat Jumat. Oleh karena itu, pelaku transaksi jual beli yang dilakukan pada hari Jumat, saat adzan Jumat sudah dikumandangkan, adalah berdosa. Apalagi matahari sudah menunjukkan waktu tergelincir ke arah barat, dan Imam sudah naik ke atas mimbar, maka larangan ini mulai berlaku. 

Yang menjadi pangkal ikhtilaf ulama adalah pendapat tentang hukum akad transaksi jual beli yang dilakukan saat adzan. Apakah jual belinya sah? Dan apakah larangan ini bersifat mutlak ataukah terbatas? Apakah semua akad juga termasuk yang dikenai hukum wajib ditinggalkan? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali diutarakan sehubungan tetapnya status larangan jual beli saat adzan shalat Jumat. 

Terkait dengan sah atau tidaknya akad, ada dua pendapat ulama yang terkenal. Pendapat pertama memandang bahwa akad tersebut tidak sah dan wajib dibatalkan. Pendapat ini disampaikan oleh kalangan ahli dhahir (tekstualis) dari kalangan mazhab Maliki dan mazhab Hanbali. Masing-masing mazhab ini menyatakan bahwa hukum wajib dikembalikan kepada asal larangan. Dengan demikian, kalangan mazhab ini menyatakan wajibnya merusak akad (fasakh akad). Kewajiban ini berlaku untuk semua pedagang secara mutlak, baik laki-laki maupun perempuan, baik termasuk ahli jum’ah (orang yang wajib shalat Jumat) maupun bukan. Dengan kata lain, kalangan tekstualis menyatakan hukum mutlak wajib fasakh (rusak).

Pendapat kedua disampaikan oleh ulama dari kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa akad jual belinya adalah sah namun berdosa. Status berdosa ini bersifat muqayyad (terbatas), yaitu secara khusus berlaku hanya bila transaksi tersebut dilakukan oleh kelompok ahli jum’ah. Dengan demikian, kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i menyatakan bahwa kaum perempuan dan anak-anak bukan termasuk yang dikenai larangan/teguran dari nash di atas. Perwakilan atas pendapat ini dapat kita ketahui melalui pernyataan Al-Syairazy dalam kitab al-Muhadzhzab, sebagai berikut:

ولايبطل البيع لأن النهي لايختص بالعقد فلم يمنع الصلاة كالصلاة في الأرض المغصوبة

Artinya: “Tidak membatalkan akad jual beli (akadnya sah), karena sesungguhnya larangan tersebut tidak dikhususkan pada akad, sementara akad tidak menghalangi shalat, sehingga seperti (hukum) shalat di bumi yang dighashab (berdosa).” (Muhyiddin Yahya bin Syaraf, al-Nawawy, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab li al-Syairazy, Jedah: Thab’atu Maktabah al-Irsyad, tt.: 1/110!)

Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah apakah semua akad-akad yang lain juga terkena pasal larangan sehingga wajib segera ditinggalkan manakala adzan shalat Jumat telah dikumandangkan?

Para ahli fiqih, salah satunya adalah Ibnu Qudamah al-Maqdisy, sepakat bahwa untuk akad-akad yang lain, selain akad jual beli, tidak termasuk bagian yang harus di-ilhaq-kan (disamakan hukumnya). Ada perbedaan mendasar antara akad jual beli dengan akad-akad yang lain, seperti ijârah dan nikah. Perbedaan itu adalah, bahwa akad jual beli merupakan akad yang sudah menjadi rutinitas. Jika jual beli ini merupakan yang dikhususkan dalam nash disebabkan karena ia bisa melalaikan pelakunya dari shalat Jumat. Alasan rutinitas ini tidak dijumpai pada akad ijarah dan nikah, sehingga ia termasuk bagian yang tidak dikenai putusan hukum larangan akibat nash.

Apakah perintah meninggalkan jual beli ini hanya berlaku untuk shalat Jumat saja, ataukah juga bisa berlaku untuk semua waktu shalat lima waktu? 

Mencermati sisi kejelasan teks ayat, perintah meninggalkan transaksi jual beli ini secara khusus ditetapkan untuk shalat Jumat saja. Karena shalat Jumat hukumnya adalah wajib. Namun, bukankah shalat lima waktu statusnya juga wajib pula? 

Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Mustafid menjelaskan, bahwa: 

أما سائر الصلوات فيمكن أن تلحق بالجمعة على جهة الندب لمرتقب الوقت فإذا فات فعلى جهة الحظر وإن كان لم يقل به أحد في مبلغ علمي

Artinya: “Memang ada kemungkinan untuk menyamakan semua shalat wajib dengan shalat Jumat menurut sisi kesunnahannya karena dinanti-nantinyaa waktu. Jika sampai kehabisan waktu, maka berdasar peringatannya meskipun pendapat ini belum dinyatakan oleh seorang ulama-pun sejauh pengetahuan saya.” (Abu Al Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, tt.: 2/166). 

Ibnu Rusyd menjelaskan, bahwasanya ada kemungkinan untuk mengilhaqkan (menyamakan status hukum) antara shalat Jumat dengan shalat lima waktu. Namun tetap berada dalam koridor dua hal, yaitu:

- Sunnah untuk segera meninggalkan pekerjaan (jual beli) manakala sudah terdengar adzan, sebab waktu shalat merupakan yang selalu dinanti-nantikan. Hukum kesunnahan ini berlaku apabila tidak ada unsur kekhawatiran akan habisnya waktu. 

- Wajib segera meninggalkan pekerjaan/jual beli manakala waktu shalat sudah hampir habis. 

Adanya pembagian hukum sunnah segera meninggalkan dan/atau wajibnya segera meninggalkan jual beli ini oleh Ibnu Rusyd mungkin disebabkan karena rentang waktu shalat lima waktu yang panjang sehingga masih ada kelonggaran bagi mukallaf untuk menunda pelaksanaannya. Namun, Ibnu Rusyd menyadari bahwa pendapat ini belum pernah dijumpai di kalangan ulama sejauh pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian, kesimpulannya adalah yaitu bahwa akad jual beli tetap sah, hanya saja waktu yang menyebabkan perbedaan apakah pelakunya terkena dosa atau tidak. 

Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwasanya jual beli merupakan pekerjaan mubah. Namun kemubahannya bersifat terbatas apabila dilakukan oleh orang ahli jum’ah (orang yang wajib shalat Jumat) pada hari Jumat saat adzan shalat Jumat sudah dikumandangkan dan khatib sudah berada di atas mimbar. Praktik jual beli pada saat shalat Jumat menurut kalangan Syafiiyah adalah sah namun dilarang (berdosa). Sah ini berdasarkan pertimbangan sahnya akad. Sementara larangan ini adalah berdasarkan waktunya, yaitu ada ibadah yang lebih penting daripada jual beli, yaitu shalat Jumat. Wallâhu al-muwâfiq ila aqwâmi al-tharîq


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim