Syariah

Konsep Profit and Loss Sharing dalam Perbankan Syariah

Rab, 7 Februari 2018 | 09:30 WIB

Dalam tulisan-tulisan terdahulu telah disampaikan bahwa inti utama dari muamalah syariah dalam industri perbankan adalah menolak sistem bunga yang terdapat dalam bank konvensional. Sistem bunga menurut mayoritas ulama dipandang sebagai riba atau setidaknya memiliki status hukum syubhat yang semestinya dijauhi dan dihindari. Karena riba umumnya berasal dari akad utang piutang, maka dilakukanlah modifikasi akad yang semula (di bank konvensional) akad adalah berbasis utang piutang menjadi akad jual beli (bai’ murabahah), mudlarabah dan musyarakah. Dalam ketiga konsep ini, aturan fiqih mensyaratkan adanya profit and loss sharing, yaitu sebuah konsep berbagi untung dan rugi atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai akad bagi hasil. 

Sejatinya kedua konsep bagi hasil dan bagi untung rugi itu adalah sama namun tidak serupa. Bagi hasil merupakan istilah pembagian hasil usaha antara pemodal dan pengusaha. Adapun istilah bagi laba rugi, maka istilah ini dipergunakan karena yang dibagi bukan hanya laba usaha, akan tetapi juga kerugian usaha. Terminologi hasil dalam kamus akuntansi biasanya terbatas pada penerimaan kotor belum dikurangi biaya-biaya untuk mendapatkannya. Adapun laba merupakan hasil pengurangan penghasilan dengan biaya. Dalam konteks inilah secara sederhana para akuntan membangun formula untuk menghitung laba-rugi. Formula tersebut adalah hasil dikurangi biaya sama dengan laba. 

Misalnya, sebuah perusahaan memiliki hasil senilai Rp1.000.000, sementara biaya operasional menghabiskan Rp600.000, maka laba yang diperoleh sebesar Rp400.000. Jika nisbah pembagian antara pemodal dan pengusaha adalah 3:7, maka menurut konsep bagi hasil, maka pemodal mendapatkan nisbah pembagian hasil sebesar Rp300.000. Sementara pengusaha, ia mendapatkan Rp700.000. Sekali lagi, bahwa ini menurut konsep bagi hasil. 

Adapun menurut konsep “bagi laba-rugi”, maka hasil yang didapat harus dipotong biaya operasional terlebih dahulu, yakni Rp1.000.000 dikurangi Rp600.000 sehingga diperoleh laba sebesar Rp400.000. Jika nisbah pembagian antara pemodal dan pengusaha adalah 3 : 7, maka pemodal mendapat bagian dari hasil “bagi laba-rugi” ini sebesar 3/10 x Rp400.000  sama dengan Rp120.000. Sementara pengusaha mendapatkan hasil sebesar Rp400.000 dikurangi Rp120.000, sehingga total Rp280.000. 

Konsekuensi dari dua cara pandang terhadap profit and loss sharing ini apa? Jika mengamati dua difergensi (perbedaan cara pandang) metode bagi hasil dan bagi laba-rugi di atas, jelas nampak bahwa keduanya akan sangat berpengaruh besar pada operasional usaha. Dalam prinsip “bagi hasil,” jikapengusaha mengalami kerugian, maka pengusaha yang akan menanggungnya. Tentu dalam hal ini menyalahi aturan syariat, karena tidak sesuai dengan prinsip ‘adalah (keadilan). Bahkan akad yang mensyaratkan hanya salah satu pihak sendiri yang menanggung kerugian, adalah akad fasidah (rusak). Dalam kondisi akad rusak, maka pihak pengusaha berhak mendapatkan bagian ujrah mitsil, yaitu ujrah yang berlaku pada umumnya dalam lingkungan usaha. 

Bagaimana dengan prospek penerapan konsep bagi laba-rugi di perbankan syariah? Sebuah tulisan kritis karya Timur Kuran yang berjudul “The Economic System in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assesment” yang terbit tahun 1986, setidaknya pernah mengkritisi dilema penerapan bagi laba-rugi ini. Di antaranya, ia menyatakan bahwa mudlarabah sebagaimana dipraktikkan di perbankan syariah dewasa ini menghadapi beberapa masalah, antara lain:

Pertama, dalam sistem mudlarabah, kedua belah pihak antara pemodal dan pengusaha bebas menentukan nisbah bagi untung dan ruginya. Konsep ini baik dan tidak menyalahi aturan syariat, namun dalam lingkup makro, ketika konsep ini diterapkan, kecenderungan pihak yang lemah (nasabah) adalah menjadi korban bagi pihak yang kuat (pengusaha) sehingga cenderung pada eksploitasi.

Kedua, manakala mudlarib-nya adalah perusahaan, bisa saja terjadi bahwa perusahaan tidak melaporkan besaran keuntungan yang ia dapat dari hasil mudlarabah dengan pihak perbankan. Problem semacam inilah yang menyulitkan bagi pihak perbankan syariah untuk memberlakukan sepenuhnya prinsip mudlarabah dalam lingkup makro, disebabkan sulitnya pengawasan terhadap pelaku usaha. Berbeda dengan perbankan konvensional, yang langsung mematok target kembalian usaha dengan kadar tertentu kepada perusahaan. Namun sistem seperti perbankan konvensional ini tidak mungkin diterapkan oleh bank syariah karena jelas bahwa hal itu adalah riba, disebabkan karena keberadaan syarat di muka. Inilah paradigma yang menjadikan produk bank syariah dengan basis akad muamalah fiqhiyyah justru menyulitan bank syariah itu sendiri.

Seiring pembiayaan yang menghendaki profit and loss sharing adalah sebuah keniscayaan dan tidak mungkin bank meninggalkannya, maka diperkenalkan akad bai’ muajjal, yaitu jual beli angsuran sebagai bentuk modifikasi akad pembiayaan dengan basis kredit dari bank konvensional. Praktiknya adalah pihak perbankan menawarkan sebuah barang kepada perusahaan yang hendak dibiayai, dengan semula harga barang misalnya adalah 500 juta rupiah, dijual dengan harga 600 juta rupiah dengan batas tempo cicilan yang ditentukan bersama. Acapkali akad semacam ini dipandang sebagai riba terselubung, namun pada dasarnya adalah sah dalam kerangka fiqih Syafi’iyah. Dengan demikian, masih adakah kemungkinan kerugian yang dialami oleh pihak perbankan syariah? Jawabnya adalah tidak ada. 

Demikianlah, tulisan ini sekaligus menjawab problem selama ini yang disampaikan kepada penulis bahwa dalam kondisi kerugian, seharusnya pihak nasabah juga ikut menanggung kerugian. Bagaimana nasabah mahu ikut menanggung, sementara keran kerugian itu sudah tertutup? Ini pula yang menjadi dasar legalisasi wadi’ah yadu al-dlamaanah sebagai wujud jaminan keamanan dana nasabah di perbankan syariah. Wallahu a’lam.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua