Syariah

Pintu Masuk Kajian Trading, Pasar Turunan, dan Pasar Berjangka dalam Fiqih Muamalah

Sab, 22 Februari 2020 | 03:00 WIB

Pintu Masuk Kajian Trading, Pasar Turunan, dan Pasar Berjangka dalam Fiqih Muamalah

Sistem lelang dan trading sama-sama disatukan dalam ketiadaan khiyar terhadap barang yang sudah berhasil dibeli. Untuk praktik jual beli sistem lelang ini, umum berlaku pada produk barang jaminan gadai dan hukumnya dipandang sah. Namun hukum trading masih diragukan.

Kajian trading, pasar turunan, dan pasar berjangka dapat berawal dari pembahasan tentang Bai’ Munabadzah. Jenis transaksi ini di dalam Mu’jamul Ma’any dimaknai sebagai berikut:

بيع المنابذة : بيع في الجاهلية . كان الرجل « ينبذ » الحصاة ، أي يطرحها ويرميها ، ويقول لصاحب الغنم : إن ما أصاب الحجر فهو لي بكذا . وقيل غير ذلك 

Artinya, “Jual beli munabadzah: jual beli era jahiliyah, di mana seseorang melakukan pelemparan kerikil atau semacamnya terhadap obyek barang yang dibeli (seumpama sekawanan kambing), kemudian berkata kepada pemilik dagangan kambing, ‘Yang terkena lemparan batuku ini menjadi milikku aku tukar dengan harga sekian-sekian.’ Kadang definisi munabadzah disampaikan dengan konteks lain.” (Mu’jamul Ma’anay).

Masih dalam kitab yang sama, dijelaskan bahwa asal kata dari munabadzah adalah berasal dari kata nabadza yang berarti memeras anggur sehingga menghasilkan anggur perasan. Sebagaimana makna ini tercermin dari sebuah Hadits Muslim, Nomor Hadits 3745, di mana disampaikan:

كُنَّا نَنْبِذُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سِقَاءٍ يُوكَى أَعْلَاهُ ، وَلَهُ عَزْلَاءُ نَنْبِذُهُ غُدْوَةً ، فَيَشْرَبُهُ عِشَاءً وَنَنْبِذُهُ عِشَاءً فَيَشْرَبُهُ غُدْوَةً

Artinya, “Kami biasa membuat perasan untuk Rasulullah SAW di dalam air minum yang bertali di atasnya, kami membuat rendaman di pagi hari dan meminumnya di sore hari, atau membuat rendaman di sore hari lalu meminumnya di pagi hari.” (HR Muslim).

Yang kita kehendaki dalam tulisan ini, munabadzah sebagai bagian dari akad jual beli lempar kerikil sebagaimana pengertian pertama, atau yang memiliki pengertian sebagaimana tertuang dalam hadits berikut:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُلَامَسَةِ , وَالْمُنَابَذَةِ , وَالْمُلَامَسَةُ : أَنْ يَتَبَايَعَ الرَّجُلَانِ بِالثَّوْبَيْنِ تَحْتَ اللَّيْلِ يَلْمِسُ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمَا ثَوْبَ صَاحِبِهِ بِيَدِهِ , وَالْمُنَابَذَةُ : أَنْ يَنْبِذَ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ الثَّوْبَ وَيَنْبِذَ الْآخَرُ إِلَيْهِ الثَّوْبَ فَيَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ 

Artinya, “Rasulullah SAW telah melarang dari jual beli mulamasah dan munabadzah. Mulamasah adalah proses jual belinya dua orang dengan obyek barang terdiri dari dua baju (ada di tangan masing-masing pihak yang beraqad = masing-masing pihak membawa baju satu dan dipertukarkan) yang dilangsungkan saat malam hari (kondisi gelap), dan tiap-tiap dari kedua orang ini diperkenankan menyentuh baju yang dibawa rekanannya. Sementara jual beli munabadzah terjadi melalui saling lempar obyek barang yang dipertukarkan yang terdiri dari obyek baju, dan dengan cara itu mereka bertransaksi.” (HR An-Nasai Nomor Hadits 4517).

Alhasil, dengan mencermati pengertian pertama dan sekaligus hadits terakhir di atas, maka unsur penyusun dari bai’ munabadzah dapat diperinci sebagai berikut:

1. Ada 2 orang yang berakad jual beli.

2. Adanya shighat akad, yang terdiri dari dua mekanisme, yaitu: a) ijab-qabul, dan b) adanya melempar batu atau sejenisnya ke rombongan “obyek barang yang dibeli”. Dalam Hadits kedua di atas, hanya disebutkan saling lempar barang yang akan dipertukarkan, yang berarti hal itu terjadi dalam kondisi masing-masing pelaku tidak memeriksa barang yang dibawa oleh rekanannya dan hendak dipertukarkan. Pokok intinya ada pada saling lempar.

3. Serombongan obyek barang yang dijualbelikan atau adanya dua barang yang hendak dipertukarkan.

4. Barang yang terkena lemparan / undian, atau barang yang saling dilemparkan otomatis sebagai ganti (harga barang) dari barang lainnya yang diterima. 

Memahami konsep saling lempar ini, menyerupai praktik saat kita nonton adegan film The Godfather yang diproduksi tahun 1990 atau Scarface yang diproduksi tahun 1983, di mana adengannya digambarkan ada dua geng mafia narkoba yang sama-sama membawa barang yang hendak dipertukarkan dan dikemas dalam tas koper. Lalu, masing-masing pihak melemparkan barang itu ke arah lawan transaksinya, lalu diambil, dan kemudian pergi. Gegernya di belakang setelah tahu ternyata tidak sesuai harapan masing-masing pemimpin geng. Akhirnya terjadi kejar-mengejar dan baku tembak dengan aktor utamanya sebagai pemenang meskipun berdarah-darah.

Adapun untuk kasus munabadzah yang terdiri dari serombongan obyek barang yang dijual dan harus dikenai lemparan, maka dalam hal ini diilustrasikan sebagai ada serombongan kambing beserta pemiliknya, kemudian ada orang lain yang hendak membelinya. Terjadi kesepakatan jual beli. Tapi si pembeli bingung mau pilih kambing yang mana. Akhirnya ia mengambil kesepakatan dengan pemilik, kambing yang terkena lemparan adalah yang terbeli.

Ulama sepakat bahwa jual beli munabadzah ini hukumnya adalah haram seiring ada larangan dari Rasulillah SAW secara langsung. Namun, apa yang menjadi illat keharaman tersebut, di sini para ulama menafsilkannya. Pertama, menurut Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam Fathul Bari, juz IV halaman 420 disampaikan, illat keharaman itu adalah karena tidak melihatnya pihak lawan jual beli terhadap barang sehingga berpotensi tidak saling ridha.

أن ينبذ الرجل إلى الرجل ثوبه وينبذ الآخر بثوبه ويكون بيعهما عن غير نظر ولا تراض

Artinya, “[Munabadzah] itu adalah dua orang yang saling melemparkan baju miliknya sehingga akad jual beli keduanya tanpa disertai melihat dan saling ridha.” (Fathul Bari, juz IV halaman 420).

Istilah "tidak melihat" sehingga khawatir terbit "tidak saling ridha" ini dikategorikan sebagai illat kemajhulan (tidak diketahuinya kondisi obyek barang) dalam banyak teks fiqih klasik.

Tapi, tidak melihatnya barang itu juga terjadi pada kasus jual beli akad salam? Oleh karena itu, illat tidak mengetahui (majhul) ini setidaknya memerlukan penjelasan lebih lanjut. Jadi, apa kalau begitu? 

Tidak terbitnya saling ridha dalam konteks ketidaktahuan barang, sudah barang tentu adalah terbit disebabkan karena ketiadaan proses khiyar (opsi memilih antara pembatalan atau penerusan akad). Ketiadaan khiyar ini menjadikan kondisi saling lempar obyek jual antara penjual dan pembeli menyerupai unsur untung-untungan. Kalau beruntung, maka dapat barang bagus. Kalau lagi apes, ia mendapat barang jelek. Sifat untung-untungan ini merupakan tindakan spekulatif (maisir).

Dengan demikian, fiks sudah, jual beli munabadzah itu dilarang disebabkan unsur maisir ini, dengan ciri ketiadaan khiyar, padahal dalam satu majelis akad. Jadi, bukan semata karena lemparan kerikil saja atau tidak melihat terhadap barang.

Lantas, Apa Korelasinya dengan Jual Beli di Pasar Turunan atau Pasar Berjangka? 
Sebagaimana kita tahu, pasar turunan atau pasar berjangka itu merupakan bentuk inklusi dari pasar tradisional. Pelaku yang terlibat hampir seluruhnya merupakan wakil atau berujud sebagai instrumen. Ujud barang yang diperjualbelikan juga dirangkai dalam bentuk nilai-nilai indeks harga. Indeks ini bukan sesuatu yang tidak ada barangnya. Ada barangnya, akan tetapi dalam bentuk dijamin catatan-catatan angka. Pihak penjamin adanya barang juga sudah pasti ada karena bagaimanapun Pasar Bursa adalah terdiri dari rekaman umum pelaku pasar.

Karena indeks harga ini, senantiasa update (diperbarui) mengikuti harga pasaran produk di pasar tradisional dunia, maka indeks yang terbentuk bersifat irreversible (tidak dapat balik) dan bersifat maju terus seiring dengan detik dan waktu terus berjalan. Hal ini tampak dari mode tampilan yang disajikan oleh grafik pasar berjangka itu, dan mode tampilan ini seolah menyerupai praktik sistem lelang harga. Sekali lagi harga ini adalah harga berjamin aset, meskipun berupa aset tak langsung.

Nah, bedanya, jika sistem lelang tradisional, berlaku hukum kaidah siapa yang menawar dengan harga tertinggi, maka dia berhak selaku pemborongnya. Barang pada lelang langsung juga ada di depan mata. Sementara itu dalam trading, deal-nya harga tergantung pada wakil pembeli atau respon sistem yang pasti memiliki jangka waktu. Catatan indeks harga (berjamin aset) ada di depan mata.
 
Dari kedua model sistem lelang dan trading sama-sama disatukan dalam ketiadaan khiyar terhadap barang yang sudah berhasil dibeli. Untuk praktik jual beli sistem lelang ini, umum berlaku pada produk barang jaminan gadai dan hukumnya dipandang sah. Namun untuk trading masih diragukan. Meski demikian MUI sudah memutuskan haram karena ada unsur maisir. Alasannya, ketiadaan khiyar yang dihadapkan pada “tampilan indeks yang terus berjalan”, seolah menyerupai maisir-nya bai’ munabadzah. Permasalahannya, relasi keharaman trading ini sebenarnya terletak pada pola lelang atau karena tersimpannya unsur bai’ munabadzah?

Penting dicatat bahwa dalam trading, indeks bukan merupakan sesuatu yang tidak ada asetnya. Indeks itu juga mencatat harga produk-produk yang umum diketahui oleh masyarakat. Misalnya Minyak Bumi. Siapa yang tidak tahu minyak bumi? Semua orang pasti sudah tahu. Jadi, membeli indeks minyak bumi, hakikatnya juga membeli ujud barang yang dapat disifati (maushuf fid dzimmah). Cuma, tampilan model indeks yang tidak bisa berhenti dan balik lagi itu yang sementara waktu masih dipandang sebagai menyimpan maisir pada bai’ munabadzah.

Di sisi lain, jual beli indeks adalah bersifat dharury (pasti dibutuhkan), seiring pergerakan harga produk pada pasaran dunia ditambah perkembangan teknologi. Tidak terjun dalam pasaran dunia juga masalah bagi suatu negara. Itu pula sebabnya lahir dan berdiri Bursa Efek Indonesia (BEI) di awal kali ia berdiri. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur