Syariah

Tanaman dan Buah-buahan di Kuburan, Milik Siapa?

Sab, 28 September 2019 | 17:00 WIB

Tanaman dan Buah-buahan di Kuburan, Milik Siapa?

Ada dua jenis kuburan berdasarkan hak milik. Perbedaan ini punya konsekuensi pada perbedaan status hukum apa yang tumbuh di atasnya. (Ilustrasi: NU Online)

Dalam merawat kuburan, berbagai negara menerapkan cara yang tidak selalu seragam. Di Arab Saudi, misalnya, sebagai tanda bahwa di dalam tanah terdapat jenazah yang dikubur, orang cukup meletakkan batu kecil saja di atasnya. Tidak ada tanaman apa pun seperti lazimnya di Indonesia. 
 
Mungkin karena pengaruh kondisi alam yang cukup subur, area pemakaman yang jamak ditemukan di Indonesia ditumbuhi berbagai macam bunga, buah, bahkan pohon besar yang layak jual dengan nilai mahal.
 
Di satu daerah, tanah pemakaman yang memiliki banyak tumbuhan kamboja tak jarang menarik warga sekitar untuk memunguti bunga-bunganya, menjemurnya, lalu menjualnya ke pabrik teh setempat. Artinya, kompleks kuburan menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai secara ekonomi. Bagaimana status hukum barang-barang tersebut?
 
Perlu diketahui bahwa ada dua model pemakaman dalam fiqih. Pertama, kuburan yang telah dimiliki (mamlûkah) perseorangan, korporasi, atau perkumpulan pihak tertentu. Di Indonesia, pemakaman seperti ini cukup banyak. Jadi ada pengembang yang memang sengaja membeli tanah, lalu dikaveling-kaveling khusus untuk keperluan pemakaman. Sehingga, siapa yang mampu membeli sebidang tanah di sana, dialah yang berhak menaruh jenazah di tanah tersebut. 
 
Pengelolaan lahan dan tanaman, serta hasil bumi yang keluar dari tanah tersebut menjadi hak pemilik lahan secara pribadi. Apabila pemilik lahan melarang warga sekitar mengambil manfaat dari apa yang tumbuh di atas kuburan, maka warga sekitar tidak berhak memungut di area tersebut.
 
(قوله: فالمملوكة لمالكها) أي فأما المقبرة المملوكة فأمرها مفوض لمالكها إن عرف، فيجوز له أن يتصرف فيها بإجارة وبإعارة وبغير ذلك، لأنها ملكه
 
Artinya: “Maksud dari kalimat al-mamlûkah li mâlikihâ adalah bahwa kuburan yang dimiliki oleh pihak tertentu, maka segala urusannya diserahkan kepada pemiliknya jika memang pemiliknya diketahui secara jelas siapa orangnya. Dengan demikian, ia boleh menyewakan, meminjamkan, dan sebagainya atas tanah kuburan dan hal yang berada di sana, karena dia menjadi pemiliknya” (Abu Bakar bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, [Darul Fikr: Beirut, 1997], juz 3, halaman 216) 
 
Kedua, kuburan yang memang jelas-jelas disediakan untuk masyarakat secara luas, yang dikenal dengan istilah musabbalah atau mauqufah lil maqbarah. Pada jenis ini, masyarakat bebas mengambil buah atau bunga di pohon-pohon kuburan. Hanya saja, lebih bijak dan lebih baik apabila hasil dari tanaman yang tumbuh di atas kuburan tersebut, manfaatnya juga kembali kepada maslahat untuk kuburan, misalnya untuk membangun jalan setapak, membeli lampu, ongkos kebersihan, atau lainnya.
 
ثمر الشجر النابت بالمقبرة المباحة مباح وصرفه لمصالحها أولى
 
Artinya: “Buah dari pohon yang tumbuh di kuburan yang legal hukumnya boleh diambil. Penggunaan hasil buah atau bunga tersebut apabila digunakan untuk kemaslahatan kuburan, hukumnya lebih utama.” (Zainuddin al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibn Hazm], halaman 415) 
 
Timbul sebuah masalah, jika di sebagian daerah ada pohon besar yang mempunyai ranting-ranting besar, layak untuk bangunan rumah, apakah masyarakat tetap bebas mengambilnya? Syekh At-Thanbadawi menjelaskan, apabila tidak ada pengelolanya secara spesifik, maka pemanfaatan pohon tersebut diserahkan kepada pemerintah setempat kemudian hasilnya digunakan kemaslahatan umat Islam. 
 
وسئل العلامة الطنبداوي في شجرة نبتت بمقبرة مسبلة ولم يكن لها ثمر ينتفع به إلا أن بها أخشابا كثيرة تصلح للبناء ولم يكن لها ناظر خاص فهل للناظر العام أي القاضي بيعها وقطعها وصرف قيمتها إلى مصالح المسلمين فأجاب نعم: للقاضي في المقبرة العامة
 
Artinya: “Syekh Al-Allamah At-Thanbadawi dimintai keterangan tentang pohon yang tumbuh di kuburan umum, tapi pohon tersebut tidak mempunyai buah layak konsumsi, hanya ranting-rantingnya saja yang besar, layak dibuat bahan bangunan, sedangkan di sana tidak ada pengelola khusus (nadzir khas), apakah pemerintah berhak mengelola termasuk menjual, memotong dan membelanjakan hasilnya untuk kemaslahatan umat Islam? At-Thanbadawi menjawab ‘Ya, bagi pemerintah mempunyai hak pada hal tersebut di pemakaman yang umum’.” (Ibid)
 
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa apabila yang diambil dari tanaman di atas kuburan hanya hal remeh-temeh seperti bunga dan buah-buahan yang tidak mendapatkan larangan dari pengelola atau pemerintah, maka memungutnya diperkenankan. Namun, apabila yang tumbuh adalah pohon besar dengan nilai ekonomi yang besar maka yang berhak menjual, memotong, dan mengelola adalah pengelola atau pemerintah setempat. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang