Syariah

Transaksi E-Contract dalam Perjanjian Bisnis di Era Digital

Sen, 20 Mei 2019 | 16:00 WIB

Era sekarang adalah era digital. Hampir tiap individu masyarakat memiliki perangkat digital dan bisa melakukan relasi dengan banyak pihak hanya berbekal perangkat telepon seluler yang dimilikinya. Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama di Makassar sudah menyikapi perkembangan dan kemajuan zaman ini dengan salah satu bahasannya tentang konsep ittihâdul majlis (konsepsi dianggap tunggalnya sebuah majelis).

Jika pada akad transaksi klasik, akad harus dilakukan dengan jalan saling bertemu muka secara langsung, tapi karena keberadaan wasîlah media elektronik, hal itu bisa disikapi dengan konsep lain yang lebih ramah terhadap kemajuan. Ini adalah bukti bahwa syariat Islam adalah shalihun li kulli al-zamân wa al-makân (senantiasa sesuai dengan era dan massa). Itulah sebabnya, kali ini penulis mengangkat tema mengenai relasi e-contract sebagai wasîlah bisnis dan usaha.

E-contract atau biasa dikenal dengan istilah perjanjian elektronik, dewasa ini sangat marak dilakukan dalam bentuk transaksi bisnis era digital. Lahirnya Fintech, aplikasi dasar PPoB menjadi salah satu bagian dari e-contract. Tidak berhenti sampai di situ, e-mail sebagai soko guru utama e-contract menjadi hal yang pokok bagi terbentuknya akun e-contract. Itulah sebabnya, e-mail acap dijadikan sasaran aksi kejahatan pembobolan akun oleh pelaku kejahatan dunia digital. Maka dari itu, semakin ke sini, perlindungan terhadap e-mail dan bahkan perangkat elektronik menjadi semakin diperketat. 

Mesin pendeteksi yang dimiliki Google atau Yahoo seringkali mengirim notifikasi apabila e-mail seseorang tiba-tiba diakses oleh orang lain atau diakses sendiri dengan perangkat yang berbeda. Sebenarnya pengetatan ini bukan lahir begitu saja, melainkan sudah ada kejadian yang seringkali berulang berupa aksi pembobolan e-mail tersebut terjadi. Dari situ, banyak pelaku kejahatan bisa dengan leluasa menguras kekayaan pemilik akun, hanya berbekal akun yang diretasnya itu. Bahkan seandainya pemilik akun pernah mengakses e-contract dengan email dan turut menyertakan kartu kredit di dalamnya, maka jangan heran bila tiba-tiba kejadian ada tanggihan membengkak dari kartu kredit tersebut. 

Menyadari akan hal itu, perusahaan handphone juga sudah menyikapinya dengan menerapkan kebijakan satu handphone, satu akun. Jika handphone tersebut dijual ke orang lain, maka harus dijembatani dengan wasilah menghubungi pihak customer service (CS) yang umumnya ada di setiap kota tempat ia berada. Demikian juga dengan kartu SIM, sudah ada kebijakan dari pemerintah untuk mendaftarkan setiap kartu SIM yang dipergunakan oleh pemilik handphone. Sejatinya semua ini adalah bagan dari usaha perlindungan pengguna dalam rangka transformasi teknologi klasik ke teknologi ramah digital. 

Sesuai dengan karakter standar bisnis yang efektif dan efisien, teknologi adalah sebuah keharusan untuk diterapkan. Sudah pasti ada yang meragukan terkait dengan kekuatan hukum perjanjian elektronik ini di mata hukum positif negara. Bisa dipahami bahwa hal itu diakibatkan peralihan konsep dari fisik menuju maya dengan karakteristiknya tidak nyata secara fisik. Misalnya dalam transaksi jual beli yang semula mengharuskan tahu barang menjadi tahu spec-nya (maushûf). Ada pergeseran makna antara transaksi jahâlah (tidak mengetahui) menjadi transaksi dijamin (fi al-dzimmah). Dengan demikian, dengan e-contract ini, orang menjadi banyak beralih dari jual beli secara fisik menjadi jual beli dengan akad salam (bai' maushûfin fi al-dzimmah). Jika hal ini tidak disikapi dengan pengetatan perangkat e-contract yang dipergunakan, maka sudah pasti akan banyak transaksi gharar yang akan terjadi di belakang hari. Untuk itu, mari kita selidiki aspek perangkat hukum yang berlaku saat ini terhadap keamanan e-contract!

Dalam pembuatan e-contract, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain:

1. Dasar hukum yang secara khusus mengatur legalitas e-contract belum dimiliki oleh negara kita. Semua bentuk perjanjian dan transaksi bisnis yang melewati e-contract masih disandarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), Pasal 18 ayat 1 telah menyatakan secara tersirat bahwasanya transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik bersifat mengikat antara kedua pihak. Dengan demikian, e-comtract sifatnya diakui dan sah secara hukum.

2. Masalah yang diduga akan muncul ketika terjadi sengketa terkait perjanjian tersebut adalah berkaitan dengan mekanisme pembuktian bila hal ini tetap mengacu pada buku IV Burgerlijk Wetbook (BW), yang isinya kurang lebih adalah bahwa bukti tertulis harus berupa tulisan otentik (Pasal 1867). Nah ini yang menjadi titik lemah dari e-contract. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sifat dari e-contract adalah intangible (mudah diubah) sehingga dapat berakibat pada lemahnya validitas dokumen. Hal yang paling mendasar adalah pada aspek signature (tanda tangan), meskipun keberadaan e-signature sudah diakui secara hukum sebagaimana bunyi Pasal 72 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. 

Praktik e-signature ini sekarang marak diterapkan oleh perusahaan ekspedisi. Kadangkala ada juga sebagian dari kita menyimpannya berupa file tanda tangan sehingga dengan mudah tinggal tempal tempel ke sebuah surat e-contract. Ini adalah bagian dari fenomena yang tak bisa dipungkiri sebagai imbas teknologi. Akibatnya, kadang kedua pihak yang sedang melakukan transaksi e-contract memaksa harus mengambil sebuah kesepakatan baru, yaitu apakah tanda tangan yang dibubuhkan dalam e-contract harus berupa tanda tangan basah atau cukup dengan e-signature. Mengingat bahwa dewasa ini sudah cukup banyak alat dan perangkat lunak yang bisa digunakan untuk membuat e-signature. Buktinya mana? Buktinya adalah e-KTP anda itu sendiri atau Kartu SIM (Surat Ijin Mengemudi). Tanda tangan di atss kedua kartu itu adalah bukti e-signature.

3. Mengingat bahwa aspek peraturan dan perundang-undangan merupakan hal penting dan pokok dalam penyelesaian lewat jalur hukum, maka sudah barang tentu pilihan dari sisi yurisdiksi hukum sangatlah perlu dipertimbangkan oleh para pelaku e-contract, sehingga bila terjadi penyalahgunaannya, dapat dengan mudah untuk diusut akar masalah sengketa yang terjadi. Untuk itu, klausul hukum ini penting untuk dicantumkan dalam e-contract agar kelak di kemudian hari bisa dipergunakan sebagai dasar pijakan bila terjadi perselisihan / sengketa.

Meskipun dokumen digital masih menyisakan banyak aspek kelemahan dari sisi hukum penjaminnya, akan tetapi ditinjau dari aspek fiqih, tidak dijumpai adanya unsur yang menyebabkan diharamkannya. Justru fiqih memberikan kran yang lebar (fathu al-dzarî'ah) guna melakukan inovasi tersebut. Karena bagaimanapun, ia adalah imbas dari kemajuan zaman yang tidak bisa dihindari dan bahkan kelak bisa jadi menjadi sarana vital pergerakan dan pergeseran ekonomi. Tentu dalam hal ini, kajian fiqih perlu mengakomodir perkembangan teknologi tersebut. 

Memaksakan hukum fiqih agar senantiasa dinamis dengan perkembangan teknologi tentu merupakan hal yang sulit dan menyita tenaga, akal dan pikiran. Sudah barang tentu regulasi berbasis fiqih ini harus tetap mengacu pada prinsip dasar serta asas hukum yang berlaku di masyarakat. Outputnya, masyarakat pengguna teknologi tidak perlu takut akan keabsahan transaksi dari sisi fiqihnya, mengingat kajiannya sudah ramah teknologi. Wallâhu a'lam bish shawâb.


Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu'iyah LBMNU PWNU Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua