Syariah

Hukum Menghadiahkan Pahala Kurban untuk Orang Lain 

Sab, 25 Juli 2020 | 09:30 WIB

Hukum Menghadiahkan Pahala Kurban untuk Orang Lain 

Bagi Muslim di Tanah Air, kurban bukan semata ritual tapi juga solidaritas kepada sesama.

Hari raya kurban sebentar lagi datang menghampiri kita semua sebagai umat Muslim, sebuah bentuk syi’ar agung Islam yang di dalamnya tertanam nilai hikmah saling berbagi di antara sesama.


Problem tahunan perihal fiqih kurban selalu menarik untuk diperbincangkan, di antaranya persoalan menghadiahkan pahala kurban untuk orang lain. Tradisi di kalangan Nahdliyin ibadah kurban tidak hanya berkaitan dengan pengamalan sunnah Nabi, namun juga disertai solidaritas berbagi pahala kepada keluarga, sanak famili, dan sebagainya, baik yang masih hidup atau sudah meninggal.


Berlatar belakang rasa kasih dan cinta terhadap kerabat, seorang yang dianugerahi harta lebih ingin mengikutsertakan orang yang ia sayangi dalam pahala hewan kurbannya. Hal ini tak lain agar orang yang ia sayangi bisa mendapatkan pahala dari hewan yang ia jadikan kurban. Praktiknya semisal mudlahhi (pekurban) berkata/berdoa, “Ya Allah sampaikanlah pahala kurbanku untuk saya dan kedua orang tua saya”, “Saya sertakan anak dan istriku dalam pahala kurbanku,” dan lain-lain.


Pertanyaannya adalah, bagaimana hukum menghadiahkan pahala kurban untuk orang lain? Apakah pahalanya bisa sampai?


Syariat memberikan ketentuan kurban melihat jenis hewannya, yaitu kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang. Bila melebihi kapasitas yang telah ditentukan, semisal kurban kambing untuk dua orang, sapi untuk delapan orang, maka tidak sah. 


Persoalan menghadiahkan kurban untuk orang lain berbeda dari kurban bersama (patungan). Kurban patungan status mudlahhi-nya adalah seluruh anggota yang tergabung dalam iuran hewan kurban. Sementara perihal memberikan hadiah kurban, status mudlahhi hanya yang mengeluarkan dana, orang lain hanya diikutsertakan dalam pahala kurbannya, bukan diikutkan dalam status mudlahhi-nya. Oleh sebab itu, perihal menghadiahkan pahala kurban, tidak ada pembatasan jumlah orang yang diikutsertakan dalam pahala kurbannya mudlahhi, semisal satu orang berkurban satu ekor kambing, pahalanya dihadiahkan untuk tujuh orang keluarganya.


Oleh sebab itu, ulama menjelaskan bahwa doa Nabi saat beliau berkurban, “Ya Allah kurban ini untuk Muhammad dan umat Muhammad” konteksnya adalah menghadiahkan pahala kurban untuk orang lain, bukan mengikutkan orang lain dalam status sebagai mudlahhi.


Dalam pandangan fiqih Syafi’iyyah, menghadiahkan kurban diperinci menjadi dua bagian. Pertama, menghadiahkan pahala kurban untuk orang mati. Kedua, menghadiahkan pahala kurban untuk orang hidup.


Adapun yang pertama, ulama sepakat hukumnya boleh, dan pahala kurban bisa sampai dan didapatkan semua orang mati yang diikutsertakan dalam pahala kurban. Sementara kasus kedua, ulama berbeda pendapat. Menurut Imam al-Ramli dan Khathib al-Syarbini hukumnya diperbolehkan, pahala kurban bisa sampai dan didapatkan semua orang hidup yang diikutkan dalam pahala berkurban. Sedangkan menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, hukumnya tidak diperbolehkan. Menurut Syekh Ibnu Hajar, kebolehan menghadiahkan pahala kurban hanya berlaku untuk orang yang telah mati, sebab dianalogikan dengan kebolehan bersedekah untuk orang mati.


Syekh Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar al-Masyhur bi Ba’lawi berkata:


قال الخطيب و (م ر) وغيرهما : لو أشرك غيره في ثواب أضحيته كأن قال عني وعن فلان أو عن أهل بيتي جاز وحصل الثواب للجميع، قال ع ش ولو بعد التضحية بها عن نفسه ، لكن قيد في التحفة جواز الإشراك في الثواب بالميت قياساً على التصدق عنه ، قال بخلاف الحيّ


“Imam Al-Khathib, Imam al-Ramli dan selainnya berkata; Jika seseorang mengikutsertakan orang lain dalam pahala kurbannya seperti perkataannya “kurbanku untuk saya dan untuk si fulan atau untuk keluarga saya”, maka diperbolehkan dan pahalanya hasil untuk semuanya. Syekh Ali Syibromalisi berkata “walaupun setelah ia berkurban atas nama dirinya”. Akan tetapi Syekh Ibnu Hajar dalam kitab al-Tuhfah membatasi kebolehan menyertakan pahala kurban hanya kepada orang mati, karena disamakan dengan kasus bersedekah untuk mayit, beliau berkata; berbeda dengan orang hidup” (Syekh Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar al-Masyhur bi Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Al-Hidayah, hal. 257)


Dalam kitab al-Tuhfah disebutkan:


(و) تجزئ (الشاة) الضائنة والماعزة (عن واحد) فقط اتفاقا لا عن أكثر بل لو ذبحا عنهما شاتين مشاعتين بينهما لم يجز؛ لأن كلا لم يذبح شاة كاملة وخبر اللهم هذا عن محمد وأمة محمد محمول على التشريك في الثواب وهو جائز ومن ثم قالوا له أن يشرك غيره في ثواب أضحيته وظاهره حصول الثواب لمن أشركه وهو ظاهر إن كان ميتا قياسا على التصدق عنه


“Dan kambing domba dan kambing kacang cukup untuk satu orang saja sesuai kesepakatan ulama, tidak untuk lebih dari satu, bahkan apabila ada dua orang yang berkurban dengan dua kambing dengan kepemilikan bersama untuk mereka berdua, maka tidak diperbolehkan, karena setiap individu di antara mereka berdua tidak menyembelih satu kambing secara sempurna. Adapun hadits “Ya Allah kurban ini untuk Muhammad dan umat Muhammad” diarahkan kepada mengikutsertakan orang lain dalam pahala kurban, dan hal tersebut boleh. Oleh karenanya para ulama berkata “Bagi orang yang berkurban boleh untuk mengikutsertakan orang lain dalam pahala kurbannya. Ungkapan para ulama tersebut secara literal menyimpulkan hasilnya pahala untuk orang yang diikutsertakan, dan hal tersebut adalah pendapat yang jelas menurutku bila pihak yang diikutkan dalam pahala kurban adalah orang mati, karena dianalogikan dengan kasus bersedekah untuk mayit”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 12, hal. 255).


Dalam komentar atas referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani menjelaskan:


 (قوله: له أن يشرك غيره إلخ) أي كأن يقول أشركتك أو فلانا في ثوابها وظاهره ولو بعد نية التضحية لنفسه وهو قريب اهـ ع ش


“Perkataan Syekh Ibnu Hajar ‘boleh mengikutsertakan orang lain dst’, yakni seperti mengucapkan ‘saya mengikutsertakan kamu atau fulan dalam pahala kurban saya”, secara literal walaupun ucapan tersebut dilakukan setelah niat kurban untuk dirinya sendiri dan pendapat ini adalah pendapat yang mendekati kebenaran. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 12, hal. 255).

 

 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menghadiahkan pahala kurban untuk orang lain hukumnya diperbolehkan dan pahala bisa sampai kepadanya, sebagian ulama memutlakkan kebolehan tersebut baik untuk orang hidup dan mati, sebagian ulama membatasi hanya boleh untuk orang yang telah wafat. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


 
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
 

 


Baca juga artikel seputar kurban lainnya di Kumpulan Artikel tentang Ibadah Kurban