Hikmah

Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq Ditegur Allah

Sabtu, 17 Agustus 2019 | 13:00 WIB

Riwayat ini ditemukan dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm-nya Imam Ibnu Katsir, tepatnya ketika menjelaskan ayat 22 Surat An-Nur. Imam Ibnu Katsir merujuk pada asbabun nuzûl (latar sejarah turunnya) ayat tersebut. Allah berfirman (QS. An-Nur: 22):
 
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
 
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 
 
Dalam Tafsîr Ibnu Katsîr, ayat di atas diturunkan karena sumpah yang diucapkan Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq. Ketika itu, ia bersumpah untuk menghentikan bantuan nafkah kepada seorang kerabatnya karena terlibat menyebarkan berita bohong (hadîtsul ifki) tentang Sayyidah ‘Aisyah. Berikut riwayatnya:
 
وهذه الآية نزلت في الصديق-رضي الله عنه-حين حلف ألا ينفع مسطح بن أثاثة بنافعة بعدما قال في عائشة ما قال، كما تقدم في الحديث فلما أنزل الله براءة أم المؤمنين عائشة، وطابت النفوس المؤمنة واستقرت، وتاب الله على من كان تكلم من المؤمنين في ذلك، وأقيم الحد على من أقيم عليه-شرع تبارك وتعالى-وله الفضل والمنة-يعطف الصديق على قريبه ونسيبه، وهو مسطح بن أثاثة، فإنه كان ابن خالة الصديق، وكان مسكينا لا مال له إلا ما ينفق عليه أبو بكر-رضي الله عنه-وكان من المهاجرين في سبيل الله، وقد ولق ولقة تاب الله عليه منها، وضرب الحد عليها. وكان الصديق-رضي الله عنه-معروفا بالمعروف، له الفضل والأيادي على الأقارب والأجانب، فلما نزلت هذه الآية إلى قوله: (ألا تحبون أن يغفر الله لكم والله غفور رحيم) أي: فإن الجزاء من جنس العمل، فكما تغفر عن المذنب إليك نغفر لك، وكما تصفح نصفح عنك. فعند ذلك قال الصديق: بلى، والله إنا نحب-يا ربنا-أن تغفر لنا. ثم رجع إلى مسطح ما كان يصله من النفقة، وقال: والله لا أنزعها منه أبدا، في مقابلة ما كان قال: والله لا أنفعه بنافعة أبدا، فلهذا كان الصديق هو الصديق [رضي الله عنه وعن بنته]
 
Terjemah bebasnya seperti ini:
 
Ayat ini (QS. An-Nur: 22) diturunkan sebab (Sayyidina Abu Bakr) ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu ia bersumpah tidak akan memberi bantuan (nafkah lagi) kepada Misthah bin Utsatsah setelah ia (ikut) berkata (menyebarkan berita) tentang ‘Aisyah, sebagaimana yang diceritakan sebelumnya (lihat An-Nur: 11). Ketika Allah menunjukkan ketidak-bersalahan (kesucian) ummul mu’minin (Sayyidah) ‘Aisyah. Ia (Aisyah) merasa sangat senang dan tenteram. Allah pun mengampuni orang-orang mukmin yang ikut berkomentar (menyebarkan berita) tentang (Sayyidah Aisyah), dan menetapkan hukum dera terhadap yang layak menerimanya.
 
(Sayyidina) Abu Bakr ash-Shiddiq memiliki kelebihan (harta) dan rezeki. Ia bersimpati kepada keluarga dan kerabatnya. (Salah satunya) adalah Misthah bin ‘Utsatsah. Ia adalah anak dari bibi (Sayyidina Abu Bakr) ash-Shiddiq. Ia orang miskin, tidak memiliki harta (sedikit pun) kecuali apa yang diberikan (Sayyidina) Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu kepadanya. Ia termasuk kaum muhajirin fi sabîlillah. Allah mengampuni Misthah dari perbuatannya, dan ia didera karena perbuatannya itu.
 
(Sayyidina) Abu Bakr ash-Shiddiq dikenal sebagai orang mulia dan dermawan terhadap para kerabatnya dan orang lain (bukan kerabat). Ketika ayat ini turun sampai kalimat (QS. An-Nur: 22): “allâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum” (Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian?)
 
Maksudnya, karena sesungguhnya balasan (pahala) sesuai dengan jenis amal (yang dilakukannya), sebagaimana kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Allah pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Allah pun memaafkan (kesalahan)mu juga.
 
Seketika itu juga (Sayyidina Abu Bakr) ash-Shiddiq berkata: “Benar. Demi Allah, sungguh kami suka, wahai Tuhan kami, bila Engkau mengampuni kami.” Kemudian ia kembali memberi bantuan nafkah kapada Misthah (seperti dulu) sembari berujar: “Demi Allah, aku tidak akan mencabut (bantuanku lagi) selama-lamanya,” sebagai pengimbang perkataannya yang lalu, (yaitu ucapan): “Demi Allah, aku tidak akan memberinya bantuan lagi selama-lamanya.” Karena itulah ia, (Abu Bakr) ash-Shiddiq adalah ash-Shiddiq (orang yang sangat terpercaya). Semoga Allah meridhainya dan puterinya (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyad: Dar Thayyibah, 1999, juz 6, h. 31).
 
Dari riwayat di atas, kita bisa mengambil dua poin penting. Pertama, pelajaran bahwa sebesar apa pun kesalahan seseorang, memaafkan jauh lebih baik daripada menyimpan dendam. Orang yang memaafkan, akan mendapatkan peluang dimaafkan lebih besar dari sesamanya ketika ia berbuat salah. Karena itu Allah mengajukan pertanyaan (QS. An-Nur: 22): “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” 
 
Pertanyaan ini dijelaskan secara berkait dalam tafsir Ibnu Katsir di atas, yaitu: “kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Allah pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Allah pun memaafkan (kesalahan)mu juga.” Di sini kita bisa melihat kesinambungan. 
 
Penjelasannya begini, bagi orang yang beriman, tidak ada seorang pun yang tidak suka mendapatkan ampunan Allah. Semua orang mengharapkan ampunan-Nya. Artinya kita telah mengalami sendiri perasaan itu, hanya saja mungkin hati kita masih kurang tajam dalam merasa. Karena seharusnya orang yang pernah mengalami tahu bagaimana susahnya memendam rasa bersalah; tahu bagaimana beratnya penantian dimaafkan. Apalagi jika orang tersebut benar-benar merasa bersalah dan meminta maaf seperti kasus Misthah bin Utsatsah di atas.
 
Karena itu, Allah mengajukan pertanyaan tersebut. Berhubung Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq memiliki keluasan perasaan dan kecerdasan hati, ia langsung paham maksud ayat tersebut. Ia mencabut sumpahnya dan kembali memberi bantuan nafkah untuk Misthah bin Utsatsah. Padahal kesalahan yang dilakukan Misthah bukan kesalahan biasa. Ia ikut menyebarkan fitnah tentang Sayyidah Aisyah, puteri kesayangan Abu Bakr ash-Shiddiq. 
 
Kekecewaan Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq tentu dapat dipahami, karena orang yang selama ini dibantunya ikut terlibat dalam penyebaran fitnah keji atas puterinya, apalagi Misthah adalah kerabatnya, anak bibinya (sepepunya). Meski demikian, dengan kelapangan hati ia mencabut sumpahnya setelah mendengar firman Allah. 
 
Ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk dimaafkan, sebagaimana setiap orang punya keinginan diampuni segala dosanya oleh Allah. Akan sangat tidak adil jika orang yang merindukan pengampunan Tuhan, menutup diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Itu artinya ia telah gagal mengaplikasikan pengalaman nyatanya (hasrat diampuni) ke dalam dirinya. Padahal dalam hasrat itu terdapat pelajaran yang sangat besar. Singkatnya, keinginan diampuni harus berbanding lurus dengan keinginan mengampuni.
 
Kedua, semarah apa pun seseorang, jangan sampai kemarahan tersebut menghalanginya membantu orang yang membutuhkan. Karena itu Allah berfirman (QS. An-Nur: 22): “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.”
 
Artinya, dalam konteks membantu orang lain, Allah menghendaki kita untuk melihat keadaannya (miskin/kurang mampu). Jangan melihat mereka dari kesalahan yang mereka perbuat kepada kita. Bahkan Allah memerintahkan kita untuk berlapang dada memaafkan mereka. Inilah yang kemudian ditampilkan Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq hingga ia berjanji tidak akan menghentikan bantuannya lagi selama-lamanya. Maka, pantas saja di akhir riwayat dikatakan, “fa lihadza kâna al-shiddîq huwa al-shiddîq” (karena inilah Abu Bakr ash-Shiddiq adalah ash-Shiddiq—orang yang sangat terpercaya), yaitu orang yang selalu menjalankan apa yang dikatakannya. 
 
Wallahu a’lam bish shawwab...
 
 
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.