Hikmah

Ketika Raja Harun ar-Rasyid Kalah dari Rakyatnya

Ahad, 7 November 2021 | 16:30 WIB

Ketika Raja Harun ar-Rasyid Kalah dari Rakyatnya

Ketika Raja Harun ar-Rasyid Kalah dari Rakyatnya. (Ilustrasi)

Sebuah pelajaran penting dialami Raja Harun ar-Rasyid ketika ia menunaikan ibadah haji. Salah satu pemimpin Abbasyiyah pada abad ketujuh ini sempat dibuat jengkel oleh tingkah seorang pemuda kampung (A’rabi atau Badui). Pemuda berpenampilan sederhana dan lebih mirip dengan budak sahaya itu selalu mendahului Raja Harun ar-Rasyid. Padahal, sebelumnya sang raja telah memberikan peringatan bahwa selama ia melakukan ibadah haji, tidak boleh ada seorang pun yang mendahuluinya.

 

Pengawal raja dengan sigap langsung melarang orang yang berpakaian sederhana itu, namun dengan tenang ia menjawab, bahwa Allah tidak membedakan derajat seorang raja dan rakyat di tempat ini. Kemudian ia membacakan ayat Al-Qur’an yang berbunyi,

 

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِيْ جَعَلْنٰهُ لِلنَّاسِ سَوَاۤءً ۨالْعَاكِفُ فِيْهِ وَالْبَادِۗ وَمَنْ يُّرِدْ فِيْهِ بِاِلْحَادٍۢ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ

 

Artinya: “Sungguh, orang-orang kafir dan yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan dari Masjidil Haram yang telah Kami jadikan terbuka untuk semua manusia, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih” (QS Al-Hajj [22]: 25).

 

Mendengar jawaban A’rabi, Raja Harun langsung melarang pengawalnya untuk menghalanginya melakukan ibadah. Sang raja menyuruh pengawal untuk membiarkannya beribadah sesuai dengan keinginannya sendiri, baik mendahului atau tidak.

 

Selanjutnya, Raja Harun hendak mengusap dan menyentuh Hajar Aswad, namun orang A’rabi yang tidak dikenal itu mendahuluinya lagi. Sang raja hendak melakukan shalat di Hijir Ismail, namun lagi-lagi ia mendahului Raja. Dan benar saja, semua ibadah yang hendak dilakukan Raja Harun di dalam Ka’bah didahului olehnya.

 

Setelah Raja selesai melakukan shalat, ia menyuruh pengawalnya memanggil A’rabi untuk menjawab beberapa pertanyaan yang akan diajukan oleh Raja. Sejatinya, Raja Harun penasaran akan sosok lelaki dengan pakaian sederhana itu. Akan tetapi, ketika pengawal memanggilnya, ia justru tidak mau memenuhi panggilan raja, bahkan ia menyuruh pengawalnya untuk memanggil rajanya. Sebab, analogi sang A’rabi, orang yang butuh seharusnya mendatangi bukan malah didatangi.

 

Lagi-lagi Raja Harun harus tunduk di bawah aturan rakyatnya sendiri. Setelah raja mendatanginya, ia mengatakan, “Wahai A’rabi, saya hendak menanyakan perihal kefardhuan kepadamu. Jika engkau bisa menjawab maka engkau orang yang hebat. Namun jika tidak, engkau orang yang lemah akan pengetahuan.”

 

Sebelum A’rabi menjawab, ia justru menanyakan kepadanya, “Engkau bertanya perihal fardhu yang mana? Fardhu satu, lima, tujuh belas, tiga puluh empat, sembilan puluh empat, atau satu fardhu seumur hidup, atau satu fardhu dari dua belas, satu fardhu dari empat puluh atau lima fardhu dari dua ratus?”

 

Mendengar pertanyaan A’rabi, Raja Harun dan semua pengawal saat itu justru tertawa berbahak-bahak. Menurutnya, ia hanyalah omong kosong karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Setelah itu, Raja mengancamnya apabila tidak bisa mempertanggungjawabkan pertanyaan yang ia ajukan.

 

Dengan tenang A’rabi menjawab, “Wahai Harun (tanpa menyebutkan raja), yang dimaksud pertanyaan saya di atas, yang saya kehendaki dengan satu fardhu adalah agama Islam, lima fardhu adalah shalat lima waktu, tujuh belas adalah rakaat shalat fardhu, tiga puluh empat adalah sujud dalam shalat fardhu, sembilan puluh empat adalah takbir, tahmid, tasmi’, tasbih, permohonan ampunan dalam shalat (mengikuti pendapat ulama yang mengatakan bahwa takbir bagian dari rukun, seperti Imam Ahmad), yang dimaksud satu fardhu seumur hidup adalah haji, satu dari dua belas adalah bulan Ramadhan, satu dari empat puluh adalah zakat emas dan perak dari empat puluh dinar, lima dari dua ratus adalah lima dirham emas dari dua ratus dirham.”

 

Mendengar jawabannya yang begitu detail dan terperinci, Raja Harun bersimpuh malu di hadapannya, kemudian mempersilakan A’rabi untuk bertanya kepadanya.

 

A’rabi kemudian bertanya, “Bagaimana pendapatmu perihal laki-laki yang haram melihat wanita di waktu Dhuhur, ketika waktu Ashar halal melihatnya, dan haram kembali ketika waktu Maghrib, halal ketika waktu Isya’, namun haram ketika waktu Subuh dan kembali halal di waktu Dhuhur?”

 

Pertanyaan yang disampaikan A’rabi kepada Raja Harun ternyata membuatnya sadar, bahwa ia tidak memiliki pengetahuan sedikit pun di hadapannya. Dan benar saja, sang raja sama sekali tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut.

 

Sang A’rabi kemudian menasihati Raja Harun disebabkan ketidaktahuan jawaban atas pertanyaan yang disampaikannya, “Engkau adalah seorang raja, tidak sepatutnya tidak bisa menjawab suatu permasalahan, apalagi pertanyaan orang desa yang tidak memiliki kuasa apa pun, dan pertanyaannya sangat gampang.”

 

Raja Harun kemudian mengatakan, “Semoga Allah meninggikan derajatmu dalam ilmu pengetahuan. Saya memohon untuk berkenan menjelaskan pertanyaan tersebut.”

 

Sebelum A’rabi menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang disampaikan pada raja, terlebih dahulu ia bersedia dengan syarat Raja Harun akan bersikap penyayang kepada fakir miskin, tidak menghina mereka, dan mengasihi orang tua. Alhasil, Raja Harun bersedia dengan syarat tersebut. Kemudian sang A’rabi menjelaskan,

 

“Lelaki tersebut haram melihat wanita yang bukan mahram pada waktu Dhuhur. Ketika waktu Ashar masuk, ia menikahinya sehingga halal untuk melihatnya. Namun, ketika memasuki waktu Maghrib, ia manalaknya sehingga haram untuk melihatnya. Memasuki waktu Maghrib ia merujuknya, tentu halal kembali baginya, ketika waktu Subuh masuk ia melakukan talak dhihar kepadanya, dan haram kembali, namun ketika memasuki waktu Dzuhur, lelaki tersebut membayar kafarat (denda) talak dhihar, sehingga kembali halal untuk melihatnya.”

 

 

Mendengar penjelasannya yang sangat jelas dan memahamkan, Raja Harun tentu merasa berguru dan sangat berutang budi kepada A’rabi. Sebagai ungkapan terima kasih, ia hendak memberikan pembantu yang akan melayaninya seumur hidup, ditambah dengan harta yang sangat banyak. Akan tetapi dengan kezuhudan dan ketakwaannya, ia menolak semua pemberian tersebut, dan menyuruh untuk memberikan kepada fakir miskin saja.

 

Melihat kealiman dan ketakwaannya yang sangat tinggi, tentu membuat Raja Harun penasaran perihal siapa sosok yang dia ajak bicara sebenarnya, dengan penuh hormat sang raja menanyakan keluarga A’rabi dan tanah kelahirannya.

 

Ternyata, lelaki yang berpenampilan seperti budak sahaya, jauh dari kata sempurna itu, adalah Sayyid Musa ar-Radhi bin Sayyid Ja’far Shadiq bin Sayyid Muhammad Baqir bin Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali suami Sayyidah Fatimah Az-Zahrah binti Rasulillah saw.

 

Spontan Raja Harun langsung memeluk dan mencium tangannya. Ia tidak sadar bahwa di hadapannya merupakan cucu Rasulullah yang berpenampilan layaknya budak sahaya karena tidak terlena dengan gemerlapnya dunia.

 

Kisah ini dicatat oleh Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani dalam salah satu kitab karangannya yang berjudul, “Bahjatul Wasa-il bi Syarhil Masa-il alar Risalah al-Jami’ah” halaman 4-5.

 

Kisah ini memberikan sebuah pelajaran bahwa tidak ada salahnya seorang rakyat mematahkan argumentasi rajanya, sepanjang argumentasi yang disampaikan sesuai dengan undang-undang, tidak anarkis, dan sesuai dengan aturan. Sebab, kebenaran bukanlah monopoli orang-orang atas dan kesalahan bukan monopoli orang bawah.

 

 

Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.