Hikmah

Sejarah Kelompok Khawarij (6-Habis): Ringkasan Nalar Khawarij

Rab, 8 Mei 2019 | 10:00 WIB

Sejarah Kelompok Khawarij (6-Habis): Ringkasan Nalar Khawarij

Ilustrasi (via ok.ru)

Pada artikel sebelumnya telah dibahas sejarah singkat para Khawarij mulai dari embrionya hingga perkembangan dan perpecahannya. Saat ini sebagai penutup serial Khawarij ini, penulis ingin meringkas tentang bagaimana pola pikir para Khawarij tersebut hingga mereka menjadi ekstremis dalam tubuh umat Islam.

1. Sangat tekun beribadah tanpa dibarengi dengan pemahaman yang baik.

Ketekunan Khawarij dalam beribadah secara ekstrem membuat bekas secara fisik. Abdullah bin Abbas menceritakan kondisi mereka ketika ia menemuinya sebagai berikut:

فدخلت عَلَى قوم لم أر قط أشد منهم اجتهادا جباههم قرحة من السجود وأياديهم كأنها ثفن الإبل وعليهم قمص مرحضة مشمرين مسهمة وجوههم من السهر

“Maka aku memasuki suatu kaum yang belum pernah aku lihat hebatnya mereka dalam beribadah. Dahi mereka menghitam karena sujud. Tangan-tangan mereka kasar seperti lutut onta. Mereka memakai gamis yang murah dan kumal. Wajah mereka pucat karena begadang ibadah di waktu malam.” (Ibnul Jauzi, TalbîsIblîs, 83)

Ibadah luar biasa itu sayangnya tak diimbangi dengan pemahaman yang baik terhadap ajaran islam. Akhirnya mereka merasa lebih adil dari Rasulullah seperti dilakukan Dzul Khuwaishirah, merasa berhak membunuh Khalifah Utsman serta merasa jauh lebih mengerti Al-Qur’an dibandingkan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang tak lain adalah mujtahid dari kalangan sahabat Nabi, dan lebih alim dibandingkan seluruh sahabat Rasulullah.

2. Merasa siapa pun yang menentang mereka sebagai penentang kitabullah. 

Khawarij hampir selalu berpedoman pada ayat Al-Qur’an dalam tindakan mereka, tetapi ayat tersebut dipahami secara dangkal sehingga mereka sama sekali tak membuka ruang untuk penafsiran yang berbeda yang sebenarnya justru merupakan penafsiran yang tepat. Misalnya, ketika melakukan pemberontakan pada penguasa, mereka membawa ayat-ayat tentang amar ma’ruf nahi munkar. Ketika mengajak pada arbitrase, mereka memakai ayat yang mengajak kembali pada Al-Qur’an. Ketika menolak hasil arbitrase, mereka menyalahkan kedua kubu sebab mengangkat manusia sebagai hakim, bukan menjadikan Al-Qur’an sebagai hakim. Padahal perintah arbitrase (mengangkat hakam) juga ada dalam Al-Qur’an. Wajar saja mereka selalu membawa-bawa Al-Qur’an sebagai lebitimasi sebab Ibnu Katsir mengatakan bahwa Khawarij pertama yang bermarkas di Harura’ terdiri dari 8.000 orang yang ahli membaca Al-Qur’an (qurrâ’ an-nâs). (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, X, 565). 

Sayangnya mereka hanya pandai membaca Al-Qur’an tetapi tak mampu memahami maknanya dengan benar sehingga Al-Qur’an yang seharusnya menjadi inspirasi persatuan justru dijadikan propaganda perpecahan. Fenomena ini pernah diramalkan sejak masa sahabat awal seperti terlihat dalam dialog Umar bin Khattab dengan Ibnu Abbas berikut:

وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخُطَّابِ لِابْنِ عَبَّاسٍ: كَيْفَ يَخْتَلِفُونَ وَإِلَهُهُمْ وَاحِدٌ وَقَبِيلَتُهُمْ وَاحِدَةٌ؟ فَقَالَ: إِنَّهُ سَيَجِيئُ قَوْمٌ لَا يَفْهَمُونَ الْقُرْآنَ كَمَا نَفْهَمُ فَيَخْتَلِفُونَ فِيهِ، فَإِذَا اخْتَلَفُوا اقْتَتَلُوا.

“Umar bin Khattab berkata pada Ibnu Abbas: Bagaimanakah kaum muslimin bisa terpecah belah sedangkan Tuhan mereka satu dan kiblat mereka pun satu? Ibnu Abbas menjawab: Sesungguhnya akan datang suatu kaum yang tak memahami Al-Qur’an seperti bagaimana kita memahaminya sehingga mereka saling berbeda pendapat. Bila telah berbeda pendapat, maka mereka saling berperang”. (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, X, 553). 

Karena secara gegabah merasa dirinya sebagai representasi Al-Qur’an, maka secara otomatis siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka dianggap menentang Al-Qur’an itu sendiri. Akhirnya, vonis kafir, musyrik dan halal dibunuh secara mudah keluar dari mereka pada siapa pun yang berbeda, tak terkecuali kalangan internal mereka sendiri.

3. Mencela kaum muslimin dengan ayat-ayat yang sebenarnya ditujukan pada non-muslim.

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits tentang komentar sahabat Ibnu Umar kepada Khawarij sebagai berikut:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ، وَقَالَ: إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الكُفَّارِ، فَجَعَلُوهَا عَلَى المُؤْمِنِينَ

“Ibnu Umar menganggap mereka adalah makhluk Allah yang buruk. Ia berkata: Para Khawarij mengambil ayat-ayat yang turun mencela orang kafir, lalu mereka terapkan itu pada kaum mukminin.” (HR. Bukhari)

Mereka tak mampu membedakan bagaimana sikap seorang mukmin terhadap mukmin lainnya dan kepada orang kafir yang memang selalu memerangi umat Islam saat itu. Bagi mereka, semua orang dianggap memerangi umat Islam sebab mereka sendiri umat Islam itu sendiri hanya kelompok mereka saja.

4. Meragukan keislaman orang lain sehingga gemar memberikan ujian.

Di antara ciri khas Khawarij adalah merasa paling Islam dan paling beriman dari muslim di luar golongan mereka. Hal itu membuat mereka gemar menguji keimanan orang lain dengan beberapa pertanyaan. Imam Ibnu Sirin berkata:

سؤالُ الرجل أخاه: أمؤمنٌ أنت؟ محنة بدعة، كما يمتحن الخوارج

“Pertanyaan seseorang pada saudaranya “Apakah kamu seorang mukmin?” adalah ujian yang bid’ah seperti halnya para Khawarij yang gemar memberikan ujian”. (al-Lalika’i, Syarh Ushûl I’tiqâd Ahli as-Sunnah, V, 1060)

5. Mewajibkan pemberontakan pada penguasa karena berbeda pandangan.

Meskipun Khawarij terpecah menjadi banyak faksi, namun di antara ajaran universal mereka adalah wajib memberontak pada penguasa yang mereka anggap menyalahi sunnah. Asy-Syahrastani menerangkan perihal ini sebagai berikut:

ويجمعهم القول بالتبري من عثمان وعلي رضي الله عنهما، ويقدمون ذلك على كل طاعة، ولا يصححون المناكحات إلا على ذلك، ويكفرون أصحاب الكبائر ويرون الخروج على الإمام إذا خالف السنة حقا واجبا.

“Mereka semua dikumpulkan dalam satu pendapat yang sama: dengan berlepas dari Utsman dan Ali radiyallahu ‘anhuma, mendahulukan hal tersebut dari semua ketaatan, tidak menganggap sah sebuah pernikahan kecuali atas berlepas diri itu, mengafirkan pelaku dosa besar dan menganggap memberontak pada Imam ketika berlawanan dengan sunnah sebagai suatu kebenaran yang wajib dilakukan.” (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, I, 115).

Sedangkan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, memberontak pada penguasa adalah haram selama penguasa tersebut tak menampakkan kekafiran yang nyata. Hal ini berdasarkan hadits:

فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Ubadah melanjutkan; di antara janji yang beliau ambil dari kami adalah, agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat, saat giat maupun malas, dan saat kesulitan maupun kesusahan, lebih mementingkan urusan bersama, serta agar kami tidak mencabut wewenang dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang pada kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah.” (HR. Bukhari)

Bahkan penguasa yang zalim dan korup sekalipun dianggap masih lebih baik daripada terjadi pertumpahan darah (fitnah) yang berlangsung lama. Sahabat Nabi Amr bin Ash berkata pada putranya:

يا بني سلطان عادل خير من مطر وابل وأسد حطوم خير من سلطان ظلوم وسلطان غشوم ظلوم خير من فتنة تدوم

“Hai Nak, penguasa yang adil itu lebih baik dari hujan yang turun deras, singa menerkamitu lebih baik dari penguasa yang zalim, penguasa zalim masih lebih baik dari pertumpahan darah yang berkepanjangan.” (Ibnu Asakir, Târîkh Dimasyq, XLVI, 184).

Demikian akhir ulasan sejarah Khawarij ini. Semoga kita bisa memetik pelajaran darinya. Wallahua’lam.


Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.