Hikmah

Sejarah Kelompok Khawarij (4): Pemberontakan terhadap Sayyidina Ali

Sen, 6 Mei 2019 | 17:00 WIB

Pasca terbunuhnya Khalifah Utsman di rumahnya sendiri akibat ulah Khawarij, sebagaimana diceritakan dalam artikel sebelumnya, kaum Muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Secara umum, Ali dianggap sebagai al-khulafâ’ ar-râsyidîn terakhir yang secara de jure merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi seluruh umat Islam.

Namun demikian, secara de facto, kekuasaan Ali tak pernah mencakup wilayah Syam, daerah yang sudah lama dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Muhammad Khaldun, Ta’addudal-Khulafâ’ wa Wahdatal-Ummah Fiqhanwa Târîkhanwa Mustaqbalan, 74). Hal ini disebabkan oleh tindakan Mu’awiyah yang menuntut Khalifah Ali agar menghukum para Khawarij yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. 

Gagalnya kubu Khalifah Ali dengan kubu Mu’awiyah untuk mencapai kesepakatan akhirnya menimbulkan perang saudara yang dikenal sebagai perang Shiffin. Perang besar antar sesama kaum muslimin ini bisa dibilang imbang sehingga hanya menyebabkan korban besar berjatuhan dari kedua kubu. Akhirnya atas inisiatif Amr bin Ash, pasukan dari Syam yang berada di kubu Mu’awiyah mengangkat mushaf di ujung tombaknya dan berkata:

هَذَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ قَدْ فَنِيَ النَّاسُ فَمَنْ لِلثِّغُورِ؟ وَمَنْ لِجِهَادِ الْمُشْرِكِينَ وَالْكُفَّارِ

“Inilah yang terjadi di antara kita; Orang-orang telah terbunuh. Maka siapa yang menjaga pos pertahanan? Siapa yang akan berjihad melawan kaum musyrik dan orang kafir?” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, VII, 272)

Gayung pun bersambut, pasukan dari Iraq di kubu Ali mengiyakan ajakan arbitrase tersebut meskipun Khalifah Ali tegas menolak gagasan tersebut. Bagi Khalifah Ali, seruan arbitrase tak lebih dari siasat perang dari kubu Mu’awiyah dan Amr. Baginya, justru perang itu sendiri dilakukan untuk menegakkan hukum Allah yang dilanggar oleh Mu’awiyah dan sekutunya dengan pemberontakan mereka. Namun, sebagaimana diceritakan Ibnu Katsir, para penghafal Al-Qur’an (qurrâ’) melawan khalifah Ali dan bahkan mengancamnya sebagai berikut:

فَقَالَ لَهُ مسعر بن فدكي التميمي وزيد بن حصين الطائي ثم السبائى فِي عِصَابَةٍ مَعَهُمَا مِنَ الْقُرَّاءِ الَّذِينَ صَارُوا بَعْدَ ذَلِكَ خَوَارِجَ، يَا عَلِيُّ أَجِبْ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ إِذْ دُعِيتَ إِلَيْهِ وَإِلَّا دَفَعْنَاكَ بَرُمَّتِكَ إِلَى الْقَوْمِ أَوْ نَفْعَلُ بِكَ مَا فعلنا بابن عفان، إنه غلبنا أن يعمل بكتاب الله فقتلناه، وَاللَّهِ لَتَفْعَلَنَّهَا أَوْ لَنَفْعَلَنَّهَا بِكَ

“Mus’in bin Fadakiat-Tamimi dan Zaid bin Hushainat-Tha’i as-Siba’i dan kelompoknya masing-masing, dari kalangan para penghafal Al-Qur’an yang dikemudian hari menjadi Khawarij, berkata: “Hai Ali Terimalah kita berlima Ketika engkau diajak kepadanya. Kalau tidak, kami akan menyerahkanmu seutuhnya kepada musuh atau kami akan melakukan kepadamu apa yang telah kami lakukan kepada Utsman bin Affan. Dahulu Utsman menolak kami untuk beramal dengan kitabullah sehingga kami membunuhnya. Demi Allah kami akan menyerahkanmu atau membunuhmu.” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, VII, 273)

Selang beberapa lama, ketika Khalifah Ali hendak mengutus Abu Musa al-Asy’ari atas desakan mereka, ada dua orang Khawarij bernama Zur'ah bin al-Barajat-Tha'i dan Hurqush bin Zuhair as-Sa'di mendatanginya yang berusaha membatalkan arbitrase. Terjadilah dialog sebagaimana diceritakan oleh at-Thabari berikut:

Keduanya berkata pada Ali: "Tidak ada hukum kecuali milik Allah.”

"Tidak ada hukum kecuali milik Allah," kata Ali.

"Bertobatlah engkau dari kesalahanmu dan cabut kembali keputusanmu dan keluarlah bersama kami kepada musuh kita untuk kita perangi sampai kita bertemu dengan Tuhan," kata Hurqush.

Ali menjawab: "Aku sudah berkehendak seperti itu tetapi kalian membangkang terhadapku dan sekarang kita telah mengadakan perjanjian antara kita dengan mereka, telah mensyaratkan beberapa syarat dan kita pun telah berjanji beberapa hal. Allah telah berfirman: "Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamuperbuat."

Hurqush berkata: "Itulah dosa yang mesti engkau tobati."

Ali menjawab: "Itu bukan dosa melainkan ketidakmampuan berpikir dan kelemahan dalam bertindak. Aku sudah membahas itu dan melarangnya sebelumnya".

Kemudian Zur'ah bin al-Barajberkata: "Demi Allah, wahai Ali! Apabila engkau tak meninggalkan mengangkat hakim atas kitabullah, maka aku akan memerangimu. Dengan hal itu aku akan mencari keridhaan Allah." (at-Thabari, Tarikh at-Thabari, V, 72)

Namun Khalifah Ali tetap melanjutkan arbitrase sebab telah ada perjanjian yang disetujui kedua belah pihak. Kemudian terjadilah arbitrase yang ternyata menghasilkan keputusan untuk mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah berikutnya. (As-Suyuthi, Târîkhal-Khulafâ’, 15). Melihat kenyataan itu, kaum Khawarij lagi-lagi tak menepati komitmen mereka. Mereka menolak hasil arbitrase dan memerangi semua pihak yang kemudian menerima hasil tersebut yang sejatinya adalah desakan mereka sendiri. Imam Abu Musa al-Asy’ari menceritakan perkataan mereka kepada Sayyidina Ali sebagai berikut:

وقالوا: قال الله تعالى: فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله ولم يقل حاكموهم وهم البغاة فإن عدت إلى قتالهم وأقررت على نفسك بالكفر إذ أجبتهم إلى التحكيم وإلا نابذناك وقاتلناك

“Mereka berkata: “Allah berfirman ‘hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah’, bukan berfirman maka angkatlah hakam, padahal mereka adalah pemberontak. Kamu harus kembali memerangi mereka dan mengaku telah kafir ketika kamu menyetujui arbitrase. Bila tidak, maka kami akan menurunkanmu dan memerangimu.” (Abu Musa al-Asy’ari, Maqâlâtal-Asy’âriyyîn, 4)
Puncak aksi Khawarij itu adalah majunya seorang Khawarij bernama Abdullah bin Muljam untuk membunuh Sayyidina Ali. Ia menyerang Ali yang hendak shalat subuh dan berhasil melukai dahi beliau hingga parah dan akhirnya meninggal. Ketika dieksekusi, Ibnu Muljam sama sekali tak mengeluh sakit ketika kedua tangan dan kakinya dimutilasi dan matanya ditusuk. Ia malah membaca Surat al-‘Alaq hingga khatam. Kemudian tatkala lidahnya hendak dipotong, barulah ia mengeluh lantaran merasa sedih tak bisa mati dalam keadaan berdzikir pada Allah. Dahi Ibnu Muljam terlihat hitam sebab banyak sujud. (Ibnul Jauzi, TalbîsIblîs, 85). Bagi para Khawarij lainnya, Ibnu Muljam bagaikan sosok pahlawan. Mereka memuji aksi Ibnu Muljam tersebut dan menganggapnya sebagai orang yang menjual dirinya sendiri demi menggapai ridha Allah. (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, I, 120).

Dari kejadian tersebut nampak sekali bahwa Al-Qur’an bagi Khawarij hanya menjadi tameng bagi nafsu politiknya saja. Mereka memaksa agar Khalifah Ali menerima arbitrase atas nama al-Qur’an tetapi memaksa beliau mengurungkan dan menolak hasil arbitrase juga atas nama al-Qur’an. Semuanya disertai ancaman bunuh sebab bagi mereka penentang pendapat mereka sudah kafir. Dalam nalar mereka, tindakan seperti itu adalah perjuangan yang bisa menghasilkan ridha Allah. Mereka sama sekali tak berpikir bahwa Khalifah Ali yang mereka lawan jauh lebih memahami al-Qur’an dari mereka. Mereka juga lupa bahwa para sahabat yang mereka kafirkan jauh lebih layak merepresentasikan ajaran kitabullah daripada mereka. 

Ketika penafsiran ulama ahli ilmu tentang al-Qur’an dianggap sesat oleh orang-orang yang hanya tekun beribadah saja namun tak menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an, ketika orang-orang awam sudah merasa kelompoknya sebagai satu-satunya representasi al-Qur’an, ketika vonis kafir dengan mudahnya muncul sebab perbedaan ijtihad politik, maka saat itulah nalar Khawarij nampak. Itulah nalar-nalar Khawarij yang layak diwaspadai keberadaannya di setiap masa. 

Bersambung...

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.