Ilmu Al-Qur'an

Etika Khataman Al-Qur’an

Sab, 10 Juli 2021 | 05:00 WIB

Etika Khataman Al-Qur’an

Khataman adalah perbuatan yang baik. Akan lebih baik bila dilakukan dalam waktu dan kondisi yang baik. 

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sebuah prestasi yang sangat mulia dan hanya mampu dilakukan oleh mereka yang memiliki kesungguhan dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. 


Pada masa terdahulu, banyak dijumpai orang-orang saleh yang istiqamah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap bulan bahkan setiap minggu. Seperti Sahabat Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Said bin Jubair, Imam Syafi’i, Imam Hamzah, dll.


Mengkhatamkan Al-Qur’an, artinya mampu menuntaskan bacaan Al-Qur’an dari setiap deretan huruf demi huruf, kalimat demi kalimat, ayat demi ayat hingga tuntas dari awal surat al-Fatihah hingga surah an-Nas. 

 


Ketika seseorang ingin mengkhatamkan Al-Qur’an, maka sebaiknya ia memperhatikan beberapa etika dan tata cara yang baik, di antaranya adalah:


Pertama, pemilihan waktu. Adapun waktu yang baik untuk mengkhatamkan Al-Qur’an adalah ketika shalat. Bila seseorang hendak mengkhatamkan Al-Qur’an di pagi hari maka sebaiknya dilakukan ketika shalat sunnah fajar, dan bila hendak mengkhatamkan Al-Qur’an pada malam hari maka sebaiknya dilakukan ketika shalat sunnah bakdiyah Maghrib. Namun, sebagian ulama menegaskan bahwa mengkhatamkan Al-Qur’an ketika shalat sunnah fajar adalah lebih baik. 


Sementara itu, apabila ingin mengkhatamkan Al-Qur’an di luar waktu shalat atau apabila khataman dilaksanakan secara berjamaah, maka sebaiknya dilakukan pada awal hari atau di awal malam. 


Imam Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan bahwa apabila seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an tepat pada awal malam, maka para Malaikat mendoakannya sampai pagi, pun demikian bila seorang mengkhatamkan Al-Qur’an tepat pada awal hari, maka para Malaikat mendoakannya sampai sore. Menurut Imam Ghazali, yang dimaksud dengan awal hari adalah waktu dilaksanakannya dua rakaat shalat sunnah fajar, dan yang dimaksud dengan awal malam adalah ketika pelaksanaan shalat sunnah bakdiyah Mahgrib.


Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz 1, halaman 187 mengatakan bahwa dianjurkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari atau malam hari Jumat, jika dilakukan pada siang hari maka sebaiknya dilakukan pada saat shalat sunnah fajar dan jika dilakukan pada malam hari, maka sebaiknya dilakukan pada saat sunnah bakdiyah Mahgrib atau diantara adzan dan iqamah. Karena mengkhatamkan pada hari atau malam Jumat memiliki keutamaan yang besar.


Lebih lanjut Imam Ghazali dalam karyanya di atas (1/276) mengatakan bahwa yang paling utama adalah khataman Al-Qur’an itu dilakukan bergilir; di suatu waktu dilakukan pada siang hari dan suatu waktu dilakukan di malam hari. Jika khataman Al-Qur’an itu dilakukan pada siang hari, maka sebaiknya dilakukan saat shalat sunnah fajar atau setelahnya pada hari senin. Namun jika khataman itu dilakukan pada malam hari, maka sebaiknya dilakukan pada saat shalat sunnah bakdiyah maghrib malam Jumat.


Kedua, berpuasa saat hari khataman kecuali jika berbenturan dengan hari yang dilarang berpuasa, maka tidak dianjurkan berpuasa. Tradisi puasa ini merupakan “lelampah” para ulama tabi’in, seperti Thalhah bin Mushrif, Habib bin Abi Tsabit dan al-Musayyib bin Rafi’. Mereka semua berpuasa di hari khataman Al-Qur’an.


Ketiga, disunnahkan menghadiri majelis khataman Al-Qur’an. Hal ini merupakan tradisi yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. 


Diceritakan bahwa ketika sahabat Anas akan mengkhatamkan Al-Qur’an, beliau mengajak keluarganya untuk berdoa bersama, sebab doa yang dipanjatkan setelah khataman Al-Qur’an termasuk doa yang mustajab.


Demikian pula Ibnu Abbas, beliau mempunyai antusias yang besar untuk menghadiri majelis khataman Al-Qur’an. Diceritakan bahwa Ibnu Abbas (w. 68 H) mengutus seorang laki-laki untuk menjadi “mata-mata” yang bertugas mengintai kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan khataman Al-Qur’an, apabila terdapat seseorang yang akan mengkhatamkan Al-Qur’an, maka laki-laki tersebut mengabarkan kepada Ibnu Abbas sehingga beliau ikut serta menghadiri khataman tersebut.


Keempat, sangat dianjurkan berdoa kepada Allah ﷻ dengan tulus dan penuh kekhusyukan setelah mengkhatamkan Al-Qur’an. Imam Humaid al-A’raj berkata: “Barang siapa yang membaca (mengkhatamkan) Al-Qur’an kemudian dia berdoa, maka empat puluh ribu Malaikat ikut mengamini doanya”.


Dalam hal ini dianjurkan berdoa untuk perkara-perkara yang penting dan menyelipkan doa untuk kebaikan kaum muslimim, kebaikan kepala Negara dan pemerintahan. 


Seperti yang dicontohkan Ibnu al-Mubarak (w. 181 H) saat mengkhatamkan Al-Qur’an, dalam doanya, beliau banyak memohon kepada Allah untuk kebaikan kaum Muslimin.


Kelima, dianjurkan langsung melanjutkan/mengulang kembali membaca dari awal surat Al-Qur’an setelah khatam. Artinya apabila seseorang telah mengkhatamkan Al-Qur’an, maka pada waktu itu juga dianjurkan untuk langsung membaca surat al-Fatihah dan sebagian dari surat al-Baqarah. 


Nabi bersabda: “Sebaik-baik perbuatan adalah memulai membaca Al-Qur’an dan mengkhatamkan. Artinya, seorang yang telah selesai mengkhatamkan Al-Qur’an, dia membaca kembali dari awal. 


Melanjutkan/mengulang kembali membaca Al-Qur’an dari awal setelah khatam merupakan tradisi yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini diperkuat oleh pernyataan yang disampaikan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H).

 

 

Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam karyanya, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, mengatakan bahwa Ubay bin Ka’ab menjelaskan bahwa Nabi Muhammad ﷻ, ketika sampai pada surat terakhir (an Nas) beliau langsung melanjutkan membaca surat al-Fatihah dan lima ayat surat al-Baqarah (أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) kemudian setelah itu berdoa.


Berbeda dengan Ibnu al-Qayyim (w. 751 H) dalam karyanya I’lam al-Muaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (4/234). Beliau menyatakan bahwa melanjutkan/mengulang kembali membaca Al-Qur’an dari awal setelah khatam merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat dan tabi’in. Namun pernyataan ini terbantahkan oleh atsar yang disampaikan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi di atas.


Demikian di antara etika dan tata cara yang perlu diperhatikan ketika akan mengkhatamkan Al-Qur’an, dengan harapan mampu meraih lebih bnyak keutamaan dan kemuliaan Al-Qur’an.


Ustadz Moh. Fathurrozi, pendiri Kajian Al-Qur’an Khaira Jalis